Hadits Mughiroh Bin Syu’bah


                                                                        Almashu Alakhuffaini (14)


Hadits ini banyak dikutip para ulama saat membahas almashu ‘alal khuffaini :


عَنْ اَلْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ رضي الله عنه قَالَ كُنْتُ مَعَ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَتَوَضَّأَ فَأَهْوَيْتُ لِأَنْزِعَ خُفَّيْهِ فَقَالَ دَعْهُمَا فَإِنِّي أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْنِ فَمَسَحَ عَلَيْهِمَا مُتَّفَقٌ عَلَيْه

Dari Mughirah Ibnu Syu'bah Radliyallaahu 'anhu berkata : Aku pernah bersama Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam ketika beliau berwudlu aku membungkuk untuk melepas kedua sepatunya lalu beliau bersabda : Biarkanlah keduanya sebab aku dalam keadaan suci ketika aku mengenakannya. Kemudian beliau mengusap bagian atas keduanya [Muttafaq Alaihi]


Hadits ini memberi faedah kepada kita tentang sikap tawadlu Mughiroh Bin Syu’bah. Ia adalah pemimpin besar Bani Tsaqif. Seharusnya ia berada pada posisi dilayani. Akan tetapi demikianlah ia berkhidmat bagi nabi shollallohu alaihi wasallam. Sudah seharusnya sikap ini ditiru oleh siapa saja yang memiliki kedudukan untuk mengikis perasaan bangga dan sombong dengan gelar keduniaan


Mengusap Jabiroh


                                                                Almashu Alalkhuffaini (13)


Jabiroh adalah gib yang biasa dipakai bagi orang yang mengalami patah tulang. Ini juga berlaku bagi perban yang menutupi luka-luka. Hal ini berdasar sabda nabi shollallohu alaihi wasallam :


إَنَّمَا يَكْفِيْهِ أنْ يَعْصِبَ عَلَى جُرْحِهِ خِرْقَةً ثُمَّ يَمْسَحُ عَلَيْهِمَا

Sesungguhnya cukup bagimu dengan membalut luka dengan kain lalu mengusap atasnya [HR Abu Daud]


Kendati hadits di atas dloif, akan tetapi mengusap atas pembalut luka tidak dingkari oleh empat imam madzhab

Mengusap Kerudung Bagi Wanita


                                                         Almashu Alalkhuffaini (12)


Hukumnya boleh kendati dalam masalah ini ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ini berlaku ketika berwudlu di tempat umum dimana tempat wudlu wanita tidak aman dari pandangan kaum laki-laki. Bagi yang melakukannya dianjurkan mengusap sedikit dari rambutnya. Masalah ini bisa diqiyaskan dengan mengusap sorban.

Mengusap Surban


                                                                  Almashu Alalkhuffaini (12)


Hukumnya boleh. Ini adalah pendapat Abu Bakar, Umar Bin Khothob dan Anas Bin Malik. Dari kalangan ulama : Imam Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Al Auza’i, Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah. Meski demikian, dianjurkan bagi yang melakukannya untuk mengusap sedikit dari ubun-ubunnya. Dalil dari masalah ini adalah :


عَنْ ثَوْبَانَ رضي الله عنه قَالَ بَعَثَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم سَرِيَّةً فَأَمَرَهُمْ أَنْ يَمْسَحُوا عَلَى اَلْعَصَائِبِ  يَعْنِي اَلْعَمَائِمَ وَالتَّسَاخِينِ يَعْنِي اَلْخِفَافَ رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِم


Dari Tsauban Radliyallaahu 'anhu berkata : Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengirim pasukan tentara, beliau memerintahkan mereka agar mengusap sorban-sorban dan tasakhin, yakni sepatu [HR Ahmad dan Abu Dawud] 

Mengusap Kaus Kaki


                                                               Almashu Alalkhuffaini (10)


Hukumnya boleh sebagaimana yang dituturkan oleh Mughiroh Bin Syu’bah :


أنّ رَسُوْلَ الله صلّى الله عليه وسلم تَوَضَّأ وَمَسَحَ عَلِى الْجَوْرَبَيْنِ وَالنَعْلَيْنِ

Bahwa rosululloh shollallohu alaihi wasallam berwudlu dan mengusap atas kaus kaki dan sendal [HR Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi]


Dalil lain adalah diungkapkan Arzaq Bin Qois :


رَأيْتُ أنس بن مالك أحْدَثَ فَغَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ وَمَسَحَ عَلَى جَوْرَبَيْنِ مِنْ صُوْفٍ فقلت أتَمْسَحُ عَلِيْهِمَا قال إنَّهُمَا خُفَّانِ وَلَكِنْ مِنْ صُوْفٍ

Aku melihat Anas Bin Malik berhadats lalu berwudlu. Ia membasuh wajah dan mengusap kedua kaus kakinya yang terbuat dari bulu domba. Aku berkata : Apakah engkau mengusap bagian atasnya ? Ia menjawab : Sesungguhnya kedua kaus kaki adalah sepatu juga akan tetapi terbuat dari bulu domba


