Kosmetik Bagi Wanita Dalam Masa Idah




Pertanyaan Kaum Wanita (30) 

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ  جَعَلْتُ عَلَى عَيْنِي صَبْرًا, بَعْدَ أَنْ تُوُفِّيَ أَبُو سَلَمَةَ, فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّهُ يَشِبُ اَلْوَجْهَ, فَلَا تَجْعَلِيهِ إِلَّا بِاللَّيْلِ, وَانْزِعِيهِ بِالنَّهَارِ, وَلَا تَمْتَشِطِي بِالطِّيبِ, وَلَا بِالْحِنَّاءِ, فَإِنَّهُ خِضَابٌ قُلْتُ: بِأَيِّ شَيْءٍ أَمْتَشِطُ? قَالَ: بِالسِّدْرِ  
Ummu Salamah Radliyallaahu 'anhu berkata : Aku menggunakan jadam di mataku setelah kematian Abu Salamah. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "(Jadam) itu mempercantik wajah, maka janganlah memakainya kecuali pada malam hari dan hapuslah pada siang hari, jangan menyisir dengan minyak atau dengan pacar rambut, karena yang demikian itu termasuk celupan (semiran). Aku bertanya: Dengan apa aku menyisir?. Beliau bersabda : "Dengan bidara."  [HR Abu Dawud dan Nasa'i]

وَعَنْهَا; أَنَّ اِمْرَأَةً قَالَتْ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ! إِنَّ اِبْنَتِي مَاتَ عَنْهَا زَوْجُهَا, وَقَدْ اِشْتَكَتْ عَيْنَهَا, أَفَنَكْحُلُهَا? قَالَ: لَا )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Ummu Salamah Radliyallaahu 'anhu bahwa seorang perempuan bertanya: Wahai Rasulullah, anak perempuanku telah ditinggal mati suaminya, dan matanya telah benat-benar sakit. Bolehkah kami memberinya celak?. Beliau bersabda : "Tidak." [Muttafaq Alaihi]

Hadits di atas memberi faedah :

1.      Perbedaan antara zinah (hiasan) dan tandzif (kebersihan)

Ini pendapat Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam. Bagi wanita yang sedang berada dalam masa idah tidak boleh berzinah (memakai parfum, kosmetik dan lainnya) yang membuat penampilan lebih menarik yang akhirnya mengundang laki-laki tertarik untuk meminangnya, akan tetapi bila melakukan tandzif (kebersihan seperti mandi pakai sabun, dalam hadits disebut daun bidara) maka hal ini diperbolehkan

2.      Larangan bercelak

Celak bisa berfungsi obat dan kecantikan. Manakala manfaat sebagai obat dan kosmetik bertemu maka bercelak diharamkan

3.      Diperbolehkannya bersolek di malam hari

Ini ditujukan bagi wanita yang masih berada dalam masa idah. Sebagian ulama membolehkan wewangian bagi mereka saat membersihkan kemaluan dari haidl

Maroji’ :
Taudlihul Ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam 3/728

Keluar Rumah Bagi Wanita Yang Dithalaq




Pertanyaan Kaum Wanita (29) 

Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam membedakan antara wanita yang berpisah dari suami lewat thalaq dan kematian. Dalam masa idah, wanita yang dithalaq diperbolehkan untuk keluar kapan saja meski berada di dalam rumah adalah lebih afdhol. Keleluasaan ini tidak dimiliki oleh janda akibat meninggal sang suami.

Riwayat di bawah ini bisa menambah penjelasan masalah di atas :

عَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ: طُلِّقَتْ خَالَتِي, فَأَرَادَتْ أَنْ تَجُدَّ نَخْلَهَا فَزَجَرَهَا رَجُلٌ أَنْ تَخْرُجَ, فَأَتَتْ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: بَلْ جُدِّي نَخْلَكِ, فَإِنَّكَ عَسَى أَنْ تَصَدَّقِي, أَوْ تَفْعَلِي مَعْرُوفًا   
Jabir Radliyallaahu 'anhu berkata: Saudara perempuan ibuku telah cerai dan ia ingin memotong pohon kurmanya, namun ada seseorang melarangnya keluar rumah. Lalu ia menemui Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan beliau bersabda : Boleh, potonglah kurmamu, sebab engkau mungkin bisa bersedekah atau berbuat kebaikan dengan kurma itu  [HR Muslim] 

