Harta Dalam Pandangan Islam (67)

Harta Apa Yang Ditinggal Nabi Shollallohu Alaihi Wasallam Sesudah Wafat ? عَنْ عَمْرِو بْنِ الْحَارِثِ خَتَنِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخِي جُوَيْرِيَةَ بِنْتِ الْحَارِثِ قَالَ مَا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ مَوْتِهِ دِرْهَمًا وَلَا دِينَارًا وَلَا عَبْدًا وَلَا أَمَةً وَلَا شَيْئًا إِلَّا بَغْلَتَهُ الْبَيْضَاءَ وَسِلَاحَهُ وَأَرْضًا جَعَلَهَا صَدَقَةً Dari 'Amru bin Al Harits, saudara ipar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, yaitu saudara dari Juwairiyah binti Al harits berkata; Ketika meninggal dunia Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak meninggalkan dirham, dinar, budak laki-laki maupun perempuan dan tidak meninggalkan sesuatupun kecuali baghol (hewan peranakan kuda dengan keledai) yang berwarna putih, senjata perang dan tanah yang beliau jadikan sebagai shadaqah [HR Bukhori] وعَنْ أبي سعيد سعد بن مالك بن سنان الخدري رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أن ناسا مِنْ الأنصار سألوا رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم فأعطاهم، ثم سألوه فأعطاهم حتى نفد ما عنده، فقال لهم حين أنفق كل شيء بيده: <ما يكن عندي مِنْ خير فلن أدخره عَنْكم، ومن يستعفف يعفه اللَّه، ومن يستغن يغنه اللَّه، ومن يتصبر يصبره اللَّه، وما أعطي أحد عطاء خيرا وأوسع مِنْ الصبر مُتَّفّقٌ عَلَيْهِ . Dari Abu Said Sa’ad bin Malik bin Sinan Alkhudzriyyi rodliyallohu anhu bahwa beberapa orang Anshor minta kepada rosululloh shollallohu alaihi wasallam beliaupun memberi. Kemudian minta lagi dan diberi sehingga habis harta yang beliau miliki. Beliau bersabda di saat yang ada di tangan beliau habis : apapun kekayaan yang aku miliki tidak akan aku sembunyikan kepada kalian, barangsiapa yang menjaga kehormatannya maka Alloh akan menjaganya, barangsiapa yang merasa cukup hingga tidak perlu meminta maka Alloh akan berikan kecukupan pada dirinya, siapa yang melatih kesabarannya maka Alloh akan berikan kesabaran pada dirinya dan tidak ada karunia yang lebih baik melebihi kesabaran [muttafaq alaih] وعن جابر رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قال: ما سئل رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم شيئاً قط فقال لا. مُتَّفَقٌ عَلَيهِ . Dari Jabir rodliyallohu anhu berkata : tidaklah nabi shollallohu alaihi wasallam dimintai sesuatu lalu beliau menjawab “ tidak “ [muttafaq alaih]

Harta Dalam Pandangan Islam (66)

Mata Pencaharian Muhammad Shollallohu Alaihi Wasallam Setelah Dan Sesudah Diangkat Menjadi Rosul Rosululloh shollallohu alaihi wasallam adalah seorang nabi yang memiliki jiwa pekerja. Tidak berpangku tangan apalagi menyandarkan hidup pada orang lain. Sebelum dan sesudah diangkat menjadi rosul beliau adalah selalu bekerja, mengais rizki. Di samping pernah diajak berdagang oleh pamannya, beliau juga biasa menggembala kambing sebagaimana yang beliau tuturkan : عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا بَعَثَ اللَّهُ نَبِيًّا إِلَّا رَعَى الْغَنَمَ فَقَالَ أَصْحَابُهُ وَأَنْتَ فَقَالَ نَعَمْ كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلَى قَرَارِيطَ لِأَهْلِ Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi melainkan dia mengembalakan kambing. Para sahabat bertanya : Termasuk engkau juga ? Maka Beliau menjawab : Ya, aku pun mengembalakannya dengan upah beberapa qirat (keping dinar) milik penduduk Makkah [HR BUkhori dan Ibnu Majah] Setelah diangkat menjadi rosul, beliau tidak lagi menjadi penggembala. Rezki yang beliau dapatkan adalah lewat peperangan, yaitu ghonimah. Nabi shollallohu alaihi wasallam bersabda : بُعِثْتُ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدَ الله وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَجُعِلَ رِزْقِى تَحْتَ ظِلاَلِ رَمْحِي وَجُعِلَ الذُّلُّ وَالصِّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أمْرِي وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ Aku diutus menjelang hari kiamat dengan pedang hingga hanya Allohlah satu-satunya yang diibadahi, tidak ada sekutu padaNya. Dan dijadikan rizkiku di bawah naungan tombak. Dan dijadikan rendah dan hina atas orang yang menyelisihi perintahku. Barangsiapa bertasyabbuh dengan suatu kaum maka ia termasuk bagian dari mereka [HR Ahmad]

Harta Dalam Pandangan Islam (65)

Nisbat Harta Pada Penamaan Anak

Orang tua akan memberi nama buat anak-anaknya dengan nama yang baik karena ia bagian dari doa. Alloh sangat menyukai nama Abdulloh dan Abdurrohman hingga rosululloh shollallohu alaihi wasallam bersabda :

أحَبُّ الأَسْمَاءِ إلَى الله عَبْدُ الله وَعَبْدُ الرّ حْمن

Nama yang paling dicintai Alloh adalah Abdulloh dan Abdurrohman [HR Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah]

Di samping nama di atas, Ibnu Qoyyim menganjurkan untuk memberi nama bagi anak dengan nama-nama para nabi sehingga beliau membuat sebuah pembahasan di kitab Zadul Maad dengan judul Fashlun Fit Tasammi Bi Asmail Anbiya’ Sholawatullohi Alaihim (Pasal Memberi nama Dengan Nama-Nama Para Nabi Sholawatullohi Alaihim). Di situ dia berkata : Ketika para nabi adalah anak keturunan Adam yang paling mulia, ahlaq mereka paling agung, amal mereka paling sholih maka nama-nama merekapun pasti paling mulia.

