Dzatu Anwath

(Maksiat Para Sahabat Dan Kesudahannya 5)
Abi Waqid Al Laitsi menuturkan :
Suatu saat kami keluar bersama Rasulullah menuju Hunain, sedangkan kami dalam keadaan baru saja lepas dari kekafiran (masuk Islam), disaat itu orang-orang musyrik memiliki sebatang pohon bidara yang dikenal dengan dzatu anwath, mereka selalu mendatanginya dan menggantungkan senjata-senjata perang mereka pada pohon tersebut, disaat kami sedang melewati pohon bidara tersebut, kami berkata : Ya Rasulullah, buatkanlah untuk kami dzat anwath sebagaimana mereka memilikinya. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menjawab :
 الله أكبر إنها السنن، قلتم والذي نفسي بيده كما قالت بنو أسرائيل لموسى اجعل لنا إلها كما لهم ءالهة، قال إنكم قوم تجهلون لتركبن سنن من كان قبلهم

Allahu Akbar, itulah tradisi (orang-orang sebelum kalian) demi Allah yang jiwaku ada di tanganNya, kalian benar-benar telah mangatakan suatu perkataan seperti yang dikatakan oleh Bani Israel kepada Musa : Buatkanlah untuk kami sesembahan sebagaimana mereka memiliki sesembahan, Musa menjawab : Sungguh kalian adalah kaum yang tidak mengerti (faham), kalian pasti akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian [HR Turmudzi]
Para sahabat yang disebut pada hadits di atas adalah para muallaf. Mereka baru masuk islam setelah fathu Mekah. Artinya, secara ilmu belum memahami dengan baik hakekat tauhid, sementara pengaruh kesyirikan yang mereka bawa semenjak lahir belumlah hilang sepenuhnya. Tak heran bila mereka memohon kepada nabi shollallohu alaihi wasallam dengan satu permintaan yang bernada kesyirikan.
Yang perlu dicatat, bahwa mereka baru meminta, belum melakukan perbuatan syirik. Maka Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berkata : kaunuhum lam yaf’alu (kondisi mereka belum melakukan perbuatan itu). Apakah mereka dihukumi sebagai musyrik ? Jawabannya tidak. Mereka baru masuk islam dan belum lepas sepenuhnya dari kesyirikan. Mereka juga belum menggantungkan pedang-pedang di pohon bidara. Tentang status mereka, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berkata :
أنَّ لَهُمْ مِنَ الْحَسَنَاتِ وَالْوَعْدِ بِالْمَغْفِرَةِ مَالَيْسَ لِغَيْرِهِمْ
Mereka adalah kaum yang memiliki kebaikan dan janji berupa ampunan yang tidak dimiliki oleh umat selain mereka.
Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin memperkuat perkataan di atas dengan firman Alloh :
لَا يَسْتَوِي مِنْكُمْ مَنْ أَنْفَقَ مِنْ قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ أُولَئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِنَ الَّذِينَ أَنْفَقُوا مِنْ بَعْدُ وَقَاتَلُوا وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Tidak sama di antara kamu orang yang menginfaqkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-orang yang menginfaqkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (mereka yang masuk islam sebelum dan sesudah fathu Mekah) balasan yang lebih baik. dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan  [alhadid : 10]