Dalam masalah ini terhitung ada sebelas sahabat yang melakukannya, diantara : Umar Bin Khothob, Abdulloh Bin Umar, Abdulloh Bin Mas’ud dan lainnya

Maroji’ :

Shohih Fiqih Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal Sayyid 1/157

Seorang yang mengenakan sepatu dalam keadaan suci lalu melepas sepatunya


                                                            Almashu Alalkhuffaini (10)


Dalam kondisi seperti ini, maka yang bersangkutan dinyatakan batal rukhsoh yang dimiliknya akan tetapi status wudlunya syah. Artinya ia masih bisa sholat tanpa mengulangi wudlu karena batalnya rukhshoh tidak menyebabkan batalnya wudlu


Hal ini berdasarkan penuturan Abu Dzobyan :


أَنَّهُ رَأى عَلِيًّا بَالَ قَائِمًا ثُمَّ دَعَا بِمَاءٍ فَتَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَى نَعْلَيْهِ ثُمَّ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَخَلَعَ نَعْلَيْهِ ثُمَّ صَلّى

Bahwa ia melihat Ali rodliyallohu anhu kencing sambil berdiri lalu meminta air. Setelah itu ia berwudlu dan mengusap sepatu bagian atas kemudian ia masuk masjid seraya melepas sepatunya selanjutnya menunaikan sholat [HR Albaihaqi]

Cara Mengusap sepatu


                                                                          Almashu Alalkhuffaini (9)


Apakah diqiyaskan dengan telinga sehingga diusap bersama-sama baik sepatu bagian kanan dan sepatu bagian kiri, ataukah disamakan dengan membasuk telapak kaki sehingga sepatu kanan didahulukan atas sepatu kiri ?. Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam berkata :


تقديم اليمنى وذالك لأن الرجلين مستقلتان وليستا كا لأذنين تابعتين للرأس ولأن مسحهما فرع غسلهما والغسل فيه إستحباب التيامن

Mendahulukan kaki kanan. Itu dikarenakan dua kaki berdiri sendiri. Ini berbeda dengan dua telinga yang mengikuti kepala saat diusap. Sebab lain adalah mengusap sepatu bagian atas adalah far’un (cabang) dari membasuh telapak kaki sementara membasuh dianjurkan untuk mendahulukan anggota kanan


Maroji’ :

Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam 1/195

Hadits-hadits dloif seputar almashu alalkhuffain


                                                      almashu alalkhuffain (7)

عَنْ أُبَيِّ بْنِ عِمَارَةَ رضي الله عنه أَنَّهُ قَالَ يَا رَسُولَ اَللَّهِ أَمْسَحُ عَلَى اَلْخُفَّيْنِ؟ قَالَ: نَعَمْ قَالَ: يَوْمًا؟ قَالَ: نَعَمْ قَالَ: وَيَوْمَيْنِ؟ قَالَ: نَعَمْ قَالَ: وَثَلَاثَةً؟ قَالَ: نَعَمْ وَمَا شِئْتَ أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ وَقَالَ: لَيْسَ بِالْقَوِيِّ  

Dari Ubay Ibnu Imarah Radliyallaahu 'anhu bahwa dia bertanya : Ya Rasulullah bolehkah aku mengusap kedua sepatuku ? Rasul menjawab : ya boleh. Ia bertanya : dua hari ? Rasul menjawab : ya boleh. Ia bertanya lagi : tiga hari ? Rasul menjawab : ya boleh sekehendakmu   [HR Abu Dawud dengan menyatakan bahwa hadits ini tidak kuat]


لِلْأَرْبَعَةِ عَنْهُ إِلَّا النَّسَائِيَّ: أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم مَسَحَ أَعْلَى اَلْخُفِّ وَأَسْفَلَهُ وَفِي إِسْنَادِهِ ضَعْف ٌ

Menurut riwayat Imam Empat kecuali Nasa'i : bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengusap sepatu bagian atas dan bawahnya Dalam sanad hadits ini ada kelemahan


عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ الْجُهَنِىِّ قَالَ : خَرَجْتُ مِنَ الشَّامِ إِلَى الْمَدِينَةِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، فَدَخَلْتُ عَلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ لِى : مَتَى أَوْلَجْتَ خُفَّيْكَ فِى رِجْلَيْكَ؟ قُلْتُ : يَوْمَ الْجُمُعَةِ.قَالَ : فَهَلْ نَزَعْتَهُمَا؟ قُلْتُ : لاَ. قَالَ : أَصَبْتَ السُّنَّةَ.