Ada fenomena di masyarakat jaman dahulu bahwa sebagian orang tua menamai anak dengan nama yang berkonotasi harta sehingga diharapkan anaknya kelak akan menjadi orang yang kaya raya. Semisal Suharto (su berarti bagus dan harto bermakna harta) dengan harapan anaknya adalah orang yang berharta atau dengan nama Sugiharto (sugih berarti kaya)

Sebenarnya tidak salah bercita-cita sukses dunia akan tetapi tentunya tidak boleh lalai dari akhirat karena ia adalah tujuan utama. Ada dua ayat yang mengingatkan kita akan hal ini :

فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آَبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آَتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الْآَخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آَتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ أُولَئِكَ لَهُمْ نَصِيبٌ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ

200. Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, Maka berdzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang bendoa : Wahai Rob kami Kami, berilah Kami (kebaikan) di dunia, dan Tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat.
201. Dan di antara mereka ada orang yang berdoa : Wahai Rob Kami, berilah Kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami dari siksa neraka
202. Mereka Itulah orang-orang yang mendapat bahagian daripada yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya [albaqoroh : 200-201]

Ayat di atas adalah pembagian manusia dalam harapan dan doanya : Yang pertama adalah kelompok yang hanya mengejar dunia dan kelompok dunia yang ingin mendapat kesuksesan di dunia dan akhirat. Pengarang tafsir Alwajiz berkata : (kelompok pertama) mereka adalah kaum musyrikin yang meminta harta, onta dan kambing. Mereka tidak mengharapkan kesenangan akhirat karena mereka memang tidak mengimaninya. Adapun kaum muslimin senantiasa meminta kebahagiaan dunia dan akhirat.
Pada ayat lain Alloh berfirman :

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi [alqoshosh : 77]

Ayat di atas mengajari kita bahwa akhirat dicari, sementara dunia tidak dilupakan. Berarti kedudukan akhirat jauh lebih tinggi dibanding nilai dunia Lalu apa kaitannya dengan nama Suharto, Sugiharto dan lainnya ? Nama tersebut lebih menunjukkan akan keinginan dari orang tua akan kesuksesan dunia semata. Akan lebih baik bila mencari nama lain yang menggabungkan antara sukses dunia (kaya harta) sementara kebahagiaan akhirat tetap menjadi tujuan utama.

Nampaknya nama Abdurrozaq (hamba Alloh Yang Maha Pemberi Rizki) lebih baik. Kenapa ? Karena dengan nama itu diharapkan anak sukses rezkinya dan tidak pernah melupakan penghambaannya kepada Alloh yang telah memberinya rizki.

Maroji’ :
Zadul Maad, Ibnu Qoyyim Aljauziyyah 2/6
Alwajiz (maktabah syamilah) 1/53

Harta Dalam Pandangan Islam (64)

Tarbiyyah Maliyyah

Tak ada salahnya bila sesekali anak diajak untuk ikut berdagang, mencari pasir di sungai dan lainnya agar sejak kecil paham akan jerih orang tua dalam mengais rizki.

Celengan diberikan buat si buah hati. Tiap hari anak diajak untuk menyisihkan sedikit dari uang jajannya untuk dimasukkan ke dalamnya.
Bila ada pengemis, tangan anaklah yang menjulurkan tangannya untuk memberikan uang kepadanya sehingga terdidik berderma sejak usia dini dan tahu bahwa ada orang yang perlu diringankan beban hidupnya.
Inilah sedikit diantara bentuk tarbiyyah maliyyah (pendidikan harta) yang harus ditanamkan para orang tua kepada anak-anaknya.

Syaikh Kholid Ahmad Syantut membagi tarbiyyah maliyyah menjadi dua :

1. Di rumah

Mendidik keluarga muslim pada anaknya untuk seimbang dalam memanfaatkan harta, mentarbiyah mereka untuk menghormati harta dan menggunakannya untuk kebaikan, sesuatu yang halal dan menghindarkan diridari penggunaan uang untuk yang haram dan kebutuhan sekunder yang tidak mendatangkan manfaat dan madlorot. Diantara bentuk nasehat teruntuk anak dalam pendidikan harta adalah : Jangan memberikan uang kepada anak tanpa ada alasan, biasakan menabung sejak kecil.

2. Di sekolah

Kepada sekolah harus memerangi gaya hidup hedonis, membiasakan mereka untuk bersikap hidup seimbang dan mendiskusikannya di antara mereka. Tidak tabdzir dan berlebihan dalam menggunakan harta. Dalam hal ini sekolahlah yang menjadi contoh bagi mereka.

Maroji’ :
Almuslimun wattarbiyyah Al Asykariyyah, Syaikh Kholid Ahmad Syantut hal 120-121

Harta Dalam Pandangan Islam (63)

Jiwa Bisnis Perlu Didoakan

Urwah Albariqi seorang sahabat yang berotak bisnis. Sekecil apaun peluang mendapat keuntungan, ia akan lakukan. Inilah yang membuat rosululloh shollallohu alaihi wasallam kagum pada dirinya sehingga beliau mendoakannya sebagaimana tercantum dalam hadits di bawah ini :

عَنْ عُرْوَةَ الْبَارِقِيِّ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَعْطَاهُ دِينَارًا يَشْتَرِي بِهِ أُضْحِيَّةً, أَوْ شَاةً, فَاشْتَرَى شَاتَيْنِ, فَبَاعَ إِحْدَاهُمَا بِدِينَارٍ, فَأَتَاهُ بِشَاةٍ وَدِينَارٍ, فَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ فِي بَيْعِهِ, فَكَانَ لَوْ اِشْتَرَى تُرَابًا لَرَبِحَ فِيهِ رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ إِلَّا النَّسَائِيَّ. وَقَدْ أَخْرَجَهُ اَلْبُخَارِيُّ ضِمْنَ حَدِيثٍ, وَلَمْ يَسُقْ لَفْظَهُ

Dari Urwah al-Bariqy Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah memberinya satu dinar untuk dibelikan seekor hewan kurban atau kambing. Ia membeli dengan uang tersebut dua ekor kambing dan menjual salah satunya dengan harga satu dinar. Lalu ia datang kepada beliau dengan seekor kambing dan satu dinar. Beliau mendoakan agar jual-belinya diberkahi Allah, sehingga kalaupun ia membeli debu, ia akan memperoleh keuntungan. [HR Imam Lima kecuali Nasa'i]

Lain Urwah lain pula dua orang yang tidak disebut namanya oleh perowi hadits. Badannya kekar sehingga masih memungkinkan dirinya untuk bekerja akan tetapi datang meminta belas kasihan kepada rosululloh shollallohu alaihi wasallam, Beliaupun bersabda :

عَنْ عُبَيْدِ اَللَّهِ بْنِ عَدِيِّ بْنِ اَلْخِيَارِ أَنَّ رَجُلَيْنِ حَدَّثَاهُ أَنَّهُمَا أَتَيَا رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَسْأَلَانِهِ مِنَ اَلصَّدَقَةِ، فَقَلَّبَ فِيهِمَا اَلْبَصَرَ, فَرَآهُمَا جَلْدَيْنِ, فَقَالَ إِنْ شِئْتُمَا, وَلَا حَظَّ فِيهَا لِغَنِيٍّ, وَلَا لِقَوِيٍّ مُكْتَسِبٍ رَوَاهُ أَحْمَدُ

Dari Ubaidillah Ibnu Adiy Ibnu al-Khiyar Radliyallaahu 'anhu bahwa dua orang menceritakan kepadanya bahwa mereka telah menghadap Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam untuk meminta zakat pada beliau. Lalu beliau memandangi mereka, maka beliau mengerti bahwa mereka masih kuat. Lalu beliau bersabda : Jika kalian mau, aku beri kalian zakat, namun tidak ada bagian zakat bagi orang kaya dan kuat bekerja [HR Ahmad]

Harta Dalam Pandangan Islam (62)