Maroji’ :
Alqoulul Mufid, Syakih Muhammad Sholih Utsaimin 1/204




Abu Yasir

(Maksiat Para Sahabat Dan Kesudahannya 4)
Imam Baghowi menerangkan bahwa Abu Yasir Ka’ab Bin Amru Al Anshori kedatangan seorang wanita yang menjual kurma. Aku berkata padanya : Sesungguhnya di rumah ada kurma yang lebih baik dari kurma ini. Aku masuk rumah bersamanya. Lalu aku mendekatinya dan menciumnya. Akupun mendatangi Abu Bakar rodliyallohu anhu dan menceritakan peristiwa itu. Ia berkata : Tutupi aibmu dan bertaubatlah. Selanjutnya aku mendatangi Umar rodliyallohu anhu untuk menceritakan padanya apa yang aku alami. Ia berkata : Tutupi aibmu dan bertaubatlah. Aku tidak puas mendapat jawaban itu hingga aku segera menghadap rosululloh shollallohu alaihi wasallam. Di hadapan beliau orang itu berkata :
يا رَسُول اللَّهِ إني أصبت حداً فأقم في كتاب اللَّه  
Ya rosululloh aku telah melanggar hukum had, oleh karena itu tegakkan hukuman buat saya sesuai dengan kitabulloh
Beliau bertanya :
هل حضرت معنا الصلاة ؟
Apakah engkau menghadiri dholat berjamaah bersama kami ?
Abu Yasir menjawab :
نعم
Benar
Beliau bersabda :
 قد غفر لك
Engkau sudah diampuni   [muttafaq alaih]
Melihat kisah di atas, sungguh kita dibuat kagum. Bagaimana orang itu berkonsultasi kepada dua sahabat utama (Abu Bakar dan Umar rodliyallohu anhuma) atas perbuatan maksiatnya. Tidak puas dengan jawaban yang didapat, membuat ia segera mendatangi rosululloh shollallohu alaihi wasallam.
Demikianlah, Abu Yasir hanya bisa merasa tenang dengan kepastian dari rosululloh shollallohu alaihi wasallam. Rupanya jawaban dari nabi shollallohu alaihi wasallam selaras dengan apa yang telah diungkapkan oleh Abu Bakar dan Umar.
Maroji’ :
Tafsir Albaghowi (maktabah syamilah) hal 234

Orang Tua Yang Mencari Hukuman Buat Anaknya

(Maksiat Para Sahabat Dan Kesudahannya 3)
Pada suatu hari seseorang datang menghadap rosululloh shollallohu alaihi wasallam, seraya berkata : Ya rosululloh, aku memohon kepada Alloh lewat engkau. Tolong putuskan buat kami sesuai hukum yang Alloh tetapkan. Seseorang lainnya yang lebih faqih berkata : Benar, Putuskan buat kami sesuai hukum Alloh dan ijinkan buatku. Nabi shollallohu alaihi wasallam bersabda : Silahkan katakan. Orang itu berkata : Sesungguhnya putraku bekerja pada orang ini, lalu ia berzina dengan istrinya. Aku diberitahu bahwa putraku dikenakan hukuman rajam. Lalu aku menebusnya dengan 100 ekor kambing dan membebaskan seorang budak wanita. Aku bertanya kepada ahlul ilmi, mereka memberi jawaban bahwa putraku dikenakan dera seratus dan diasingkan selama setahun. Adapun wanita itu dikenakan hukum rajam. Mendengar pengaduan itu, nabi shollallohu alaihi wasallam bersabda :
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لأقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ الله الْوَلِيْدَةُ وَالْغَنَمُ رُدَّ عَلَيْكَ وَعَلَى إبْنِكَ جَلْدُ مِائَةِ وَتَغْرِيْبُ عَامٍ وَأنَّ عَلَى امْرَأةِ هَذَا الرَّجْمَ وَاغْدُ يَا أنَيْس لِرَجُلٍ مِنْ أسلم إلَى امْرَأةِ هَذَا فَإِنِ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا
Demi jiwaku yang ada di tanganNya, sungguh akan aku putuskan berdasarkan kitabulloh. Budak wanita dan kambing dikembalikan padamu, adapun putramu dikenakan dera seratus kali dan pengasingan selama setahun, sedangkan wanita itu dikenakan hukuman rajam. Pergilah wahai Unais (seorang dari Aslam) kepada wanita itu, bila ia mengakui perbuatannya maka rajamlah ia  [HR Bukhori, Muslim]
Biasanya, orang tua akan membela anaknya yang bersalah dengan berupaya meloloskannya dari jeratan hukum. Tapi itu tidak terjadi pada diri sahabat rodliyallohu anhum. Ia menghukum anaknya. Ketika mengetahui hukuman itu tidak sesuai, maka ia menghadap nabi shollallohu alaihi wasallam untuk memastikan kebenaran hukuman.
Pertanyaannya yang mungkin kita sampaikan, adakah orang seperti ini jaman sekarang ?