Dari Uqbah Bin Amir Aljuhani berkata : Aku keluar dari Syam menuju Madinah pada hari jumat lalu aku masuk menemui Umar Bin Khothob (pada hari jumat). Ia bertanya kepadaku : Kapan engkau masukkan kakimu ke dalam sepatumu ? Aku menjawab : Hari jumat. Ia bertanya lagi : Apakah engkau melepasnya ? Aku menjawab : Tidak. Ia berkata : Engkau telah sesuai sunnah [HR Albaihaqi]

Yang Membatalkan Almashu Alal Khuffaini


                                                Almashu Alal Khuffaini (6)

Yaitu melepas sepatu, selesainya waktu rukhshoh, berhadats sebelum mengenakan sepatu dan janabat (keluar air mani, bersetubuh, haidh dan nifas). Hal ini berdasarkan :


عَنْ صَفْوَانَ بْنِ عَسَّالٍ رضي الله عنه قَالَ: كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَأْمُرُنَا إِذَا كُنَّا سَفْرًا أَنْ لَا نَنْزِعَ خِفَافَنَا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ إِلَّا مِنْ جَنَابَةٍ وَلَكِنْ مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ وَنَوْمٍ أَخْرَجَهُ النَّسَائِيُّ وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَاللَّفْظُ لَهُ وَابْنُ خُزَيْمَةَ وَصَحَّحَاه

Dari Shafwan Ibnu Assal berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah menyuruh kami jika kami sedang bepergian untuk tidak melepas sepatu kami selama tiga hari tiga malam lantaran buang air besar kencing dan tidur kecuali karena jinabat [HR Nasa'i Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah] 


عَنْ عُمَرَ مَوْقُوفًا وعَنْ أَنَسٍ مَرْفُوعًا إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ وَلَبِسَ خُفَّيْهِ فَلْيَمْسَحْ عَلَيْهِمَا وَلْيُصَلِّ فِيهِمَا وَلَا يَخْلَعْهُمَا إِنْ شَاءَ إِلَّا مِنْ جَنَابَةٍ أَخْرَجَهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ وَالْحَاكِمُ وَصَحَّحَه

Dari Umar Radliyallaahu 'anhu secara mauquf dan dari Anas Radliyallaahu 'anhu secara marfu' : Apabila seseorang di antara kamu berwudlu sedang dia bersepatu maka hendaknya ia mengusap bagian atas keduanya dan sholat dengan mengenakannya tanpa melepasnya jika ia menghendaki kecuali karena jinabat [HR Daruquthni dan Hakim] 

 Ketentuan almashu alalkhuffain


                                                               almashu alalkhuffain (5)

a. Memasukkan kaki ke dalam sepatu dalam keadaan suci

Artinya, ia harus berwudlu terlebih dahulu. Setelah itu ia kenakan sepatunya. Hal ini berdasar sebuah hadits :

عَنْ اَلْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ رضي الله عنه قَالَ كُنْتُ مَعَ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَتَوَضَّأَ فَأَهْوَيْتُ لِأَنْزِعَ خُفَّيْهِ فَقَالَ دَعْهُمَا فَإِنِّي أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْنِ فَمَسَحَ عَلَيْهِمَا مُتَّفَقٌ عَلَيْه

Dari Mughirah Ibnu Syu'bah Radliyallaahu 'anhu berkata : Aku pernah bersama Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam ketika beliau berwudlu aku membungkuk untuk melepas kedua sepatunya lalu beliau bersabda : Biarkanlah keduanya sebab aku dalam keadaan suci ketika aku mengenakannya. Kemudian beliau mengusap bagian atas keduanya [Muttafaq Alaihi]

b. Sepatu yang digunakan menutupi telapak kaki yang merupakan anggota wudlu yang dibasuh

Oleh karena itu, bentuk sepatu yang berlubang tidak syah bagi pemakainya untuk mengambil rukhshoh ini kecuali bila lobangnya akibat rusak. Imam Malik dan Abu Hanifah berkata :

يجوز المسح على الخف المخرق ما دام المشي فيه ممكنا واسمه باقيا

Diperbolehkan mengusap sepatu bagian atas selama bisa dipakai untuk berjalan dan masih memiliki status sebagai sepatu

c. Ketetapan waktu diperbolehkannya mengambil rukhshoh ini


Bagi muqim cukup sehari semalam, sementara bagi musafir tiga hari tiga malam :


عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رضي الله عنه قَالَ: جَعَلَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ لِلْمُسَافِرِ وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيمِ يَعْنِي: فِي اَلْمَسْحِ عَلَى اَلْخُفَّيْنِ أَخْرَجَهُ مُسْلِم

Dari Ali Ibnu Abu Thalib Radliyallaahu 'anhu berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menetapkan tiga hari tiga malam untuk musafir dan sehari semalam untuk muqim, yakni dalam hal mengusap kedua sepatu [HR Muslim] 


وَعَنْ أَبِي بَكْرَةَ رضي الله عنه عَنْ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ رَخَّصَ لِلْمُسَافِرِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ وَلِلْمُقِيمِ يَوْمًا وَلَيْلَةً إِذَا تَطَهَّرَ فَلَبِسَ خُفَّيْهِ: أَنْ يَمْسَحَ عَلَيْهِمَا أَخْرَجَهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَة  

Dari Abu Bakrah dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam : Bahwa beliau memberikan kemudahan bagi musafir tiga hari tiga malam dan bagi mukim sehari semalam apabila ia telah bersuci dan memakai kedua sepatunya maka ia cukup mengusap bagian atasnya [HR Daruquthni] 

Hukum Dan Kedudukan Almashu Alalkhuffain


                                                 Almashu Alalkhuffain (4)

Hukum asli dari mengusap sepatu bagian atas adalah jaiz (boleh) bahkan bisa dinilai afdhol melakukannya sebagai sikap ittiba terhadap apa yang pernah dilakukan oleh nabi shollallohu alaihi wasallam.