Harta Di Pagi Hari

Tidur di pagi hari menjauhkan rezeki. Di saat orang tengah sibuk dengan sawah dan ladangnya, pedagang sedang melayani para pembeli dan para pekerja sudah siap berada di depan mesin produksi, alangkah buruknya orang yang masih terlelap tidur.
Rosululloh shollallohu alaihi wasallam sangat menyukai orang yang sudah sibuk beraktifitas di pagi hari sehingga mendoakan mereka secara khusus sebagaimana sebuah hadits :

عَنْ صَخْرٍ الْغَامِدِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لِأُمَّتِي فِي بُكُورِهَا قَالَ وَكَانَ إِذَا بَعَثَ سَرِيَّةً أَوْ جَيْشًا بَعَثَهُمْ أَوَّلَ النَّهَارِ وَكَانَ صَخْرٌ رَجُلًا تَاجِرًا وَكَانَ إِذَا بَعَثَ تِجَارَةً بَعَثَهُمْ أَوَّلَ النَّهَارِ فَأَثْرَى وَكَثُرَ مَالُهُ

Dari Shakhr Al Ghamidi ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berdoa : ALLAHUMMA BAARIK LI UMMATII FII BUKUURIHAA (Ya Allah, limpahkanlah keberkahan kepada ummatku pada waktu pagi buta. Ia melanjutkan ; Beliau jika mengutus ekspedisi atau pasukan, beliau mengutus mereka pada waktu pagi hari. Shakhr adalah seorang pedagang, jika ia mengirim barang dagangan, ia mengirimnya pada pagi hari, lalu ia meraih keuntungan dan bertambah banyak hartanya [HR Abu Daud dan Tirmidzi]

Penulis tuhfatul ahwadzi menerangkan hadits di atas dengan menambahkan kisah yang diriwayatkan dari Fatimah bahwa di saat dirinya tidur pagi ba’da shubuh, didatangi oleh nabi shollallohu alaihi wasallam dan membangunkannya dengan kaki seraya bersabda : wahai puteriku, bangunlah ! carilah rizki Robmu dan jangan engkau menjadi orang yang lalai. Sesungguhnya Alloh membagi rizki di antara manusia dari terbit fajar hingga terbit matahari.

Tak hanya itu saja. Saat pagi pula para malaikat turun untuk mendoakan orang-orang yang mendapat harta dan mendermakan hartanya yang ia peroleh di waktu pagi :

وعن أبي هريرة رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قال قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم ما من يوم يصبح العباد فيه إلا ملكان ينزلان فيقول أحدهما اللهم أعط منفقاً خلفاً ويقول الآخر اللهم أعط ممسكاً تلفاً مُتَّفَقٌ عَلَيهِ

Dari Abu Huroiroh rodliyallohu anhu : bersabda rosululloh shollallohu alaihi wasallam : tidaklah hari dimana pagi tiba kecuali ada dua malaikat yang turun. Satu dari malaikat berdoa : Ya Alloh berikan kepada yang gemar berinfak penggantian. Sedang malaikat yang kedua berdoa : Ya Alloh jadikan orang yang pelit hartanya binasa [muttafaq alaih]

Alangkah indahnya pagi hari, mendapat keberkahan dari doa nabi dan malaikat.

Maroji’ :
Tuhfatul Ahwadzi, Abul Ula Muhammad Abdurrohman ibnu Abdirrohim Almubarokfuri 4/93

Harta Dalam Pandangan Islam (61)

Doa Yang Ada Kaitannya Dengan Harta

Selain dicari dengan bekerja, harta diperoleh melalui doa. Sungguh teramat sombong manakala kita mengejarnya tanpa melibatkan Alloh sebagai Rob alam semesta. Di dalam sholat dan dzikir sesudahnya ada beberapa rangkaian bacaan yang terkandung doa minta rezki, diantaranya :

عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَقُولُ بَيْنَ اَلسَّجْدَتَيْنِ اَللَّهُمَّ اِغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَاهْدِنِي وَعَافِنِي وَارْزُقْنِي رَوَاهُ اَلْأَرْبَعَةُ إِلَّا النَّسَائِيُّ

Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam antaraa dua sujud biasanya membaca: "allaahummagh firlii warhamnii wahdinii wa 'afinii war zugnii (artinya = Ya Allah ampunilah aku kasihanilah diriku berilah petunjuk padaku limpahkan kesehatan padaku dan berilah rizqi padaku). Diriwayatkan oleh [HR Imam Empat kecuali Nasa'i]

اللّهُمَّ إنِّي أسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلاً مُّتَقَبَّلاً

Ya Alloh aku memohon kepadaMu : ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyyib dan amal yang diterima [HR Ibnu Majah]

َعَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رضي الله عنه ( أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ لَهُ أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لَا تَدَعَنَّ دُبُرَكُلِّ صَلَاةٍ أَنْ تَقُولُ اَللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ وَالنَّسَائِيُّ

Dari Muadz Ibnu Jabal bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda kepadanya : Aku wasiatkan kepadamu wahai Muadz agar engkau jangan sekali-kali setiap sholat meninggalkan doa : (artinya = Ya Allah tolonglah aku untuk selalu mengingat-Mu bersyukur kepada-Mu dan memperbaiki ibadah pada-Mu [HR Ahmad Abu Dawud dan Nasa'i]

عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ رضي الله عنه قَالَ : ( إِنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَتَعَوَّذُ بِهِنَّ دُبُرَ اَلصَّلَاةِ : " اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ اَلْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ اَلْجُبْنِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ أُرَدَّ إِلَى أَرْذَلِ اَلْعُمُرِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ اَلدُّنْيَا وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ اَلْقَبْرِ ) رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ
Dari Sa'ad Ibnu Waqqash Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam setiap selesai sholat selalu memohon perlindungan dengan doa-doa : (artinya = Ya Allah sungguh aku berlindung kepada-Mu dari sifat kikir aku berlindung kepada-Mu dari ketakutan aku berlindung kepada-Mu dari kepikunan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah dunia dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur) [HR Bukhari]

Hadits pertama adalah bacaan antara dua sujud. Adapun hadits kedua hingga keempat adalah rangkaian dzikir ba’da sholat. Ketiganya adalah dzikir yang mengandung doa. Apakah ada hubungan di antara keempat doa di atas ? Untuk menjawabnya maka kita urutkan terlebih dahulu dari kesemua doa di atas :

• Hadits pertama berisi doa minta rizki
• Hadits kedua terkandung permohonan rizki yang thoyyib
• Hadits ketiga adalah permintaan agar dijadikan hamda yang senantiasa bersyukur
• Hadits keempat merupakan perlindungan dari sifat bakhil

Sehingga bisa disimpulkan bahwa kita memohon kepada Alloh limpahan rizki dan meminta dipilihkan rizki yang thoyyib, selanjutnya diberi taufiq untuk mensyukurinya serta dijauhkan dari sifat bakhil karena ia bertentangan dengan prnsip syukur.

