Tinggalkan Yang Meragukan !




(Fiqih Ragu 20)
عَنْ أَبِي مُحَمَّدٍ الْحَسَنُ بْنُ عَلِي بْنِ أبِي طَالِبٍ سِبْطِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَيْحَانَتِهِ رَضِيَ الله عَنْهُمَا قَالَ : حَفِظْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؛ دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ .
Dari Abu Muhammad Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dan kesayangannya dia berkata : Saya menghafal dari Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam (sabdanya): Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu [HR Tirmidzi dan Nasa’i]
Hadits di atas memiliki latar belakang sejarah. Hasan bin Ali berkata : Aku mengambil sebutir kurma dari kurma zakat lalu aku memasukkannya ke dalam mulut. Rosululloh shollallohu alaihi wasallam mencabutnya dengan ludahnya. Seorang laki-laki berkata : Apa dosamu memakan kurma ini ? Beliau berkata : Kami (keluarga Muhammad) tidak boleh makan dari harta zakat. Setelah itu beliau bersabda : Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran membuat tenang, dusta membuat keraguan.
Ketika ada isu bakso yang berasal dari daging celeng, selanjutnya muncullah kebimbangan antara membeli atau mengurungkannya, maka camkan hadits di atas.

Dalam sebuah perjalanan, waktu hampir masuk malam hari, sementara kita akan melewati daerah yang menurut berita banyak pembegalan di malam hari. Dalam kondisi seperti ini tentu kita tidak berani mengambil resiko. Menghentikan kendaraan untuk istirahat semalam dan melanjutkan perjalanan keesokan harinya.

Demikianlah, yang meragukan harus kita tinggalkan. Tentang hadits di atas, Imam Alhafidz Abul ‘Ula berkata : Seorang mukallaf harus membangun semua perkara yang dihadapi di atas keyakinan yang pasti.

Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin berkata : Adapun sesuatu yang meragukanmu, baik urusan dunia atau akhirat, yang terbaik ambillah sesuatu yang membuatmu tenang dengan cara meninggalkannya hingga tidak terjadi pada dirimu gejolak dan kegelisahan.

Maroji’ :
Tuhfatul Ahwadzi, Al Imam Alhafidz Abul ‘Ula Muhammad Abdurrohman bin Abdurrohim Almubarokfuri 6/386 cetakan Darul Hadits Alqohiroh tahun 1421 H/2001 M
Syarh Arba’in Annawawiyyah, hal 102-103 Maktabah Auladusy Syaikh

Perasaan Bimbang Dan Ragu Saat Melakukan Maksiat




(Fiqih Ragu 19) 

Orang sholih, tertanam dengan baik pada dirinya rasa benci kepada perbuatan maksiat. Itu balasan yang setara dengan kedekatan mereka terhadap Alloh. Alquran menyebut :

وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ
Akan tetapi Allah menjadikan kamu 'cinta' kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. mereka Itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus  [alhujurot : 7]

Ayat ini menjelaskan balasan dari Alloh kepada orang yang taat dengan dua anugerah : Kecintaan kepada iman, yang berarti hatinya condong kepada ketaatan. Yang kedua sikap benci kepada kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan.

Orang seperti ini memiliki kepekaan terhadap perbuatan dosa. Kendati kecil, ia akan resah saat melakukan kemaksiatan itu. Sikap sensitif terhadap penyimpangan inilah yang disebut oleh nabi shollallohu alaihi wasallam :