Ma’iz Bin Malik

(Maksiat Para Sahabat Dan Kesudahannya 2)
عَنْ أبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه أَنَّهُ قَالَ أتَى رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ رسول الله صلّى الله عليه وسلم وَهُوَ فِى الْمَسْجِدِ فَنَادَاهُ فقال يَارسول الله إِنِّ زَنَيْتُ فَأَعْرَضَ عَنْهُ فَتَنَحَّى تِلْقَاءَ وَجْهِهِ فَقَالَ يَارسول الله إِنِّ زَنَيْتُ فَأَعْرَضَ عَنْهُ حَتَّى ثَنَّى ذَالِكَ عَلَيْهِ أرْبَعَ مَرَّاتٍ فَلَمَّا شَهِدَ عَلَى نَفْسِهِ أرْبَعَ مَرَّاتٍ دَعَاهُ رسول الله صلى الله عليه وسلم فَقَالَ أبِكَ جُنُوْنٌ قَالَ لاَ قَالَ فَهَلْ أحْصَنْتَ قَالَ نَعَمْ فَقَالَ رسول الله صلى الله عليه وسلم اذْهَبُوا بِهِ فَارْجُمُوْهُ
Dari Abu Huroiroh rodliyallohu anhu, bahwasanya ia berkata : Seseorang dari kaum muslimin datang menghadap rosululloh shollallohu alaihi saat beliau berada di masjid. Ia berkata : ya rosululloh, sesungguhnya aku telah berzina. Beliau memalingkan wajahnya. Ia mendekati wajah beliau, seraya berkata : Ya, rosululloh, sesungguhnya aku telah berzina. Beliau kembali berpaling dan itu terjadi empat kali. Ketika ia sudah bersaksi sebanyak empat kali, beliau memanggilnya dan bertanya : Apakah engkau gila ? Ia menjawab : Tidak. Beliau bertanya : Apakah engkau telah menikah ? Ia menjawab : Benar. Beliau bersabda kepada para sahabat : Pergilah, membawa orang ini lalu rajamlah ia  [HR Bukhori Muslim]
Inilah kisah kejujuran seorang Mai’z. Berani berbuat dan berani bertanggung-jawab. Tanpa ada orang yang menyuruhnya untuk membuat pengakuan, dengan kesadaran sendiri mendatangi rosululloh shollallohu alaihi wasallam. Padahal resiko yang akan dihadapi dari perbuatannya adalah rajam, sebuah hukuman yang sangat berat. Dilempar dengan batu hingga meninggal.
Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam berkata : Ini adalah keutamaan yang besar pada diri Ma’iz rodliyallohu anhu. Di saat ia datang dengan dirinya, membawa murka karena Alloh, ingin mensucikan dirinya padahal ada peluang baginya untuk menghindarkan diri dari hukuman dan pengetahuan baginya akan lolosnya dari hukuman.
Apa yang terjadi setelah kematian Ma’iz  Rupanya para sahabat sibuk mendiskusikan taubatnya. Ada yang berpendapat bahwa Ma’iz termasuk orang yang celaka, adapula yang berpandangan bahwa tidak ada taubat yang lebih afdhol melebihi taubat Ma’iz. Tiga hari kemudian, rosululloh shollallohu alaihi wasallam mendatangi mereka seraya bersabda :
اسْتَغْفِرُوا لِمَاعِزِ بْنِ مَالِكٍ
Mohonkan ampun bagi Ma’iz bin Malik
Para sahabatpun berkata :
غَفَرَ الله لِمَاعِزِ بْنِ مَالِكٍ
Semoga Alloh mengampuni Ma’iz Bin Malik
Beliau bersabda :
لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ قُسِمَتْ بَيْنَ أمَّةٍ لَوَسِعَتْهُمْ
Sungguh ia telah bertaubat, seandainya dibagi untuk satu umat niscaya akan mencukupi
  [HR Muslim, Abu Daud dan Nasa’i]
Maroji’ :
Taisirul Alam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam hal 489