Harta Dalam Pandangan Islam (60)

Ibrohim alaihissalam Dan Rosululloh shollallohu alaihi wasallam Berdoa Tentang Harta

Keduanya adalah nabi, cucu dan kakek. Secara garis nasab, rosululloh shollallohu alaihi wasallam bersambung hingga nabi Ibrohim alaihissalam. Kemiripan lainnya adalah mereka berdua pernah berdoa atas limpahan harta. Ibrohim mendoakan kota Mekah, sedang rosululloh shollallohu alaihi wasallam mendoakan Madinah :

وَإذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آَمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آَمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ قَالَ وَمَنْ كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيلًا ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَى عَذَابِ النَّارِ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa : Ya Tuhanku, Jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman : Dan kepada orang yang kafirpun aku beri kesenangan sementara, kemudian aku paksa ia menjalani siksa neraka dan Itulah seburuk-buruk tempat kembali [albaqoroh : 126]

Ketika menafsirkan ayat di atas, penulis tafsir addarul mantsur menampilkan hadits :

عن عبدالله بن زيد بن عاصم المازني عن النبي صلى الله عليه وسلم قال « إن إبراهيم حرم مكة ودعا لها ، وحرمت المدينة كما حرم إبراهيم مكة ودعوت لها في مدها وصاعها مثل ما دعا إبراهيم لمكة

Dari Abdulloh bin Zaid bin Ashim Almazini dari nabi shollallohu alaihi wasallam bersabda : sesungguhnya Ibrohim menjadikan Mekah sebagai tanah haram dan mendoakannya, dan aku menjadikan Madinah sebagai tanah haram sebagaimana yang telah diharamkan Ibrohim pada kota Mekah. Dan aku berdoa buat kota Madinah pada mud dan sho’nya sebagaimana yang dipanjatkan Ibrohim buat kota Mekah [HR Bukhori, Muslim dan Ahmad]

Adapun doa yang dipanjatkan oleh rosululloh shollallohu alaihi wasallam adalah berbunyi :

اللهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِى ثَمَرِنَا وَبَارِكْ لَنَا فِي مَدِيْنَتِنَا وَبَارِكْ لَنَا فِى صَاعِنَا وَبَارِكْ لَنَا فِي مُدِّنَا

Ya Alloh berkahi lama di kota Madinah ini, berkahi kami pada sho’ dan mud kami [HR Muslim]

Doa yang dipanjatkan oleh keduanya memiliki kemiripan, yaitu : berisi limpahan rizki dan tidak diperuntukkan untuk diri sendiri, melainkan bagi penduduk yang tinggal di dalamnya.

Maroji’ :
Addarul mantsur (maktabah syamilah) 1/235

Harta Dalam Pandangan Islam (59)

Status Kepemilikan Harta Sesudah Hijroh

عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُنِي عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ مِنْ وَجَعٍ اشْتَدَّ بِي فَقُلْتُ إِنِّي قَدْ بَلَغَ بِي مِنْ الْوَجَعِ وَأَنَا ذُو مَالٍ وَلَا يَرِثُنِي إِلَّا ابْنَةٌ أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ مَالِي قَالَ لَا فَقُلْتُ بِالشَّطْرِ فَقَالَ لَا ثُمَّ قَالَ الثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَبِيرٌ أَوْ كَثِيرٌ إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ وَإِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ بِهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أُخَلَّفُ بَعْدَ أَصْحَابِي قَالَ إِنَّكَ لَنْ تُخَلَّفَ فَتَعْمَلَ عَمَلًا صَالِحًا إِلَّا ازْدَدْتَ بِهِ دَرَجَةً وَرِفْعَةً ثُمَّ لَعَلَّكَ أَنْ تُخَلَّفَ حَتَّى يَنْتَفِعَ بِكَ أَقْوَامٌ وَيُضَرَّ بِكَ آخَرُونَ اللَّهُمَّ أَمْضِ لِأَصْحَابِي هِجْرَتَهُمْ وَلَا تَرُدَّهُمْ عَلَى أَعْقَابِهِمْ لَكِنْ الْبَائِسُ سَعْدُ بْنُ خَوْلَةَ يَرْثِي لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ مَاتَ بِمَكَّةَ

Dari 'Amir bin Sa'ad bin Abu Waqash dari bapaknya radliallahu 'anhu berkata; Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam pernah mengunjungiku pada hari Haji Wada' (perpisahan) saat sakitku sudah sangat parah, lalu aku berkata : Sakitku sudah sangat parah (menjelang kematianku) dan aku banyak memiliki harta sedangkan tidak ada yang akan mewarisinya kecuali anak perempuanku. Bolehkah aku menyedekahkan sepertiga dari hartaku ini ?. Beliau menjawab: Tidak boleh. Aku katakan lagi : Bagaimana kalau setengahnya ?. Beliau menjawab : Tidak boleh. Kemudian Beliau melanjutkan : Sepertiga dan sepertiga itu sudah besar atau banyak. Sesungguhnya kamu bila meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan (kaya) itu lebih baik dari pada kamu meninggalkan mereka serba kekurangan sehingga nantinya mereka meminta-minta kepada manusia. Dan kamu tidaklah menginfaqkan suatu nafaqah yang hanya kamu hanya niatkan mencari ridha Allah kecuali kamu pasti diberi balasan pahala atasnya bahkan sekalipun nafkah yang kamu berikan untuk mulut isterimu. Lalu aku bertanya : Wahai Rasulullah, apakah aku diberi umur panjang setelah sahabat-sahabatku ?. Beliau berkata, : Tidaklah sekali-kali engkau diberi umur panjang lalu kamu beramal shalih melainkan akan bertambah derajat dan kemuliaanmu. Dan semoga kamu diberi umur panjang sehingga orang-orang dapat mengambil manfaat dari dirimu dan juga mungkin dapat mendatangkan madharat bagi kaum yang lain. Ya Allah sempurnakanlah pahala hijrah sahabat-sahabatku dan janganlah Engkau kembalikan mereka ke belakang. Namun Sa'ad bin Khaulah membuat Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersedih karena dia akhirnya meningal dunia di Makkah [HR Bukhori Muslim]

Hadits di atas mengisahkan sakitnya Saad bin Abi Waqosh. Dirinya khawatir bila meninggal di Mekah karena para muhajirin tidak diperkenankan kembali tinggal di kota Mekah setelah mereka berhasil menaklukannya. Tidak disangka ternyata Saad bin Abi Waqosh akhirnya sehat dan berumur panjang bahkan mampu menaklukkan negeri-negeri kafir, sementara Saad bin Khoulah yang sehat justru akhirnya wafat di kota Mekah dan dimakamkan di sana. Maka Imam Albukhori menempatkan hadits di atas pada bab Rotsaaun nabiyyi shollallohu alaihi wasallam Saad bin Khoulah (kesedihan nabi shollallohu alaihi wasallam pada Saad bin Khoulah)
Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin berkata : tidak diperbolehkan seorangpun dari sahabat untuk kembali tinggal di kota Mekah setelah mereka sebelumnya keluar untuk berhijrah karena Alloh dan rosulNya. Karena bila keluar untuk berhijrah menuju Alloh dan rosulNya maka ia ibarat harta yang telah disedekahkan sehingga tidak mungkin untuk diambil kembali. Demikianlah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh manusia karena Alloh maka tidak boleh kembali kepadanya
Rosululloh shollallohu alaihi wasallam tidak memperkenankan orang-orang muhajirin tinggal di kota Mekah kecuali tiga hari sesudah penyembelihan binatang korban pada hari raya idul adha. Beliau juga melarang mereka kembali ke rumah-rumah mereka dan memberi pengarahan supaya tak seorangpun mengambil rumahnya kembali. Ketika para sahabat bertanya kepada beliau : apakah kita akan singgah di rumahmu, ya rosulalloh ? yaitu pada hari mereka msuk kota Mekah. Beliau menjawab : apakah Aqil bin Abu Tholib meninggalkan rumah untuk kita ? (adalah Aqil telah menjual rumah rosululloh shollallohu alaihi wasallam)