Syaikh Sayyid Sabiq menyebut bahwa derajat hadits yang berkenaan dengan almashualal khuffaini adalah mutawatir dengan jumlah perowi mencapai 80 orang. Kaum khowarij dan syiah termasuk firqoh yang menolak syariat ini.


Maroji’ :

Fiqih sunnah, Sayyid Sabiq 1/53

Shohih Fiqih sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal Sayyid 1/149

 Kapan Disyariatkannya Almashu Alal Khuffaini ?


                                           Almashu Alal Khuffaini (3)

Yaitu pada perang tabuk. Yang perlu diketahui tentang perang ini adalah :


a.      Perang melawan bangsa Romawi yang berjumlah 40 ribu pasukan, sementara di pihak kaum muslimin ada 30 ribu pasukan

b.      Terjadi di tahun sembilan hijriyyah ketika puncak musim panas, pada saat yang sama pohon korma siap panen

c.       Perang ini menyingkap siapa mukmin dan siapa munafiq yang diterangkan secara panjang lebar di surat attaubah

d.      Ada tiga sahabat yang tidak ikut perang tanpa udzur yaitu : Hilal Bin Umayyah, Ka’ab Bin Malik dan Muroroh Bin Robi’. Kepada mereka dikenakan hukuman hajr (boikot) hingga lima puluh hari

e.      Sepulang dari Tabuk, ada beberapa peristiwa penting : Meninggalnya Ummu Kultsum Binti Muhammad yang merupakan istri Utsman Bin Affan, meninggalnya raja Najasyi, mati Abdulloh Bin Ubay, penghancuran masjid dliror milik kaum munafiqin  dan dirajamnya wanita Ghomidiyyah


Adapun dalil tentang perintah almashu alal khuffain yang nabi shollallohu alaihi wasallam sampaikan pada perang tabuk adalah :


عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الأَشْجَعِيِّ ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِالْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ : ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ لِلْمُسَافِرِ وَلَيَالِيهِنَّ ، وَلِلْمُقِيمِ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ.

Dari Auf Bin Malik Al Asy Ja’i : Bahwa Rosululloh shollallohu alaihi wasallam memerintahkan mengusap sepatu bagian atas pada perang Tabuk tiga hari tiga malam bagi musafir dan sehari semalam bagi muqim


Almaroji’ :

Arrohiq Almakhtum, Syaikh Shofiyurrohman Almubarok furi hal 510

Almashu Alalkhuffain Adalah Ujian Keimanan


                                                       Almashu Alalkhuffain (2)

Sering ketetapan Alloh tidak ditaati karena menjadikan logika sebagai dasar. Iblis menolak sujud kepada Adam karena menurutnya api lebih baik dari tanah. Walhasil tidak perlu baginya untuk melaksanakan perintah Alloh.


Orang kafir tidak takut kepada neraka karena mereka mendapat informasi :


 عَلَيْهَا تِسْعَةَ عَشَرَ

Di atas neraka ada sembilan belas (malaikat penjaga) [almuddatsir : 19]


Karena ayat inilah mereka semakin menganggap enteng keberadaan neraka. Jumlah mereka yang lebih banyak dibanding penjaga neraka, dalam pandangan mereka tidak mungkin malaikat akan mengatasi kaum kafirin.


Bandingkan dengan Ibrohim yang melepaskan logika ketika ada perintah menyembelih Ismail. Akal semata tidak mungkin bisa mencerna perintah ini. Akan tetapi sikap iman yang mendorong keduanya mentaati perintah Alloh hingga Ismail berkata :


يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ

Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, in syaa Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar [ash shofat : 102]


Oleh karena itu, bila ada perintah maka yang perlu dipikir adalah “ Siapa yang memerintah saya, bukan apa perintahnya “. Ketika kita tahu bahwa perintah itu datangnya dari Alloh sementara kita mengetahui bahwa Alloh Maha Tahu, tentu tidak perlu ditimbang-timbang lagi. Celakalah Iblis ketika Alloh Yang Maha Mengetahui memberi perintah, yang dia pertimbangkan adalah “ Apa perintahnya, bukan siapa yang memerintah “