Wanita Juhainah

(Maksiat Para Sahabat Dan Kesudahannya 1)
عن عمران بن الحصين الخزاعي رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُما أن امرأة مِنْ جهينة أتت رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم وهي حبلى مِنْ الزنا فقالت يا رَسُول اللَّهِ أصبت حدا فأقمه علي فدعا نبي اللَّه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم وليها فقال أحسن إليها فإذا وضعت فائتني ففعل، فأمر بها نبي اللَّه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم فشدت عليها ثيابها ثم أمر بها فرجمت ثم صلى عليها. فقال له عمر تصلي عليها يا رَسُول اللَّهِ وقد زنت؟ قال لقد تابت توبة لو قسمت بين سبعين مِنْ أهل المدينة لوسعتهم، وهل وجدت أفضل مِنْ أن جادت بنفسها لله عَزَّ وَجَلَّ؟ رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Imron Bin Hushain Alkhoza’i rodliyallohu anhuma : Bahwasanya seorang wanita dari Juhainah mendatangi rosululloh shollallohu alaihi wasallam dalam keadaan mengandung karena zina. Ia berkata : Ya rosululloh, aku telah melanggar hukum hudud, maka tegakkan hukuman buat saya (rajam saya). Nabi shollallohu alaihi wasallam memanggil walinya seraya bersabda : Berbuat baiklah padanya. Bila telah melahirkan bawalah ia kemari. Walinyapun melakukannya. Nabi shollallohu alaihi wasallam memerintah agar bajunya diikat lalu diperintahkan untuk dirajam dan selanjutnya disholatkan. Umar berkata : Engkau sholatkan, sementara ia telah berbuat zina ? Beliau menjawab : Sungguh ia telah bertaubat dengan satu taubat yang apabila pahalanya dibagikan bagi penduduk Madinah niscaya akan mencukupi. Apakah engkau dapatkan orang yang lebih utama daripada jiwa yang bersih karena Alloh Azza Wajalla  [HR Muslim]
Hadits di atas mengisahkan tentang ketulusan seorang wanita yang telah melakukan dosa besar berupa zina. Ia menyadari bahwa kejujurannya akan berbuah hukum rajam. Demi keselamatannya di akhirat, ia berani mengambil resiko dengan menghadapi batu-batu hingga kematiannya. Sungguh sesuatu yang sulit untuk kita dapatkan pada masa sekarang seorang yang melakukan apa yang ia lakukan di hadapan nabi shollallohu alaihi wasallam.
Keikhlasannya dalam bertaubat tidak sia-sia. Dosanya terampuni dan ia mendapat kelebihan pahala sebanyak kelipatan 70. Bila itu dibagikan kepada penduduk Madinah akan menyebabkan 70 penduduk Madinah masuk aljannah bersamanya. Tetapi kelebihan itu ia bawa sendiri mengadap Alloh. Betapa banyaknya pahala yang ia miliki.
Syaikh Mushthofa Albugho berkata : Termasuk dari akhlaq seorang mukmin adalah : Resah dan menyesal atas perbuatan dosa dan keinginan kuat untuk mensucikan diri dari kotoran dosa meski itu mengundang resiko kebinasaan pada dirinya. Itu dilakukan agar menghadap Alloh dalam keadaan diridloi.
Maroji’ :
Nuzhatul Muttaqin, Syaikh Mushthofa Albugho 1/45

Poligami Boleh, Asal Tidak Menikahi Wanita Satu Kampung !?

(kontrofersi 33)
Hukum poligami adalah mubah. Silahkan menikahi lebih dari satu wanita asal tidak lebih dari empat. Hal ini sebagaimana yang difirmankan oleh Alloh :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً  
Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja [annisa’ : 3]
Batasan maksimal empat untuk berpoligami diperkuat oleh perkataan para ulama yang menerangkan maksud ayat di atas. Di antaranya, penulis tafsir zadul masir berkata : Alloh membatasi jumlah empat supaya suami bisa berbuat adil terhadap istri-istrinya. Dengan ayat ini seolah-olah Alloh berfirman : Jika kalian takut wahai wali anak yatim untuk tidak berbuat adil terhadap istri-istri maka nikahkan mereka, tetapi tidak boleh lebih dari empat supaya para suami bisa berbuat adil. Jika takut untuk berbuat tidak berbuat adil maka cukup satu saja.
Ini menunjukkan bahwa menikahi wanita lebih dari empat akan menyebabkan ketidak adilan di antara para istri. Atau dengan kata lain, Alloh hanya memberikan kemampuan laki-laki untuk bisa berbuat adil dengan empat istri, tidak lebih.
Oleh karena itu, tidak mungkin menikah dengan wanita satu kampung. Kenapa ? Bisa dibayangkan bila di satu kampung terdapat 20 wanita lalu kesemuanya dinikahi, tentu ini telah menyelisihi ayat di atas.
Maroji’ :
Tafsir Zadul Masir (maktabah syamilah) hal 77



Israel Jangan Dikutuk !