Hadits inilah yang menjadi pegangan para pengikut madzhab Hanafi dalam fiqih mereka, bahwa hijroh dari suatu negeri itu menghapuskan kepemilikan harta. Dan kedudukan orang-orang kafir terhadap suatu negeri itu menjadi milik mereka di bawah kekuasannya. Jadi jika mujahidin kembali dan dapat membebaskan negeri mereka maka tanah-tanah tersebut dibagikan kepada para mujahidin dan tidak kembali kepada pemilik asalnya.

Maroji’ :
Syarh Riyadlush Sholihin. Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin 1/24
Hijroh Dan I’dad, Syaikh Abdulloh Azzam hal 22

Harta Dalam Pandangan Islam (58)

Tidak Jadi Dapat Harta

Barangkali kita pernah mendapat harta berharga. Dengan senang hati kita memegangnya. Tapi, karena alasan syar’i ia harus berpindah tangan. Diantaranya :

1. Khulu’

Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin memberi definisi khulu’ dengan mengatakan :

فِرَاقُ الزَّوْجَةِ بِعِوَضٍ بِأَلْفَاظٍ مَعْلُوْمَةٍ

Berpisahnya istri dari suami dengan mengeluarkan pengganti melalui lafadz yang bisa dipahami. Artinya karena istri yang mengajukan gugatan cerai maka ia harus mengembalikan mahar kepada suaminya. Khulu’ memiliki empat rukun. Syaikh Abu Malik menyebut : Suami, istri, lafadz dan pengganti. Dalil disyariatkannya khulu adalah :

َعَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ اِمْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ أَتَتْ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ : يَا رَسُولَ اَللَّهِ ! ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ مَا أَعِيبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلَا دِينٍ , وَلَكِنِّي أَكْرَهُ اَلْكُفْرَ فِي اَلْإِسْلَامِ , قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ ? , قَالَتْ : نَعَمْ قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم اِقْبَلِ اَلْحَدِيقَةَ , وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً

Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa istri Tsabit Ibnu Qais menghadap Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan berkata : Wahai Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit Ibnu Qais, namun aku tidak suka durhaka (kepada suami) setelah masuk Islam. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Apakah engkau mau mengembalikan kebun kepadanya ?. Ia menjawab : Ya. Maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda (kepada Tsabit Ibnu Qais): Terimalah kebun itu dan ceraikanlah ia sekali talak [HR Bukhori, Abu Daud dan Ibnu Majah]

2. Pembunuh dan kekafiran

Seorang ayah bila meninggal, tentu harta yang ia ditinggalkan akan berpindah kepada ahli warisnya, diantaranya adalah anak-anaknya. Manalaka kematian sang ayah diakibatkan oleh anak atau sang anak berbeda din dengan orang tuanya maka ia tidak berhak mendapat harta waris tersebut. Hal itu berdasar kepada dua hadits :

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ , عَنْ أَبِيهِ , عَنْ جَدِّهِ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَيْسَ لِلْقَاتِلِ مِنَ الْمِيرَاثِ شَيْءٌ ) رَوَاهُ النَّسَائِيُّ , وَاَلدَّارَقُطْنِيُّ

Dari Amar Ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Pembunuh tidak mendapat warisan apapun dari yang dibunuh [HR Nasa'i dan Daruquthni]

عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ لَا يَرِثُ اَلْمُسْلِمُ اَلْكَافِرَ, وَلَا يَرِثُ اَلْكَافِرُ اَلْمُسْلِمَ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Usamah Ibnu Zaid Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Orang muslim tidak mewarisi harta orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi harta orang muslim [Muttafaq Alaihi]

Pengarang Almizan Alkubro berkata : sebab-sebab yang menghalangi seseorang dari perolehan harta waris ada tiga, yaitu : perbudakan, pembunuhan dan perbedaan din.

Sehingga dari sini diketahui bila anak telah mendapat harta dari orang tuanya yang telah wafat sementara dirinya berbeda din atau menjadi penyebab kematian orang tua maka harta wajib diambil kembali selanjutnya dikembalikan kepada ahli waris lainnya.

3. Barang luqthoh

Seseorang yang menemukan barang berharga maka ia harus mengenali ciri-cirinya, menjaganya, mencari saksi dan mengumumkannya selama setahun.
Selanjutnya menyerahkannya kepada si pemilik bila datang atau bisa dimiliki si penemu manakala si pemilik tidak kunjung datang. Hal inilah yang disabdakan oleh nabi sholllallohu alaihi wasallam :

عَنْ عِيَاضِ بْنِ حِمَارٍ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَنْ وَجَدَ لُقَطَةً فَلْيُشْهِدْ ذَوَيْ عَدْلٍ , وَلْيَحْفَظْ عِفَاصَهَا وَوِكَاءَهَا , ثُمَّ لَا يَكْتُمْ , وَلَا يُغَيِّبْ , فَإِنْ جَاءَ رَبُّهَا فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا , وَإِلَّا فَهُوَ مَالُ اَللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَالْأَرْبَعَةُ إِلَّا اَلتِّرْمِذِيَّ

Dari Iyadl Ibnu Himar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Barangsiapa menemukan barang hilang, hendaknya ia mencari kesaksian dua orang adil, menjaga tempat dan pengikatnya, serta tidak menyembunyikan dan menghilangkannya. Apabila pemiliknya datang, ia lebih berhak dengannya. Apabila tidak datang, ia adalah harta Allah yang bisa diberikan kepada orang yang dikehendaki. [HR Ahmad dan Imam Empat kecuali Tirmidzi]

Syaikh Sholih bin Fauzan berkata : bila berlalu setahun setelah diumumkan, ternyata pemilik tidak kunjung datang, maka barang dimiliki si penemu. Akan tetapi ia harus mengenal terlebuh dengan baik sifat-sifat barang dimana bila kapan saja si pemiliki datang dan mampu menerangkan ciri-ciri barang maka harus diberikan bila masih ada dan dikembalikan dengan uang seharga barang bila barang sudah tidak ada karena kepemilikan barang berakhir dengan kedatangan si pemilik asli.

