Kapan Si Yatim Menerima Hartanya Dari Walinya ?




Fiqih Yatim (12) 

Alloh Ta’ala berfirman :
وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آَنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah rusydan (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu Makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan Barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia Makan harta itu menurut yang patut. kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu). [annisa’ : 6]

Ayat di atas menerangkan tentang ketentuan waktu penyerahan harta dari wali kepada si yatim. Alloh menyebut rusydan. Sa’id bin Jubar memberi definisi rusydan dengan 

صَلاحا في دينهم وحفظا لأموالهم
Sholih secara din dan memiliki kemampuan dalam menjaga harta

Selanjutnya Ibnu Katsir menambahkan
وهكذا قال الفقهاء متَى بلغَ الغلام مُصْلحًا لدينه وماله، انفك الحجر عنه، فيسلم إليه ماله الذي تحت يد وليه بطريقه
Demikianlah para fuqoha berkata : Saat si anak sudah mencapai usia baligh, sholih secara din dan dipercaya untuk mengelola harta maka hajr (penahanan harta untuk dikelola si wali) sudah berakhir. Setelah itu harta yang ada di tangan si wali harus diserahkan kepada si yatim

Maroji’ :
Tafsir Ibnu Katsir (maktabah syamilah) hal 77

Si Yatim Jangan Mengelola Harta Sendirian




Fiqih Yatim (11) 

Anak kecil belum memiliki kedewasaan. Perbuatan yang ia lakukan dibangun di atas dasar “ Yang penting saya suka “ tanpa mempertimbangkan maslahat dan madlorot. Untuk itulah anak yatim tidak boleh dibiarkan berbuat sesukanya terhadap harta yang ditinggalkan oleh orang tuanya. Siapa yang memiliki sifat amanah dan kemampuan mengelola harta itu harus segera mengambil alih peran itu.
Inilah yang Alloh pesankan dalam alquran :

وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik

Ayat ini memberikan pelajaran :

1.      Assufaha (Orang yang belum sempurna akalnya ialah anak yatim yang belum balig atau orang dewasa yang tidak dapat mengatur harta bendanya) tidak boleh mengelola harta
2.      Makanan dan pakaian serta kebutuhan mereka diambil dari harta mereka atas izin dari si pengelola harta
3.      Qaoulan ma’rufa (kata-kata baik) sebagai satu bentuk penolakan disampaikan manakala mereka menuntut hartanya sebelum masanya



Mendekati Harta Anak Yatim Dengan Ahsan




Fiqih Yatim (10)
 
Alloh Ta’ala berfirman :
وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ  
Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa [al an’am : 152]
وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ
Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik sampai ia dewasa  [al isro : 34]

Dua ayat di atas menerangkan  tentang pembolehan mendekati harta anak yatim dengan syarat billati hiya ahsan (dengan cara yang ahsan, terbaik). Apa maknanya ? Para ahli tafsir memaknai dengan :
1.      Namaa-an wahifdzon (mengembangkan dan menjaga). Ini pendapat penulis aisaruttafasir
2.      Alhifdzu wal arbah (menjaga dan mendatangkan keuntungan). Ini pendapat Ibnu Abbas
3.      Tholbuttojaroh fiihi warribhu minhu (membisniskan dan mendatangkan keuntungan). Ini pendapat penulis addar mantsur
4.      .Hifdzuhu watatsmiruhu (menjaganya dan mengembangkannya). Ini pendapat Ibnu Ajibah

Dan masih banyak lagi pendapat yang serupa. Walhasil, menjaga dan mengembangkan harta anak yatim sehingga mendatangkan keuntungan adalah bagian dari makna mendekati billati hiya ahsan.
Sawah yang membentang tentu akan sia-sia manakala dibiarkan tanpa ditanami. Angkot akan lebih bermanfaat bila dijalankan untuk menarik penumpang. Rumah-rumah yang banyak yang ditinggalkan orang tua si yatim, sangat baik untuk dikontrakkan. Demikian selanjutnya.

Itu semua tidak akan bisa dilakukan oleh anak kecil. Karena itulah, orang dewasa yang mengerti dan cakap dalam mengelola harta mereka, segera mengambil alih semuanya demi mendatangkan maslahat

Maroji’ :
Aisaruttafasir (maktabah syamilah) hal 149
Ibnu Abbas (maktabah syamilah) hal 149
Addar almantsur (maktabah syamilah) hal 149
Ibnu Ajibah (maktabah syamilah) hal 149


Mencampur Makanan Kita Dengan Makanan Anak Yatim




Fiqih Yatim (9) 

Anak yatim ingin makan rujak. Ia memiliki beberapa buah, akan tetapi ia tidak punya bahan-bahan sambal termasuk peralatannya. Datanglah seseorang dengan membawa kekurangan yang dibutuhkan sehingga rujakpun terhidang dan disantap oleh keduanya.

Si yatim dan pemeliharanya sedang makan nasi goreng. Hidangan itu tersaji berkat patungan dari keduanya. Si anak mengeluarkan nasi sementara si pemelihara menyediakan telur, minyak dan bumbu.

Atau boleh jadi ketika kita membuat makanan untuk si yatim lalu masih tersisa, bila dibiarkan akan sia-sia dan basi maka dalam kondisi seperti ini, diperbolehkan bagi kita untuk memakannya
Tiga contoh di atas adalah salah satu cara memakan harta anak yatim yang dibenarkan oleh syariat. Alloh berfirman :

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلَاحٌ لَهُمْ خَيْرٌ وَإِنْ تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَأَعْنَتَكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah : Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, Maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang Mengadakan perbaikan. dan Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana  [albaqoroh : 220]

Imam Baghowi menerangkan bahwa ketika turun ayat tentang larangan memakan harta anak yatim pada surat al an’am ayat 152 dan annisa’ ayat 10, kaum muslimin sangat ketakutan terhadap harta anak yatium hingga menjauhkan harta mereka dengan harta anak yatim. Saat mereka membuat makanan untuk anak yatim, lalu masih ada sisa, mereka tetap menjauhinya dan enggan memakannya hingga akhirnya basi. Rupanya kondisi itu memberatkan mereka yang akhirnya mereka bertanya kepada rosululloh shollallohu alaihi wasallam lalu Alloh menurunkan ayat di atas.

Maroji’ :
Albaghowi (maktabah syamilah) hal 35

Jangan Menukar Harta Anak Yatim Dengan Yang Harta Buruk




Fiqih Yatim (8)
 
Nasehat ini ditujukan kepada para pengelola harta anak yatim. Kebun si yatim yang subur tidak boleh ditukar dengan kebun kita yang gersang. Rumah si yatim yang berada di pinggir jalan sehingga bernilai strategis dan berharga mahal, jangan diganti dengan rumah kita yang berada jauh dari jalan raya. Sawah si yatim yang dekat dengan sumber mata air jangan diincar lalu kita ambil alih dan kita berikan sawah kita yang jauh dari sumber mata air itu.

Untuk itu Alloh berfirman :
وَآَتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar  [annisa’ : 2]

Ayat ini turun berkenaan dengan lelaki dari suku Ghothofan yang memegang harta anak yatim yang merupakan keponakannya. Ketika si yatim meminta hartanya, sang paman menolaknya sehingga si yatim mengadukannya di hadapan nabi shollallohu alaihi wasallam lalu turunlah ayat di atas.

Maroji’ :
Addar Mantsur (maktabah syamilah) hal 77