Almashu Alalkhuffain (2)
Sering ketetapan Alloh tidak ditaati
karena menjadikan logika sebagai dasar. Iblis menolak sujud kepada Adam karena
menurutnya api lebih baik dari tanah. Walhasil tidak perlu baginya untuk
melaksanakan perintah Alloh.
Orang kafir tidak takut kepada neraka
karena mereka mendapat informasi :
عَلَيْهَا
تِسْعَةَ عَشَرَ
Di atas neraka ada sembilan belas (malaikat
penjaga) [almuddatsir : 19]
Karena ayat inilah mereka semakin
menganggap enteng keberadaan neraka. Jumlah mereka yang lebih banyak dibanding
penjaga neraka, dalam pandangan mereka tidak mungkin malaikat akan mengatasi
kaum kafirin.
Bandingkan dengan Ibrohim yang
melepaskan logika ketika ada perintah menyembelih Ismail. Akal semata tidak mungkin
bisa mencerna perintah ini. Akan tetapi sikap iman yang mendorong keduanya
mentaati perintah Alloh hingga Ismail berkata :
يَا
أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Hai bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu, in syaa Allah kamu akan mendapatiku termasuk
orang-orang yang sabar [ash shofat : 102]
Oleh karena itu, bila ada perintah
maka yang perlu dipikir adalah “ Siapa yang memerintah saya, bukan apa
perintahnya “. Ketika kita tahu bahwa perintah itu datangnya dari Alloh
sementara kita mengetahui bahwa Alloh Maha Tahu, tentu tidak perlu
ditimbang-timbang lagi. Celakalah Iblis ketika Alloh Yang Maha Mengetahui
memberi perintah, yang dia pertimbangkan adalah “ Apa perintahnya, bukan siapa
yang memerintah “
Tak terkecuali dalam masalah almashu
alal khuffain (mengusap sepatu bagian atas). Menurut logika, kaki bagian
bawahlah yang menginjak kotoran. Otomatis ketika kita hendak mengusapnya maka
bagian bawah lebih layak untuk diusap. Begitulah syariat menetapkan bahwa
bagian bawah yang berhak diusap. Ali Bin Abi Tholib memiliki ungkapan yang bagus
dalam hal ini :
عَنْ
عَلِيٍّ رضي الله عنه قَالَ
لَوْ كَانَ اَلدِّينُ
بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ اَلْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ
وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ
خُفَّيْهِ أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ ٍ
Dari Ali Radliyallaahu 'anhu berkata : Jikalau
agama itu cukup dengan logika maka bagian bawah sepatu lebih utama untuk diusap
daripada bagian atas. Aku benar-benar melihat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi
wa Sallam mengusap bagian atas kedua sepatunya [HR Abu Dawud]
Kalimat di atas menunjukkan bahwa dalil harus
dimenangkan atas logika. Salah satu kaedah ahlussunnah dalam hal ini mengatakan
:
الْعَقْلُ الصَّرِيْحُ مُوَافِقٌ لِلنَّقْلِ
الصَّحِيْحِ وَلاَ تعَارَضُ قَطْعِيًّا بَيْنَهُمَا وَعِنْدَ تَوَهُّمِ التَّعَارُضِ
يُقَدَّمُ النَّقْلُ عَلَى العَقْلِ
Akal yang sehat pasti berkesesuaian
dengan dalil yang sohih, tidak mungkin keduanya bertentangan.maka disaat timbul
keraguan adanya perselisihan antara keduanya dalil naqli didahulukan dari dalil aqli.
Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam
berkata :
العقل السليم يوافق
النقل الصحيح فالشريعة التي أنزلها الله تعالى لا تقصد إلا نفس الغرض الذى خلق
العقل من أجله حينما يكون العقل سليما صحيحا لم يغلبه الهوى والشهوات ولم يمسه
الضعف والخفة على أنه من المعلوم أنّ العقل لا يكون معيارا على الشريعة بل الشريعة
هى التى تكون مقياسا لنقد العقل فإذا كان هناك عقل يقبل أحكام الشرع علم أنه عقل
سليم برئ من العلات وإذا أبى قبولها علم أنه مريض وعليل
Akal yang sehat sesuai dengan dalil
yang shohih. Syariat yang Alloh Ta’ala turunkan tidak ditujukan kecuali untuk
satu tujuan yang mana akal diciptakan karenanya. Ketika akal dalam keadaan
sehat dan lurus maka tidak akan dikalahkan oleh hawa nafsu dan syahwat dan
tidak akan dihinggapi kelemahan dan kebodohan. Sebagaimana yang sudah diketahui
bahwa akal tidak bisa dijadikan sebagai penilai bagi syariat justru sebaliknya syariat
yang menjadi timbangan dalam menganulir logika. Bila akal menerima hukum-hukum
syar’i, itu bukti bahwa akalnya sehat dan selamat dari semua penyakit. Bila
akal menolak syariat itu menunjukkan bahwa ia sedang sakit dan bermasalah