Tidak memotong kuku
Memotong kuku adalah sunnah rosululloh shollallohu alaihi wasallam :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْفِطْرَةُ خَمْسٌ أَوْ خَمْسٌ مِنْ الْفِطْرَةِ الْخِتَانُ وَالِاسْتِحْدَادُ وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ وَنَتْفُ الْإِبِطِ وَقَصُّ الشَّارِبِ
Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Fithrah itu ada lima, atau ada lima fithrah yaitu: khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur kumis. [HR Muslim]
Terkadang pada waktu tertentu sebuah sunnah untuk sementara tidak dilaksanakan seperti memotong kuku. Ada dua kondisi di mana syariat melarang memotong kuku :
1. Memasuki bulan dzulhijjah bagi yang berniat berkorban
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا دَخَلَتْ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا
Dari Ummu Salamah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika telah tiba sepuluh (dzul Hijjah) dan salah seorang dari kalian hendak berkurban, maka janganlah mencukur rambut atau memotong kuku sedikitpun [HR Muslim, Ahmad, Ibnu Majah dan Nasa’i]
Syaikh Abu Malik berkata : sebagian ulama seperti Ibnu Musayyab, Robiah, Ahmad, Ishaq dan sebagian ulama Syafi’i berpendapat haram memotong kuku di saat masuk bulan dzulhijjah hingga selesai penyembelihan hewan korban bagi yang berniat berkorban.
Hikmah di balik pelarangannya adalah :
• Agar anggota tubuhnya termasuk kuku dan rambut yang tidak dipotong dalam keadaan sempurna untuk mendapat kebebasan dari neraka.
• Tasyabuh (meniru) jamaah haji di mana mereka tidak memotong kuku dan rambut di saat pelaksanaan manasik
•
2. Saat berihrom untuk haji dan umroh
Para ulama telah sepakat akan haramnya memotong kuku bagi jamaah haji dan wajib membayar fidyah bagi yang melnggarnya kecuali Daud Adz Dzhohiri yang berpendapat bolehnya memotong kuku dan tidak ada fidyah bagi yang melakukannya
Maroji’ :
Shohih fiqh sunnah, abu Malik Sayyid Salim 2/375-376
Kaifa yahujju almuslim waya’tamir, Abdulloh bin Muhammad bin Ahmad Ath Thoyyar hal 42