(fiqih ragu 17)
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ
اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ
إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ
لَمُشْرِكُونَ
Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak
disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam
itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada
kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka,
Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik [al an’am : 121]
Penulis tafsir Addar Mantsur menyebut asbabunnuzul dari ayat
di atas dengan menyebut riwayat :
Kaum musyrik berkata kepada para sahabat : Binatang yang
kalian sembelih, kalian makan sementara binatang ini mati (dengan sendirinya),
siapa yang membunuhnya ? Para sahabat menjawab : Alloh. Mereka berkata :
Binatang yang dimatikan oleh Alloh, kalian haramkan sedangkan yang kalian
matikan, kalian halalkan ? Allohpun turunkan ayat di atas.
Ayat di atas memberi faedah :
·
Binatang yang disembelih tanpa menyebut nama Alloh
berstatus fasik
·
Adanya kerjasama antara setan dan kawan-kawannya dari
kalangan manusia (orang musyrik)
·
Ancaman kepada para sahabat, bila mereka mengikuti
alur pikiran kaum musyrik maka akan mendapat kedudukan sama dengan mereka,
yaitu sama-sama musyrik.
Ini adalah upaya orang kafir untuk menimbulkan keraguan pada
sahabat. Mereka timbang hukum Alloh dengan logika. Satu binatang yang mati
lewat penyembelihan yang dilakukan oleh muslim dengan menyebut nama Alloh
berstatus halal, lalu kenapa hewan binasa tanpa campur tangan manusia
(dimatikan Alloh langsung) dinyatakan bangkai dan haram. Bila binatang pertama
dihalalkan tentu binatang kedua lebih utama untuk dihalalkan bukan diharamkan.
Rupanya syariat yang agung tidak bisa ditimbang dengan akal
manusia yang serba lemah. Ia hanya bisa disikapi dengan inqiyad (ketundukan).
Demikianlah, upaya penanaman keraguan terhadap hukum Alloh
akan senantiasa ada di setiap zaman. Yang membedakan hanyalah kenyataan. Dulu
yang melemparkan syubhat adalah orang kafir. Mereka tujukan serangan itu kepada
nabi shollalohu alaihi wasallam dan para sahabat. Hasilnya, Iman mereka tidak
goyah.
Pada zaman sekarang justru orang-orang islamlah yang membikin
tasykik (pengkaburan) itu. Sungguh ironis, di saat para mualaf yang sedikit
ilmu yang berusaha mengingatkan kita untuk beriltizam kepada alhaq, wal iyaadzu
billah ! Para santri alumni pesantren yang melanjutkan studi di berbagai perguruan
tinggi, merekalah para perusak islam.
Maroji’ :
Tafsir Addarul Mantsur (maktabah syamilah) hal 143