Maroji’ :
Syarhul Mumthi’ Ala zadil Mustaqni, Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin 5/398
Shohih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal ibn Sayyid Salim 3/348
Almizan Alkubro, Abu Mawahib, Abdul Wahhab bin Ahmad bin Ali Al Anshori 2/103
Almulakhsosh Alfiqh, Syaikh Sholih bin Fauzan bin Abdulloh Alu Fauzan hal 526

Harta Dalam Pandangan Islam (57)

Bila Harta Dirampas

Di tengah jalan kita dihadang seseorang yang menginginkan harta kita. Tentu disertai cara kasar dan ancaman. Apa yang harus kita lakukan ?
Islam mengajarkan untuk membela dan mempertahankan apa yang kita miliki. Pasti prinsip ini akan menyebabkan sang penjahat marah sehingga duel tak terhindarkan. Boleh jadi kematian akan menimpa salah satu di antara keduanya. Sang pemilik harta atau si perampas.

Bila kematian menimpa si penjahat maka ia berada dalam su ulkhotimah. Sementara bila akhirnya yang mati adalah si empunya harta maka Alloh akan berikan derajat mati syahid. Rosululloh shollallohu alaihi wasallam bersabda :

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ

Dari Abdullah bin 'Amru radliallahu 'anhuma berkata, aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Siapa yang terbunuh karena membela hartanya maka dia syahid [HR Bukhori Muslim]

Harta Dalam Pandangan Islam (56)

Harta Umat Islam Dari Orang Kafir

1. Ghonimah

Penulis tafsir ayat ahkam memberi definisi ghonimah dengan mengatakan :

ما أخذ من الكفار قهراً بطريق القتال والغلبة

apa yang diambil dari orang kafir secara paksa lewat peperangan dan penaklukkan
Status dari ghonimah adalah halal bagi umat rosululloh shollallohu alaihi wasallam sebagaimana sabda beliau :

عَنْ جَابِر بْن عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ وَأُحِلَّتْ لِي الْمَغَانِمُ وَلَمْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً

Dari Jabir bin 'Abdullah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Aku diberikan lima perkara yang tidak diberikan kepada orang sebelumku; aku ditolong melawan musuhku dengan ketakutan mereka sejauh satu bulan perjalanan, dijadikan bumi untukku sebagai tempat sujud dan suci. Maka dimana saja salah seorang dari umatku mendapati waktu shalat hendaklah ia shalat, dihalalkan untukku harta rampasan perang yang tidak pernah dihalalkan untuk orang sebelumku, aku diberikan (hak) syafa'at, dan para Nabi sebelumku diutus khusus untuk kaumnya sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia [HR Bukhori, Muslim, Ahmad dan Addarimi]

2. Fa’i

Sayyid Sabiq memberi definisi fa’i :

الْمَالُ الّذِى أخَذَهُ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ أعْدَاءِهِمْ دُوْنَ قِتَالٍ

Harta yang diambil kaum muslimin dari musuh-musuh mereka tanpa ada peperangan
Salah satu bentuk fa’i yang pernah didapat oleh rosululloh shollallohu alaihi wasallam adalah pada perang sawiq (gandum). Dituturkan oleh penulis arrohiq almakhtum bahwa Abu Sufyan mencoba untuk menyerang kota Madinah. 200 penunggang kuda ia kerahkan hingga tiba di gunung Tsaib, 12 mil dari kota Madinah. Saat mendengar kedatangan mereka, rosululloh shollallohu alaihi wasallam segera mengejar mereka. Pasukan kafirpun lari. Demi mempercepat langkah kuda, mereka menjatuhkan sawiq (gandum) yang merupakan bagian dari perbekalan mereka. Sampai di Qorqoroh Kudr, umat islam pulang dengan membawa gandum sehingga perang ini disebut ghozwatu sawiq.

3. Jizyah

Jizyah adalah pajak yang diberlakukan bagi ahlu dzimmah (orang kafir yang terlindungi) yang tinggal di negeri islam. Bagi kaum hali kitab diberi tiga opsi yang mereka pilih salah satunya, yaitu : masuk islam, membayar jizyah atau diperangi. Ayat yang mengaturnya adalah firman Alloh :

قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk [attaubah : 29]

عَنْ عَبْدِ اَلرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَخَذَهَا يَعْنِي: اَلْجِزْيَةُ مِنْ مَجُوسِ هَجَرَ

Dari Abdurrahman Ibnu 'Auf Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengambilnya, yaitu upeti, dari kaum Majusi Hajar [HR Bukhari]

Dalam madzhab Syafi’i sebagaimana yang dituturkan oleh pengarang Kifayatul Akhyar, prosedur diterimanya orang kafir tinggal di negeri islam adalah : Perkataan seorang imam atau yang mewakilinya “ Aku izinkan kalian tinggal di negeri islam dengan syarat kalian tunduk kepada hukum islam dan membayar jizyah setiap tahunnya sekian “. Ahlu dzimmahpun menjawab “ Saya terima atau saya ridlo “
Selanjutnya ketentuan pembayaran jizyah sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Umar bin Khothob adalah : satu dinar bagi miskin yang memiliki pekerjaan, dua dinar bagi kalangan menengah dan empat dinar teruntuk orang kaya.

4. Salab

Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam menerangkan tentang salab dengan berkata : apa yang ada pada orang kafir yang terbunuh baik berupa pakaian, perhiasan, sabuk, baju besi, tameng, mahkota, sepatu, pedang, senapan, ikat pinggang meski terbuat dari emas, mobil, motor, pesawat yang digunakan untuk menyerang dan lainnya.
Pengarang Almizan Alkubro berpendapat bahwa dalam madzhab Syafi’i dan Hambali, salab berhak dimiliki oleh si pembunuh baik ada persetujuan dari pemimpin atau tidak. Adapun dalil tentang disyariatkannya salab adalah dua hadits di bawah ini :

عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَضَى بِالسَّلَبِ لِلْقَاتِلِ

Dari 'Auf Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menetapkan harta rampasan perang itu bagi sang pembunuh [HR Muslim dan Abu Dawud]

َعَنْ عَبْدِ اَلرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ رضي الله عنه فِي قِصَّةِ قَتْلِ أَبِي جَهْلٍ قَالَ فَابْتَدَرَاهُ بِسَيْفَيْهِمَا حَتَّى قَتَلَاهُ, ثُمَّ انْصَرَفَا إِلَى رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَأَخْبَرَاهُ, فَقَالَ: أَيُّكُمَا قَتَلَهُ ? هَلْ مَسَحْتُمَا سَيْفَيْكُمَا ? قَالَا : لَا قَالَ: فَنَظَرَ فِيهِمَا, فَقَالَ: كِلَاكُمَا قَتَلَهُ, سَلْبُهُ لِمُعَاذِ بْنِ عَمْرِوِ بْنِ اَلْجَمُوحِ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Abdurrahman Ibnu 'Auf Radliyallaahu 'anhu tentang kisah pembunuhan Abu Jahal. Ia berkata : Mereka berdua (Mu'awwidz dan Mu'adz) saling berlomba memancungnya, hingga mereka membunuhnya. Kemudian mereka kembali kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan memberitahukan kepada beliau. Maka beliau bertanya : Siapakah di antara kamu berdua yang membunuhnya ? Apakah kalian sudah membersihkan pedang kalian ?. Mereka menjawab : Belum. Perawi berkata: Lalu beliau memeriksa pedang mereka dan bersabda : Kalian berdua telah membunuhnya. Kemudian beliau memutuskan bahwa harta rampasannya untuk Mu'adz Ibnu Amar Ibnu al-Jamuh. [Muttafaq Alaihi]