(kontrofersi 32)
Sering kita mendengar demo mengecam kebiadaban zionis dengan slogan-slogan kecaman yang sangat keras. “ Israel terkutuk ! “, “ Israel keturunan kera ! “ Israel La’natulloh ! “. Kenapa kalimat-kalimat ini tidak boleh terucap dari lesan seorang muslim ?
Majalah qiblati (lupa tanggal terbitnya) menukil nasehat Syaikh Bakr Abu Zaid rohimahullohu Ta’ala tentang larangan ini karena Isroil adalah nama lain dari nabi Yaqub alaihissalam. Tidak ada bedanya kita menyebut nabi Yaqub atau nabi Isroil bagi orang tua dari nabi Yusuf alaihissalam. Ketika ada anjuran memberi nama buat anak dengan nama para nabi, tidak masalah bila kita memberi nama buat anak dengan Isroil. Bukankah salah seorang perowi hadits ada yang bernama Abu Isroil.
Dalam alquran, Alloh menyebut nama Yaqub dengan Isroil. Ini bisa dilihat dari firman Alloh :
كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلًّا لِبَنِي إِسْرَائِيلَ إِلَّا مَا حَرَّمَ إِسْرَائِيلُ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ قُلْ فَأْتُوا بِالتَّوْرَاةِ فَاتْلُوهَا إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya'qub) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan. Katakanlah : (Jika kamu mengatakan ada makanan yang diharamkan sebelum turun Taurat), Maka bawalah Taurat itu, lalu bacalah Dia jika kamu orang-orang yang benar [ali imron : 93]
Syaikh Abdurrohman Nashir Assa’di menafsirkan kata Isroil pada ayat di atas dengan Yaqub alihissalam. Oleh karena itu bila kita katakan  “Israel terkutuk“, berarti kalimat itu sepadan dengan “Yaqub terkutuk “
Ini berarti kita dinilai telah mengutuk nabi padahal sunnah bagi orang beriman memberi salam bagi setiap penyebutan para nabi selain rosululloh shollallohu alaihi wasallam. Bila demikian, bagaimana cara yang benar ? Jawabannya adalah sebutlah bani Israel terkutuk, karena keturunannyalah yang membuat ulah di muka bumi. Kutukan disematkan bagi Bani Israel adalah selaras dengan firman Alloh :
لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ  كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ  
78. telah dila'nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.
79. mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan Munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya Amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu [almaidah : 78-79]
Ayat di atas jelas menunjukkan kutukan ditujukan kepada bani Israel, itupun dengan catatan dari kalangan kafir. Berarti tidak semua bani Israel terkutuk. Sebagaimana Yusuf, Musa, Sulaiman, Daud dan Isa adalah termasuk dari sekian banyak nabi dari keturunan Israel.
Maroji’ :
Tafsir Taisir Kalim Arrohman Fitafsir kalamil Mannan (maktabah syamilah) hal 62