عَنْ النَّوَّاسِ بنِ سَمْعَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عليه وسلم قَالَ : الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَاْلإِثْمُ مَا حَاكَ فِي نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ   .
Dari Nawwas bin Sam’an radhiallahuanhu, dari Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda : “Kebaikan adalah akhlak yang baik, dan dosa adalah apa yang terasa mengaggu jiwamu dan engkau tidak suka jika diketahui  manusia [HR Muslim]
وَعَنْ وَابِصَةَ بْنِ مَعْبَد رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : جِئْتَ تَسْألُ عَنِ الْبِرِّ قُلْتُ نَعَمْ، قَالَ  اِسْتَفْتِ قَلْبَكَ، الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ، وَاْلإِثْمُ مَا حَاكَ فِي النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ، وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ "
Dan dari Wabishah bin Ma’bad radhiallahuanhu dia berkata : Saya mendatangi Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam, lalu beliau bersabda : Engkau datang untuk menanyakan kebaikan ?, saya menjwab : Ya. Beliau bersabda : Mintalah pendapat dari hatimu, kebaikan adalah apa yang jiwa dan hati tenang karenanya, dan dosa adalah apa yang terasa mengganggu jiwa dan menimbulkan keragu-raguan dalam dada, meskipun orang-orang memberi fatwa kepadamu dan mereka membenarkannya  [HR Ahmad dan Addarimi]
Dua hadits di atas memberikan pelajaran :
Kriteria perbuatan dosa ada : dua merasa terganggu dan perasaan ragu saat melakukan sesuatu dan khawatir bila apa yang dilakukannya diketahui oleh orang lain.
Orang beriman selalu melakukan perbuatan yang mendatangkan ketenangan.
Albirr (kebaikan) dan al itsmu (dosa) adalah dua hal yang selalu bertentangan
Sebuah pertanyaan mengatakan : Kalau memang barometer dosa itu adalah ragu dan bimbang serta perasaan tidak ingin dilihat, lalu bagaimana dengan ahlul ma’shiyat yang merasa tenang dengan dosa yang mereka tekuni ?
Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin memberi jawaban berharga, beliau berkata : Hadits ini khitobnya ditujukan kepada Nawas bin Sam’an. Seorang sahabat yang mulia. Ia akan bimbang, ragu dan tidak tenang manakala berbuat dosa. Adapun orang fasik dan fujur (bergelimang dosa), maka semua dosa yang mereka lakukan tidak membuat hati resah dan tidak merasa risih manakala diketahui manusia bahkan mereka akan bangga dan menceritakan dosa dan kefasikannya.
Maroji’ :
Syarh Arba’in Annawawiyyah, Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin hal 188 (Maktabah Auladusy Syaikh Litturots)






Tidak Selamanya Dzonn Itu Ragu




(Fiqih Ragu 18) 

Dzonn adalah persangkaan. Dalam alquran, kata dzonn berkonotasi negatif, tidak pasti, penuh keraguan dan tidak bisa dijadikan sebagai hujah hukum. Di antaranya :

يظنون بالله غير الحق ظن الجاهليـة يقولون هل لنا من الأمـر من شيء قل إن الأمر كله لله
Mereka berprasangka yang tidak benar terhadap Allah, seperti sangkaan jahiliyah, mereka berkata : apakah ada bagi kita sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, katakanlah : sungguh urusan itu seluruhnya di Tangan Allah.… [QS. Ali Imran, 154]

ويعذب المنافقـين والمنافقـات والمشركـين والمشركـات الظانين بالله ظن السوء عليهم دائرة السوء وغضب الله عليهم ولعنهم وأعد لهم جهنم وساءت مصيرا
Dan supaya Dia mengadzab orang-orang munafik laki-laki dan orang-orang munafik perempuan, dan orang-orang Musyrik laki laki dan orang-orang musyrik perempuan yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah, mereka akan mendapat giliran (keburukan) yang amat buruk, dan Allah memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka neraka jahannam. Dan (neraka jahannam) itulah seburuk-buruk tempat kembali   [Al Fath, 6]

وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali dzonn (persangkaan saja). Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan  [yunus : 36]

Kendati demikian, dzonn memiliki arti kebalikan dari makna di atas, yaitu yakin sebagaimana firman Alloh Ta’ala :

وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ  الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
45. Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu',
46. (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Robnya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya [albaqoroh : 45-46]

Ayat di atas menerangkan definisi orang yang khusyu’. Mereka adalah yang memiliki dzonn (pada ayat ini bermakna yakin) bahwa dirinya akan bertemu dengan Alloh.
Imam Arrozi mengartikan dzonn pada ayat ini dengan al ilmu. Imam Baidlowi menguatkan pendapat ini dengan menampilkan kata yadzunnuuna dengan bacaan ibnu Mas’ud yang membacanya dengan ya’lamuuna. Syaikh Abdurrohman Nashir Assa’di mengartikannya dengan yakin. Kedua pendapat ini meski berbeda namun saling melengkapi. Ilmu pasti dibangun di atas dasar keyakinan.

Qotadah menambahkan :

ما كان من ظن الآخرة فهو علم
Dzonn dalam quran bila dihubungkan dengan akhirat bermakna yakin

Walhasil menyikapi akhirat dengan dzonn adalah masyru’ (disyariatkan)

Maroji’ :
Tafsir Arrozi (maktabah syamilah) hal 7
Tafsir Albaidlowi (maktabah syamilah) hal 7
Tafsir Assa’di (maktabah syamilah) hal 7




Upaya Menimbulkan Keraguan Pada Para Sahabat




(fiqih ragu 17)
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ   
Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik  [al an’am : 121]

Penulis tafsir Addar Mantsur menyebut asbabunnuzul dari ayat di atas dengan menyebut riwayat :
Kaum musyrik berkata kepada para sahabat : Binatang yang kalian sembelih, kalian makan sementara binatang ini mati (dengan sendirinya), siapa yang membunuhnya ? Para sahabat menjawab : Alloh. Mereka berkata : Binatang yang dimatikan oleh Alloh, kalian haramkan sedangkan yang kalian matikan, kalian halalkan ? Allohpun turunkan ayat di atas.

Ayat di atas memberi faedah :

·         Binatang yang disembelih tanpa menyebut nama Alloh berstatus fasik
·         Adanya kerjasama antara setan dan kawan-kawannya dari kalangan manusia (orang musyrik)
·         Ancaman kepada para sahabat, bila mereka mengikuti alur pikiran kaum musyrik maka akan mendapat kedudukan sama dengan mereka, yaitu sama-sama musyrik.

Ini adalah upaya orang kafir untuk menimbulkan keraguan pada sahabat. Mereka timbang hukum Alloh dengan logika. Satu binatang yang mati lewat penyembelihan yang dilakukan oleh muslim dengan menyebut nama Alloh berstatus halal, lalu kenapa hewan binasa tanpa campur tangan manusia (dimatikan Alloh langsung) dinyatakan bangkai dan haram. Bila binatang pertama dihalalkan tentu binatang kedua lebih utama untuk dihalalkan bukan diharamkan.

Rupanya syariat yang agung tidak bisa ditimbang dengan akal manusia yang serba lemah. Ia hanya bisa disikapi dengan inqiyad (ketundukan). 

Demikianlah, upaya penanaman keraguan terhadap hukum Alloh akan senantiasa ada di setiap zaman. Yang membedakan hanyalah kenyataan. Dulu yang melemparkan syubhat adalah orang kafir. Mereka tujukan serangan itu kepada nabi shollalohu alaihi wasallam dan para sahabat. Hasilnya, Iman mereka tidak goyah.

Pada zaman sekarang justru orang-orang islamlah yang membikin tasykik (pengkaburan) itu. Sungguh ironis, di saat para mualaf yang sedikit ilmu yang berusaha mengingatkan kita untuk beriltizam kepada alhaq, wal iyaadzu billah ! Para santri alumni pesantren yang melanjutkan studi di berbagai perguruan tinggi, merekalah para perusak islam.

Maroji’ :
Tafsir Addarul Mantsur (maktabah syamilah) hal 143