5. Fida’

Fida’ adalah tebusan tawanan perang dengan uang. Alloh berfirman :

فَإِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا فَضَرْبَ الرِّقَابِ حَتَّى إِذَا أَثْخَنْتُمُوهُمْ فَشُدُّوا الْوَثَاقَ فَإِمَّا مَنًّا بَعْدُ وَإِمَّا فِدَاءً حَتَّى تَضَعَ الْحَرْبُ أَوْزَارَهَا ذَلِكَ وَلَوْ يَشَاءُ اللَّهُ لَانْتَصَرَ مِنْهُمْ وَلَكِنْ لِيَبْلُوَ بَعْضَكُمْ بِبَعْضٍ وَالَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَلَنْ يُضِلَّ أَعْمَالَهُمْ

Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) Maka pancunglah batang leher mereka. sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka Maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir. Demikianlah apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain. dan orang-orang yang syahid pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka [Muhammad : 4]

Berdasarkan ayat ini maka tawanan orang kafir bisa dilakukan satu di antara tiga tindakan, yaitu : dibunuh, fida’ (tebusan dengan sejumlah uang) atau almann (dibebaskan sesuai dengan kebijakan imam). Pengarang tafsir Zadul Masir berpendapat bahwa ayat diatas adalah muhkam bukan mansukh. Hal ini selaras dengan pendapat ibnu Umar, Mujahid, Hasan Albashri, Ibnu Sirin, Ahmad dan Syafi’i.

6. Khorroj dan usyr

al-Kharaj (pajak bumi yang dimiliki oleh Negara) sedangkan al-Usyr (bea cukai bagi para pedagang non muslim yang masuk ke Negara Islam)

Maroji’ :
Tafsir Ayat Ahkam (maktabah syamilah) 1/272
Arrohiq Almakhtum, Syaikh Shofiyyurrohman Almubarokfuuri hal 288
Kifayatul Akhyar, Taqiyyuddin Abu Bakar Muhammad Alhusaini Alhishni 2/217
Taudlihul Ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam 4/260
Almizan Alkubroabdul Wahhab bin Ahmad bin Ali Al Anshoriy 2/177
Zadul Masir (maktabah syamilah) 5/372

Harta Dalam Pandangan Islam (55)

Alhajr Dalam Harta

Alhajr berarti penyegelan, penyitaan dan penghalangan. Demi maslahat, terkadang orang-orang tertentu tidak diperkenankan mengelola hartanya sendiri. Ada seseorang yang mengambil alih pengelolaannya.

Alhajr terbagi menjadi dua :

1. Hajr demi menjaga hak orang lain

Seperti orang yang bersemangat dalam berinfaq hingga melebihi batas sepertiga dari hartanya. Bila ini terjadi akan mengakibatkan terabaikannya hak-hak anggota keluarga. Selain itu juga hajr yang ditujukan kepada orang yang terlilit hutang. Demi memenuhi hak pemberi hutang maka harta penghutang disita. Tidak menutup kemungkinan akhirnya dijual untuk memenuhi hak pemberi pinjaman. Inilah yang pernah dilakukan oleh rosululloh shollallohu alaihi wasallam :

عَنِ اِبْنِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ, عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم حَجَرَ عَلَى مُعَاذٍ مَالَهُ, وَبَاعَهُ فِي دَيْنٍ كَانَ عَلَيْهِ رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ

Dari Ibnu Ka'ab Ibnu Malik, dari ayahnya Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah menghajr (menahan) harta benda milik Muadz dan menjualnya untuk melunasi hutangnya [HR Daruquthni]

2. Hajr demi menjaga hak pemilik harta

Anak yatim yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya atau anak kecil yang sudah memiliki kekayaan dan orang gila yang berlimpah hartanya, tentu tidak baik bila kendali terhadap apa yang mereka miliki ada pada mereka. Harus ada orang yang memiliki kecakapan dan bisa dipercaya yang mengambil alih pengelolaannya. Alloh berfirman :

وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آَنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ

5. Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.
6. Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.) [annisa’ : 5-6]

Maroji’ :
Almulakh khosh Alfiqh, Syaikh Sholih bin Fauzan bin Abdulloh Alu Fauzan hal 442-443

Harta Dalam Pandangan Islam (54)

Harta Gono Gini Dalam Islam

DR Ahmad Zain Annajah dengan bahasa singkat dan mudah dipahami, menerangkan kepada kita :

عَنْ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

Dari Amru’ bin Auf al Muzani dari bapaknya dari kakeknya bahwa Rasulullah saw bersabda: “Perdamaian adalah boleh di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal dan perdamaian yang menghalalkan yang haram “

Akhir-akhir ini banyak dari masyarakat yang menanyakan status harta gono-gini, bahkan terakhir ada seorang muslimah yang dicerai oleh suaminya, kemudian muslimah tersebut meminta harta gono gini dari suaminya 50%, suaminya-pun merasa keberatan dengan permintaan tersebut, akhirnya mereka berdua sepakat untuk pergi ke pengadilan. Bagaimana sebenarnya kedudukan harta gono gini ini dalam pandangan Islam?

Konsep Harta Dalam Islam
Sebelum berbicara masalah harta gono–gini, sebaiknya kita mengenal terlebih dahulu tentang “konsep harta “dalam rumah tangga Islam :
Pertama : Bahwa harta merupakan tonggak kehidupan rumah tangga, sebagaimana firman Allah SWT :

وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا

“ Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta kamu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan” [1]
Kedua : Kewajiban Suami yang berkenaan dengan harta adalah sebagai berikut :

1. Memberikan mahar kepada istri, sebagaimana firman Allah SWT :

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً

“ Berikanlah mas kawin kepada wanita yang kamu nikahi sebagai bentuk kewajiban (yang harus dilaksanakan dengan ikhlas)” [2]

1. Memberikan nafkah kepada istri dan anak, sebagaimana firman Allah SWT :

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“ Dan kepada ayah berkewajiban memberi nafkah dan pakaian yang layak kepada istrinya “[3]

Ketiga : Suami tidak boleh mengambil harta istri, kecuali dengan izin dan ridhonya, sebagaimana firman Allah SWT :

فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

“ Jika mereka (istri-istri kamu) menyerahkan dengan penuh kerelaan sebagian mas kawin mereka kepadamu, maka terimalah pemberian tersebut sebagai harta yang sedap dan baik akibatnya “[4]
Keempat : Jika terjadi perceraian antara suami istri, maka ketentuannya sebagai berikut :

1. Istri mendapat seluruh mahar jika ia telah melakukan hubungan sex dengan suaminya, atau salah satu diantara kedua suami istri tersebut meninggal dunia dan mahar telah ditentukan, dalam hal ini Allah SWT berfirman :

وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا

“ Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. “[5]

1. Istri mendapat setengah mahar jika dia belum melakukan hubungan sex dengan suaminya dan mahar telah ditentukan, sebagaimana firman Allah SWT :

وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ

“ Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu. “[6]

1. Istri mendapat mut’ah (uang pesangon) jika dia belum melakukan hubungan sex dengan suaminya dan mahar belum ditentukan, sebagaimana firman Allah SWT :
لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ

“ Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. rang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.[7]

Bagaimana Status Harta Gono-Gini?