Hati-Hati Dengan Da’i

(kontrofersi 31)
Salah satu cawagub Jabar pernah menamakan dirinya dengan DAI dalam kampanyenya. Kendati dengan slogan itu akhirnya mengalami kekalahan. Bangsa Indonesia pernah memiliki kapolri dengan nama depan Dai. Di era kepemimpinannya berhasil menangkap banyak tersangka “ teroris “.
Pembahasan kita bukan pada kedua da’i di atas. Yang akan kita perhatikan adalah akan munculnya da’i di akhir zaman yang pernah diperingatkan oleh rosululloh shollallohu alaihi wasallam. Di mana beliau bersabda :
دُعَاةٌ عَلَى أبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أجَابَهُمْ إلَيْهِمْ قَذَفُوْهُ فِيْهَا
Du’at (da’i-da’i) yang menyeru kepada neraka jahanam, barangsiapa yang menyambut seruannya maka niscaya akan di lemparkan ke dalamnya
Selanjutnya beliau memberi ciri dari da’i :
هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَّمُوْنَ بِأَلْسِنَتِنَا
Mereka itu dari jenis kulit-kulit kita dan berbicara dengan lidah-lidah kita
Terakhir, memberi solusi bila menemui para dai jenis ini :
تَلْزَمْ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَإمَامَهُمْ ..... فَعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأنْتَ عَلَى ذَالِكَ
Tetaplah mengikuti jama’ah kaum muslimin dan imam mereka. (bila tidak ada) maka tinggalkanlah kelompok-kelompok pecahan itu semuanya walaupun engkau harus menggigit akar pohon sampai kematian mendatangimu dan engkau berada dalam keadaan seperti itu
Imam Alqobisi menerangkan makna Mereka itu dari jenis kulit-kulit kita dan berbicara dengan lidah-lidah kita dengan mengatakan : Mereka secara dzohir adalah memeluk millah kita (muslim) sedang batinnya menyelisihi.
Sejarah membuktikan, Abdulloh bin Saba’ yang asli yahudi berpura-pura masuk islam hingga akhirnya berhasil mengecoh kaum muslimin dengan ajaran syiahnya. Mirza Ghulam Ahmad yang berotak penjajah Inggris menipu umat islam dengan ahmadiyahnya. Demikianlah, kesesatan akan terus ada hingga hari kiamat.
Maroji’ :
Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Atsqolani 13/43

Tak Ketinggalan, Binatang Juga Dapat Wahyu

(kontrofersi 40)
Barangkali kita pernah melihat kucing sedang menjilati kaki-kakinya, burung-burung perpindah tempat pada musim tertentu, binatang turun gunung saat gunung akan meletus dan lainnya. Itu semua adalah ilham dari Alloh. Setiap binatang memiliki potensinya masing-masing sesuai dengan keadilan dan ilmu Alloh.
Betapa rapinya laba-laba membuat rumah perangkap, begitu teraturnya sarang yang dibikin burung dan alangkah indahnya rumah yang disusun lebah. Kesemuanya adalah wahyu yang Alloh berikan kepada mereka. Untuk itulah Alloh berfirman :
وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ  
Dan Robmu mewahyukan kepada lebah : Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia  [annahl :68]
Syaikh Mannaul Qothon memaknai wahyu pada ayat di atas dengan ilham naluriah bagi binatang.
Maroji’ :
Mabahits Fi Ulumil Quran, Syaikh Mannaul Qothon hal 33


Setan Punya Wahyu

(kontrofersi 39)
Syaikh Manna’ul Qothon dalam mabahits fi ‘ulumil quran memberi definisi wahyu secara bahasa dengan alkhofa’ wassur’ah (tersembunyi dan cepat). Adapun secara istilah : Pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat yang bersifat khusus, dimana tidak diketahui selain kepada pihak yang dituju.
Wahyu sering diidentikkan dengan firman Alloh buat rosul-rosulNya melalui perantara malaikat jibril alaihissalam. Rupanya, secara bahasa, setan juga memiliki kemampuan memberi wahyu sebagaimana firman Alloh di dua surat dalam alquran :
وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ
Sesungguhnya setan-setan sungguh-sungguh mewahyukan (membisikkan) kepada para walinya untuk membantahmu  [al’ an’am : 121]
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا
Demikianlah kami jadikan setiap nabi, memiliki musuh berupa setan dari kalangan jin dan manusia yang sebagian kepada sebagian lain mewahyukan (membisikkan) kata-kata indah tapi menipu  [al an’am : 112]
Dua ayat di atas mencantumkan kata layuuhuuna dan yuuhi, yang keduanya bermakna wahyu. Tentu wahyu yang disebut tidak sebagaimana yang Alloh berikan kepada para rosul untuk umatnya. Syaikh Manna’ul Qothon memaknai wahyu untuk dua ayat di atas dengan : Bisikan setan dan penggambaran indah akan perbuatan dosa pada hati manusia.
Oleh karena itu, ketika demokrasi dipuji bangsa-bangsa padahal itu adalah manhaj kufur, kesamaan kedudukan manusia yang merupakan slogan HAM diikuti dan pemahaman lainnya yang menyesatkan, itu adalah bagian dari keberhasilan setan dalam membisikkan kebatilan pada manusia sehingga alhaq dimusuhi dan kebatilan dicintai. Dan itu adalah wahyu yang berasal dari setan.
Maroji’ :
Mabahits Fi Ulumil Quran, Syaikh Mannaaul Qothon hal 32-33