Tak terkecuali dalam masalah almashu alal khuffain (mengusap sepatu bagian atas). Menurut logika, kaki bagian bawahlah yang menginjak kotoran. Otomatis ketika kita hendak mengusapnya maka bagian bawah lebih layak untuk diusap. Begitulah syariat menetapkan bahwa bagian bawah yang berhak diusap. Ali Bin Abi Tholib memiliki ungkapan yang bagus dalam hal ini :


 عَنْ عَلِيٍّ رضي الله عنه قَالَ لَوْ كَانَ اَلدِّينُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ اَلْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ   ٍ  

Dari Ali Radliyallaahu 'anhu berkata : Jikalau agama itu cukup dengan logika maka bagian bawah sepatu lebih utama untuk diusap daripada bagian atas. Aku benar-benar melihat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengusap bagian atas kedua sepatunya [HR Abu Dawud] 


Kalimat di atas menunjukkan bahwa dalil harus dimenangkan atas logika. Salah satu kaedah ahlussunnah dalam hal ini mengatakan :


الْعَقْلُ الصَّرِيْحُ مُوَافِقٌ لِلنَّقْلِ الصَّحِيْحِ وَلاَ تعَارَضُ قَطْعِيًّا بَيْنَهُمَا وَعِنْدَ تَوَهُّمِ التَّعَارُضِ يُقَدَّمُ النَّقْلُ عَلَى العَقْلِ                          

Akal yang sehat pasti berkesesuaian dengan dalil yang sohih, tidak mungkin keduanya bertentangan.maka disaat timbul keraguan adanya perselisihan antara keduanya dalil naqli  didahulukan dari dalil aqli.


Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam berkata :


العقل السليم يوافق النقل الصحيح فالشريعة التي أنزلها الله تعالى لا تقصد إلا نفس الغرض الذى خلق العقل من أجله حينما يكون العقل سليما صحيحا لم يغلبه الهوى والشهوات ولم يمسه الضعف والخفة على أنه من المعلوم أنّ العقل لا يكون معيارا على الشريعة بل الشريعة هى التى تكون مقياسا لنقد العقل فإذا كان هناك عقل يقبل أحكام الشرع علم أنه عقل سليم برئ من العلات وإذا أبى قبولها علم أنه مريض وعليل

Akal yang sehat sesuai dengan dalil yang shohih. Syariat yang Alloh Ta’ala turunkan tidak ditujukan kecuali untuk satu tujuan yang mana akal diciptakan karenanya. Ketika akal dalam keadaan sehat dan lurus maka tidak akan dikalahkan oleh hawa nafsu dan syahwat dan tidak akan dihinggapi kelemahan dan kebodohan. Sebagaimana yang sudah diketahui bahwa akal tidak bisa dijadikan sebagai penilai bagi syariat justru sebaliknya syariat yang menjadi timbangan dalam menganulir logika. Bila akal menerima hukum-hukum syar’i, itu bukti bahwa akalnya sehat dan selamat dari semua penyakit. Bila akal menolak syariat itu menunjukkan bahwa ia sedang sakit dan bermasalah

Islam Menganjurkan Penggunaan Alas Kaki


                                                   Almashu Alal Khuffaini (1)


Memakai alas kaki ketika berjalan banyak mendatangkan manfaat. Terlihat lebih indah dan beretika. Selain itu alas kaki melindungi kaki dari benda-benda tajam. Rosululloh shollallohu alaihi wasallam sangat menganjurkannya :


عَنْ جَابِرٍ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ فِى غَزْوَةٍ غَزَوْنَاهَا  اسْتَكْثِرُوا مِنَ النِّعَالِ فَإِنَّ الرَّجُلَ لاَ يَزَالُ رَاكِبًا مَا انْتَعَلَ

Dari Jabir, berkata : Aku mendengar nabi shollallohu alaihi wasallam bersabda saat perang yang kami ikuti : Perbanyaklah memakai sendal, karena sesungguhnya seseorang dinyatakan berkendaraan selama memakai sendal  [HR Muslim]


Imam Nawawi menerangkan bahwa pemakai sendal diserupakan dengan arrokib (pengendara) dikarenakan sendal meringankan perjalanan dan mengurangi rasa lelah serta menyelamatkan kaki dari benda keras dan duri.

Tidak itu saja, ternyata islam juga sangat menganjurkan penggunaan alas kaki ketika menunaikan sholat, bahkan disebut sebagai sikap menyelisihi kaum ahlul kitab :


عَنْ يَعْلَى بْنِ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم خَالِفُوا الْيَهُودَ فَإِنَّهُمْ لاَ يُصَلُّونَ فِى نِعَالِهِمْ وَلاَ خِفَافِهِمْ  

Dari Ya’la bin Syadad bin Aus dari bapaknya, berkata : Rosululloh shollallohu alaihi wasallam bersabda : Berbedalah dengan orang yahudi ! Karena mereka tidak menunaikan sholat dengan sendal-sendal dan sepatu-sepatu mereka [HR Abu Daud]


Penulis Aunul Ma’bud berpendapat bahwa memakai sepatu atau sendal saat sholat bisa dianjurkan bila diniatkan untuk menyelisihi kaum yahudi