Hadits di atas memberi faedah

1.      Perbedaan pandangan para sahabat tentang status wanita pada masa idah
 Mereka menilai haram hukumnya bagi wanita untuk keluar ketika masa idah belum berakhir, di sisi lain si janda memiliki pemahaman berbeda sehingga ia keluar untuk memetik kurma

2.      Diperbolehkannya bagi wanita keluar saat masa idah untuk satu keperluan
Diantaranya adalah memetik kurma

3.      Anjuran bersedekah atas rezki yang dimiliki

4.      Harus dijelaskan mana yang rojih saat silang pendapat fiqih terjadi

5.      Semangat nahi munkar sahabat yang membuatnya menegur keluarnya wanita saat masa idah

6.      Niat baik terkadang keliru
Rupanya wanita yang ditegur telah melakukan perbuatan yang benar

Maroji’ :
Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam 3/730

Idah Wanita Hamil Yang Ditinggal Mati Suami




Pertanyaan Kaum Wanita (28) 

Wanita hamil memiliki masa idah hingga melahirkan
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya  [ath tholaq : 4]

Adapun wanita yang ditinggal mati suami adalah 4 bulan sepuluh hari
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari [albaqoroh : 234]

Permasalahan yang muncul adalah : Bagaimana status wanita yang hamil lalu ditinggal mati oleh suami ? Berapa lamakah ia beridah ? 4 bulan sepuluh hari, ataukah kelahiran bayinya ? Pertanyaan ini bisa dijawab dengan riwayat di bawah ini :

عَنْ اَلْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ رضي الله عنه  أَنَّ سُبَيْعَةَ الْأَسْلَمِيَّةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا نُفِسَتْ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِلَيَالٍ, فَجَاءَتْ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَاسْتَأْذَنَتْهُ أَنْ تَنْكِحَ, فَأَذِنَ لَهَا, فَنَكَحَتْ رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ  وَأَصْلُهُ فِي اَلصَّحِيحَيْنِ  وَفِي لَفْظٍ: أَنَّهَا وَضَعَتْ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِأَرْبَعِينَ لَيْلَةً  وَفِي لَفْظٍ لِمُسْلِمٍ, قَالَ اَلزُّهْرِيُّ: وَلَا أَرَى بَأْسًا أَنْ تَزَوَّجَ وَهِيَ فِي دَمِهَا, غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَقْرَبُهَا زَوْجُهَا حتَّى تَطْهُرَ 
Dari al-Miswar Ibnu Makhramah bahwa Subai'ah al-Aslamiyyah Radliyallaahu 'anhu melahirkan anak setelah kematian suaminya beberapa malam. Lalu ia menemui Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam meminta izin untuk menikah. Beliau mengizinkannya, kemudian ia nikah. Riwayat Bukhari dan asalnya dalam shahih Bukhari-Muslim. Dalam suatu lafadz : Dia melahirkan setelah empat puluh malam sejak kematian suaminya. Dalam suatu lafadz riwayat Muslim bahwa Zuhry berkata: Aku berpendapat tidak apa-apa seorang laki-laki menikahinya meskipun darah nifasnya masih keluar, hanya saja suaminya tidak boleh menyentuhnya sebelum ia suci. 