Selain Nabi Juga Berhak Mendapat Wahyu Dari Alloh

(kontrofersi 38)
Ini bukan pendapat mengada-ada. Tetapi ia berdasarkan alquran. Alloh berfirman :
وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلَا تَخَافِي وَلَا تَحْزَنِي إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ
Dan Kami wahyukan (ilhamkan) kepada ibu Musa : Susuilah Dia, dan bila kamu khawatir terhadapnya Maka jatuhkanlah Dia ke sungai (Nil). dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena Sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari Para rasul  [alqoshosh : 7]
Syaikh Mannaul Qothon memaknai wahyu yang Alloh berikan kepada ibu Musa dengan ilham yang bersifat fitri pada manusia. Sementara Imam Baghowi mengartikan dengan : Wahyu yang bersifat ilham bukan wahyu kenabian.
Demikianlah, wahyu jenis ini dimiliki oleh manusia. Bayi akan segera mencari puting ibu manakala lahir, kaki akan segera terangkat tatkala menginjak bara api (sering orang menyebut sebagai gerakan reflek) dan lainnya adalah naluri manusia. Dan itu bagian dari wahyu Alloh (ilham)
Dalil lain yang menunjukkan bahwa wahyu dimiliki oleh manusia selain para nabi adalah sabda nabi shollallohu alaihi wasallam :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ كَانَ فِيمَا قَبْلَكُمْ مِنْ الْأُمَمِ مُحَدَّثُونَ فَإِنْ يَكُ فِي أُمَّتِي أَحَدٌ فَإِنَّهُ عُمَرُ زَادَ زَكَرِيَّاءُ بْنُ أَبِي زَائِدَةَ عَنْ سَعْدٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ رِجَالٌ يُكَلَّمُونَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَكُونُوا أَنْبِيَاءَ فَإِنْ يَكُنْ مِنْ أُمَّتِي مِنْهُمْ أَحَدٌ فَعُمَرُ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا مِنْ نَبِيٍّ وَلَا مُحَدَّثٍ
Dari Abu Hurairah Radhiyalahu'anhu berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Sungguh telah ada pada setiap umat-umat sebelum kalian para muhaddits (orang-orang yang selalu berpandangan lurus/punya firasat tinggi) dan seandainya ada seseorang pada umatku ini tentu dia adalah 'Umar. Zakariya' bin Abu Za'idah menambahkan dari Sa'ad dari Abu Salamah dari Abu Hurairah Radhiyalahu'anhu berkata, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Sungguh telah ada pada orang-orang sebelum kalian dari kalangan Bani Isra'il mereka yang dianugerahkan pembicaraannya selalu benar padahal mereka bukanlah dari kalangan para Nabi. Dan seandainya ada pada umatku ini seorang dari mereka, maka tentu dia adalah 'Umar. Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma menjelaskan dengan redaksi; Dari kalangan Nabi bukan muhaddats".[HR Bukhori, Muslim, Ahmad dan Tirmidzi]
Ibnu Hajar menerangkan makna muhaddatsun adalah : seorang yang persangkaannya selalu benar, ia juga bermakna : ucapan malaikat ada di lesannya.
Sejarah membuktikan bahwa turunnya ayat hijab, larangan menyolati mayat munafiq, sholat dua rokaat di maqom Ibrohim adalah diawali oleh perkataan Umar bin Khothob.
Maroji’ :
Mabahits Fi Ulumil Quran, Syaikh Mannaul Qothon hal 32
Tafsir Albaghowi (maktabah syamilah) hal 386
Fathul Bari Bab Manaqib Umar