Betapa pentingnya alas kaki hingga suara sendallah yang didengar oleh si mayit manakala para pengantar sudah mulai meninggalkan komplek pekuburan. Salah satu dasar dari pemahaman ini adalah hadits berikut :


عَنْ أَنَسٍ رضى الله عنه عَنِ النَّبِىِّ  صلى الله عليه وسلم  قَالَ  الْعَبْدُ إِذَا وُضِعَ فِى قَبْرِهِ ، وَتُوُلِّىَ وَذَهَبَ أَصْحَابُهُ حَتَّى إِنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ

Dari Anas rodliyallohu anhu, dari nabi shollallohu alaihi wasallam bersabda : Bila seorang hamba sudah diletakkan di dalam kuburnya, lalu para sahabatnya berpaling dan pergi meningalkannya hingga ia mendengar derap langkah sendal mereka  ...... [HR Bukhori Muslim]


Selain hal di atas, kita juga harus tahu ternyata islam tidak menyukai orang yang tidak mengenakan alas kaki, apalagi bila disertai keyakinan bahwa perbuatan itu dinilai sebagai bentuk ketaatan :


عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ رضي الله عنه قَالَ نَذَرَتْ أُخْتِي أَنْ تَمْشِيَ إِلَى بَيْتِ اَللَّهِ حَافِيَةً, فَقَالَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم لِتَمْشِ وَلْتَرْكَبْ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ

Dari Uqbah Ibnu Amir berkata : Saudaraku perempuan pernah bernadzar hendak berjalan ke Baitullah dengan kaki telanjang, lalu ia menyuruhku untuk meminta petunjuk kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam Setelah aku meminta petunjuknya, Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Hendaknya ia berjalan dan naik kendaraan [Muttafaq Alaihi] 


Yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa alas kaki adalah pakaian ahluljannah dan ahlunnar sebagaimana yang ditujukan oleh hadits di bawah ini :


عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ أَهْوَنُ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا أَبُو طَالِبٍ وَهُوَ مُنْتَعِلٌ بِنَعْلَيْنِ يَغْلِى مِنْهُمَا دِمَاغُهُ

Dari Ibnu Abbas, bahwasanya rosululloh shollallohu alaihi wasallam bersabda : Siksa paling ringan bagi penghuni neraka adalah Abu Tholib dimana ia dikenakan sendal yang menyebabkan mendidihlah otaknya  [HR Muslim]


عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ  رضى الله عنه  أَنَّ النَّبِىَّ  صلى الله عليه وسلم  قَالَ لِبِلاَلٍ عِنْدَ صَلاَةِ الْفَجْرِ يَا بِلاَلُ حَدِّثْنِى بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِى الإِسْلاَمِ ، فَإِنِّى سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَىَّ فِى الْجَنَّةِ   قَالَ مَا عَمِلْتُ عَمَلاً أَرْجَى عِنْدِى أَنِّى لَمْ أَتَطَهَّرْ طُهُورًا فِى سَاعَةِ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلاَّ صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِى أَنْ أُصَلِّىَ

Dari Abu Huroiroh rodliyallohu anhu, bahwasanya nabi shollallohu alaihi wasallam bersabda kepada Bilal saat sholat shubuh : Wahai Bilal, tolong ceritakan padaku tentang amal apa yang paling engkau harapkan pahalanya dalam islam, karena sesungguhnya aku mendengar derap sendalmu di hadapanku dalam aljannah. Bilal berkata : Tidak ada amal yang paling aku harapkan pahalanya selain aku bersuci (berwudlu) baik malam maupun siang kecuali aku pasti menunaikan sholat setelahnya semampuku [HR Bukhori]


Maroji’ :

Syarh Shohih Muslim (maktabah syamilah)