Hadits di atas memberi faedah :

1.      Masa idah bagi wanita hamil yang ditinggal mati suaminya adalah setelah persalinan meski belum mencapai 4 bulan sepulah hari
2.      Wanita nifas boleh menikah dengan syarat tidak boleh ada hubungan badan hingga telah dipastikan kesuciannya
3.      Datangnya nikmat setelah kehilangannya. Kematian suami pertama mendapat penggantian dari Alloh dengan datangnya laki-laki kedua yang menjadi pendamping baru





Berpindahnya Wanita Dari Rumah Suami Pada Masa Idah




Pertanyaan Kaum Wanita (27) 

Ini diperbolehkan dalam beberapa kondisi. Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam memberi contoh diantaranya : Khawatir terhadap keselamatan dirinya dan hartanya atau berpindahnya kepemilikan rumah dan lainnya. Dasarnya adalah hadits di bawah ini :

عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ قَالَتْ يَا رَسُولَ اَللَّهِ! إِنَّ زَوْجِي طَلَّقَنِي ثَلَاثًا, وَأَخَافُ أَنْ يُقْتَحَمَ عَلَيَّ, قَالَ فَأَمَرَهَا, فَتَحَوَّلَتْ  رَوَاهُ مُسْلِمٌ 
Fathimah Binti Qais berkata : Aku berkata : Wahai Rasulullah, suamiku telah mentalakku dengan tiga talak, aku takut ada orang mendatangiku. Mak beliau menyuruhnya pindah dan ia kemudian pindah [HR Muslim]

Selain penjelasan di atas, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam menambahkan bahwa wanita yang dicerai dengan tahlaq bain tidak memiliki hak tempat tinggal di rumah suami sehingga ketika thalaq sudah dijatuhkan maka otomatis wanita harus segera keluar dari rumah suami. Ini berbeda bagi wanita yang dicerai dengan thalaq roj’i. Selama masa idah (tiga kali haidh, kurang lebih tiga bulan) ia tetap berada di rumah suami.

Maroji’ :
Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam 3/734

Wanita Yang Terbunuh Suaminya




Pertanyaan Kaum Wanita (26) 

وَعَنْ فُرَيْعَةَ بِنْتِ مَالِكٍ أَنَّ زَوْجَهَا خَرَجَ فِي طَلَبِ أَعْبُدٍ لَهُ فَقَتَلُوهُ. قَالَتْ: فَسَأَلْتُ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَنْ أَرْجِعَ إِلَى أَهْلِي; فَإِنَّ زَوْجِي لَمْ يَتْرُكْ لِي مَسْكَنًا يَمْلِكُهُ وَلَا نَفَقَةً, فَقَالَ نَعَمْ فَلَمَّا كُنْتُ فِي اَلْحُجْرَةِ نَادَانِي, فَقَالَ  اُمْكُثِي فِي بَيْتِكَ حَتَّى يَبْلُغَ اَلْكِتَابُ أَجَلَهُ قَالَتْ فَاعْتَدَدْتُ فِيهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا, قَالَتْ فَقَضَى بِهِ بَعْدَ ذَلِكَ عُثْمَانُ  
Dari Furai'ah Binti Malik bahwa suaminya keluar untuk mencari budak-budak miliknya, lalu mereka membunuhnya. Kemudian aku meminta kepada Rasululah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam agar aku boleh pulang ke keluargaku, sebab suamiku tidak meninggalkan rumah miliknya dan nafkah untukku. Beliau bersabda : Ya. Ketika aku sedang berada di dalam kamar, beliau memanggilku dan bersabda : Tinggallah di rumahmu hingga masa iddah. Ia berkata : Aku beriddah di dalam rumah selama empat bulan sepuluh hari. Ia berkata : Setelah itu Utsman juga menetapkan seperti itu  [HR Ahmad dan Imam Empat]

Hadita di atas memberi faedah :

1.      Tiga musibah yang menimpa wanita di atas
Kehilangan harta (dengan larinya budak), kematian suami dan tiadanya harta yang ditinggalkan suami

2.      Mengejar harta, justru hilang kekayaan yang lebih berharga
Larinya budak menyebabkan si pemilik keluar untuk menangkapnya. Kenyataan mengatakan bahwa budah tak dapat dikejar, justru kematian yang ditemui

3.      Diperbolehkannya wanita tinggal di rumahnya (bukan rumah suami) dalam masa idah bila suami tidak meninggalkan tempat tinggal untuknya

4.      Masa idah wanita yang ditinggal mati suami adalah 4 bula 10 hari

5.      Sikap Utsman yang ittiba’ terhadap keputusan nabi shollallohu alaihi wasallam