Aunul Ma’bud, Al Allamah Abu Thoyyib Muhammad Syamsul Haq Al’dzim Al Abadi 2/66

Arruh, Ibnu Qoyyim Aljauziyyah

Fitroh kesepuluh : Berkumur

 
                                                                               Fitroh (13)
Hal-hal yang perlu diketahui tentang berkumur-kumur adalah :
(1) Tetap ditunaikan meski sedang shoum
Tidak ada satupun riwayat yang menyebutkan bahwa nabi shollallohu alaihi wasallam meninggalkan sunnah ini saat shoum. Justru meninggalknnya dinilai sebagai sikap tasyaddud (ekstrim dalam beragama)
(2) Berkumur-kumur dilakukan setelah minum susu
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم شَرِبَ لَبَنًا ثُمَّ دَعَا بِمَاءٍ فَتَمَضْمَضَ وَقَالَ إِنَّ لَهُ دَسَمًا
Dari Ibnu Abbas, bahwa nabi shollallohu alaihi wasallam meminum susu lalu minta diambilkan air. Selanjutnya beliau berkumur-kumur dan bersabda : Sesungguhnya pada susu ada lemak [HR Muslim]
(3) Berkumur-kumur saat wudlu akan menghilangkan dosa
عن أَبي هريرة رضي الله عنه  أنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم قَالَ إِذَا تَوَضَّأ العَبْدُ المُسْلِمُ  أَو المُؤْمِنُ فَغَسَلَ وَجْهَهُ ، خَرَجَ مِنْ وَجْهِهِ كُلُّ خَطِيئَةٍ نَظَرَ إِلَيْهَا بِعَيْنَيْهِ مَعَ المَاءِ ، أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ المَاءِ ، فَإذَا غَسَلَ يَدَيْهِ ، خَرَجَ مِنْ يَدَيْهِ كُلُّ خَطِيئَةٍ كَانَ بَطَشَتْهَا يَدَاهُ مَعَ المَاءِ ، أَو مَعَ آخِرِ قَطْرِ المَاءِ ، فَإذَا غَسَلَ رِجْلَيْهِ ، خَرَجَتْ كُلُّ خَطِيئَةٍ مَشَتْهَا رِجْلاَهُ مَعَ المَاءِ ، أَو مَعَ آخِرِ قَطْرِ المَاءِ ، حَتَّى يَخْرُجَ نَقِيَّاً مِنَ الذُّنُوبِ
Dari Abu Huroiroh rodliyallohu anhu : Bahwa rosululloh shollallohu alaihi wasallam bersabda : Bila seorang hamba muslim atau mukmin berwudlu lalu mencuci wajahnya maka keluarlah dari wajahnya semua dosa dari matanya yang ia gunakan untuk melihat bersama akhir tetesan air. Bila ia mencuci tangannya maka akan keluar semua dosa dari tangannya yang ia gunakan untuk memukul bersama akhir dari tetesan air. Bila ia mencuci kakinya maka akan keluar semua dosa dari kaki yang ia gunakan untuk melangkah bersama akhir tetesan air hingga akhirnya ia keluar dalam keadaan bersih dari dosa [HR Muslim]

Fitroh kesembilan : Intiqoshul ma’ (istinja dengan air)


                                                                              Fitroh (12)

عن أنس  رضى الله عَنْهُ قَالَ كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَدْخُلُ اَلْخَلَاءَ فَأَحْمِلُ أَنَا وَغُلَامٌ نَحْوِي إِدَاوَةً مِنْ مَاءٍ وَعَنَزَةً فَيَسْتَنْجِي بِالْمَاءِ  

Dari Anas Radliyallaahu 'anhu berkata : Pernah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam masuk ke kakus lalu aku dan seorang pemuda yang sebaya denganku membawakan bejana berisi air dan sebatang tongkat kemudian beliau bersuci dengan air tersebut. [Muttafaq Alaihi]

Fitroh  kedelapan : Mencuci barojim (jari-jari)


                                                                             Fitroh (11)

Ini ditujukan kepada para pemakai cincin dan dilakukan saat berwudlu. Para ulama mengqiyaskan sunnah ini dengan daun telinga dan lubangnya yang memiliki potensi kotoran

Fitroh  ketujuh : Istinsyaq


                                                              Fitroh (10)

Yaitu memasukkan air ke hidung lalu mengeluarkannya. Istinsyaq memiliki hukum-hukum :


(1) Istinsyaq bermanfaat untuk mengeluarkan dosa dan mengusir setan :

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلْيَسْتَنْثِرْ ثَلَاثًا فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَبِيتُ عَلَى خَيْشُومِهِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila seseorang di antara kamu bangun dari tidur maka hendaklah ia menghisap air ke dalam hidungnya tiga kali dan menghembuskannya keluar karena setan tidur di dalam rongga hidung itu." Muttafaq Alaihi.


(2) Istinsyaq ditunaikan satu paket dengan berkumur

عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ زَيْدٍ رضي الله عنه فِي صِفَةِ اَلْوُضُوءِ ثُمَّ أَدْخَلَ صلى الله عليه وسلم يَدَهُ فَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ مِنْ كَفٍّ وَاحِدَةٍ يَفْعَلُ ذَلِكَ ثَلَاثًا  مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ.

Dari Abdullah Ibnu Zaid Radliyallaahu 'anhu tentang cara berwudlu: Kemudian beliau memasukkan tangannya lalu berkumur dan menghisap air melalui hidung satu tangan. Beliau melakukannya tiga kali. Muttafaq Alaihi.


(3) Istinsyaq tetap ditunaikan meski sedang menunaikan shoum

عَنْ لَقِيطِ بْنِ صَبِرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْبِغْ الْوُضُوءَ وَخَلِّلْ بَيْنَ الْأَصَابِعِ وَبَالِغْ فِي الِاسْتِنْشَاقِ إلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ

Dari Laqith Ibnu Shabirah Radliyallaahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Sempurnakanlah dalam berwudlu usaplah sela-sela jari dan isaplah air ke dalam hidung dalam-dalam kecuali jika engkau sedang shoum [HR Imam Empat]  

Fitroh keenam : Memelihara jenggot


                                                                                Fitroh (9)
Memotong jenggot adalah kebiasaan bangsa Persi. Imam Nawawi berkata :

وَكَرِهَ مَالِك طُولهَا جِدًّا ، وَمِنْهُمْ مَنْ حَدَّدَ بِمَا زَادَ عَلَى الْقَبْضَة فَيُزَال ، وَمِنْهُمْ مَنْ كَرِهَ الْأَخْذ مِنْهَا إِلَّا فِي حَجّ أَوْ عَمْرَة

Imam Malik memakruhkan memelihara jenggot hingga panjang sekali. Ada juga yang berpendapat sepanjang genggaman tangan, lebih dari itu dipotong. Yang lain berpendapat bahwa jenggot tidak boleh dipotong kecuali saat haji dan umroh


Ada sepuluh kesalahan dalam masalah jenggot : (1) Menyemirnya dengan warna hitam bukan ditujukan jihad (2) Menyemirnya dengan warna kuning meniru orang sholih, bukan didasari sikap ittiba’ sunnah (3) Mewarnainya dengan belerang yang membuat putih agar terlihat tua dengan harapan mendapat kedudukan, pengagungan dan penilaian sebagai syaikh (4) Mencabut dan mencukurnya demi keindahan paras (5) Mencabut jenggot yang beruban (6) Meratakannya  supaya menarik perhatian wanita (7) Menambah dan mengurangi pada bulu pipi dari pelipis atau memotong sebagian bulu di pipi saat menggundul rambut dan mencabut bulu di bawah mulut (8) Membiarkannya dibuat-buat dengan harapan mendapat perhatian manusia (9) Membiarkannya morat-marit untuk menunjukkan kezuhudan (10) Menguncirnya

Fitroh kelima : Memotong kumis


                                                                          Fitroh (8)

Para ulama salaf berbeda pendapat tentang kumis. Ada yang menganjurkan untuk mencukur kumis hingga habis. Sementara Imam Malik melarangnya karena menilanya sebagai mutslah (mutilasi). Secara umum mencukur kumis ditujukan agar terlihat ujung bibir

Fitroh keempat : Natful ibthi (Mencabut bulu ketiak)


                                                                   Fitroh (7)

Imam Syafi’i berkata :

فَقَالَ الشَّافِعِيّ : عَلِمْت أَنَّ السُّنَّة النَّتْف وَلَكِنْ لَا أَقْوَى عَلَى الْوَجَع وَيُسْتَحَبّ أَنْ يَبْدَأ بِالْإِبِطِ الْأَيْمَن

Aku tahu bahwa menurut sunnah adalah mencabut akan tetapi aku tidak bisa menahan rasa sakit. Dianjurkan mencabut bulu ketiak bagian kanan terlebih dahulu.

Fitroh  ketiga : Taqlimul adzfar (Memotong kuku)


                                                            Fitroh (6)

Imam Nawawi berkata :

وَيُسْتَحَبّ أَنْ يَبْدَأ بِالْيَدَيْنِ قَبْل الرِّجْلَيْنِ فَيَبْدَأ بِمُسَبِّحَةِ يَده الْيُمْنَى ، ثُمَّ الْوُسْطَى ثُمَّ الْبِنْصِر ثُمَّ الْخِنْصَر ثُمَّ الْإِبْهَام ثُمَّ يَعُود إِلَى الْيُسْرَى فَيَبْدَأ بِخِنْصَرِهَا ثُمَّ بِبِنْصِرِهَا إِلَى آخِرهَا ثُمَّ يَعُود إِلَى الرِّجْلَيْنِ الْيُمْنَى فَيَبْدَأ بِخِنْصَرِهَا وَيَخْتِم بِخِنْصَرِ الْيُسْرَى

Dianjurkan memulai memotong kuku dari kedua tangan sebelum dua kaki. Dimulai dari jari telunjuk yang kanan lalu jari tengah, setelah itu jari manis, selanjutnya jari kelingking dan terakhir ibu jari. Bila selesai dilanjutkan tangan kanan dimulai jari kelingking, jari manis hingga akhir jari. Dilanjutkan ke dua kaki dimulai dari kaki kanan. Diawali kelingking dan diakhiri dengan kelingking bagian kiri.

Fitroh kedua : Istihdad


                                                                 Fitroh (5)

Mencukur bulu kemaluan dianjurkan dilakukan hingga memangkas seluruh bulunya, baik bulu bagian depan atau belakang :

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ وُقِّتَ لَنَا فِى قَصِّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيمِ الأَظْفَارِ وَنَتْفِ الإِبْطِ وَحَلْقِ الْعَانَةِ أَنْ لاَ نَتْرُكَ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً.

Dari Anas Bin Malik berkata : Kami diberi batasan dalam mencukur kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak dan mencukur bulu kemaluan agar tidak dibiarkan lebih dari 40 hari [HR Muslim]