Salah satu pengertian harta gono - gini adalah harta milik bersama suami - istri yang diperoleh oleh mereka berdua selama di dalam perkawinan, seperti halnya jika seseorang menghibahkan uang, atau sepeda motor, atau barang lain kepada suami istri, atau harta benda yang dibeli oleh suami isteri dari uang mereka berdua, atau tabungan dari gaji suami dan gaji istri yang dijadikan satu, itu semuanya bisa dikatagorikan harta gono- gini atau harta bersama. Pengertian tersebut sesuai dengan pengertian harta gono-gini yang disebutkan di dalam undang-undang perkawinan, yaitu sebagai berikut :

“ Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama (pasal 35 UU Perkawinan)
Untuk memperjelas pengertian di atas, hal-hal di bawah ini perlu menjadi catatan :
Pertama : Barang-barang yang dibeli dari gaji (harta) suami, seperti kursi, tempat tidur, kulkas, kompor, mobil adalah milik suami dan bukanlah harta gono-gini, termasuk dalam hal ini adalah harta warisan yang didapatkan suami, atau hadiah dari orang lain yang diberikan kepada suami secara khusus.

Kedua : Barang-barang yang dibeli dari gaji (harta) suami, kemudian secara sengaja dan jelas telah diberikan kepada istrinya, seperti suami yang membelikan baju dan perhiasan untuk istrinya, atau suami membelikan motor dan dihadiahkan untuk istrinya, maka harta tersebut, walaupun dibeli dengan harta suami, tetapi telah menjadi harta istri, dan bukan pula termasuk dalam harta gono- gini.

Ketiga : Barang-barang yang dibeli dari harta istri, atau orang lain yang menghibahkan sesuatu khusus untuk istri, maka itu semua adalah menjadi hak istri dan bukan merupakan harta gono- gini.
Bagaimana Pembagian Harta Gono- Gini Menurut Islam?
Setelah mengetahui pengertian harta gono gini, timbul pertanyaan berikutnya, bagaimana membagi harta gono gini tersebut menurut Islam?
Di dalam Islam tidak ada aturan secara khusus bagaimana membagi harta gono – gini. Islam hanya memberika rambu-rambu secara umum di dalam menyelesaikan masalah bersama, diantaranya adalah :
Pembagian harta gono-gini tergantung kepada kesepakatan suami dan istri. Kesepakatan ini di dalam Al Qur’an disebut dengan istilah “Ash Shulhu “yaitu perjanjian untuk melakukan perdamaian antara kedua belah pihak (suami istri) setelah mereka berselisih. Allah SWT berfirman:

وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

“ Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya untuk mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) “[8]

Ayat di atas menerangkan tentang perdamaian yang diambil oleh suami istri setelah mereka berselisih. Biasanya di dalam perdamaian ini ada yang harus merelakan hak-haknya, pada ayat di atas, istri merelakan hak-haknya kepada suami demi kerukunan antar keduanya. Hal ini dikuatkan dengan sabda Rasulullah saw :

عَنْ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

Dari Amru’ bin Auf al Muzani dari bapaknya dari kakeknya bahwa Rasulullah saw bersabda: “Perdamaian adalah boleh di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal dan perdamaian yang menghalalkan yang haram “[9]

Begitu juga dalam pembagian harta gono-gini, salah satu dari kedua belah pihak atau kedua-duanya kadang harus merelakan sebagian hak-nya demi untuk mencapai suatu kesepakatan. Umpamanya : suami istri yang sama-sama bekerja dan membeli barang-barang rumah tangga dengan uang mereka berdua, maka ketika mereka berdua melakukan perceraian, mereka sepakat bahwa istri mendapatkan 40 % dari barang yang ada, sedang suami mendapatkan 60 %, atau istri 55 % dan suami 45 %, atau dengan pembagian lainnya, semuanya diserahkan kepada kesepakatan mereka berdua.

Memang kita temukan di dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) dalam Peradilan Agama, pasal 97, yang menyebutkan bahwa :
“ Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Keharusan untuk membagi sama rata, yaitu masing-masing mendapatkan 50%, seperti dalam KHI di atas, ternyata tidak mempunyai dalil yang bisa dipertanggung jawabkan, sehingga pendapat yang benar dalam pembagian harta gono gini adalah dikembalikan kepada kesepakatan antara suami istri.
Kesepakatan tersebut berlaku jika masing-masing dari suami istri memang mempunyai andil di dalam pengadaan barang yang telah menjadi milik bersama, biasanya ini terjadi jika suami dan istri sama-sama bekerja. Namun masalahnya, jika istri di rumah dan suami yang bekerja, maka dalam hal ini tidak terdapat harta gono- gini, dan pada dasarnya semua yang dibeli oleh suami adalah milik suami, kecuali barang-barang yang telah dihibahkan kepada istri, maka menjadi milik istri. Wallahu A’lam
RUU Harta Gono Gini
Definisi Perkawinan berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, ialah :
“ Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” .
Dalam setiap Perkawinan tidak terlepas oleh adanya harta benda, baik yang diperoleh sebelum perkawinan, pada saat perkawinan berlangsung maupun yang diperoleh selama menjadi suami-istri dalam suatu ikatan perkawinan.
Undang-Undang Perkawinan membedakan harta benda dalam perkawinan, yang diatur pada Pasal 35 bahwa :
1) Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2) Harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah pengawasan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Dengan adanya perbedaan jenis harta benda dalam perkawinan tersebut mempengaruhi cara melakukan pengurusannya. Harta bersama diurus secara bersama-sama oleh suami-isteri. Dalam melakukan pengurusan harta bersama tersebut, meraka dapat bertindak dengan adanya persetujuan kedua belah pihak. Artinya, suami atau isteri jika melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama berdasarkan kesepakatan bersama. Berbeda dengan harta bawaan, pengurusannya dilakukan oleh masing-masing pihak, suami atau isteri, kecuali apabila mereka telah menentukan lain. Masing-masing pihak, suami atau isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bawaannya masing-masing. Suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan meraka. Akan tetapi, persetujuan itu bukanlah suatu kewajiban.
Demikan pula dalam penguasaan dan perlekatan hak kepemilikan atas 2 (dua) jenis harta dalam perkawinan yang telah jelas dipisahkan oleh Undang-Undang Perkawinan.
Hal tersebut di atas dapat dilihat dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang berbunyi :
1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.


________________________________________
[1] Qs. an-Nisa’ : 5
[2] Qs. an-Nisa’ : 4
[3] Qs. al-Baqarah : 233
[4] Qs. an-Nisa’ : 4
[5] Qs. an- Nisa’ : 20- 21
[6] Qs. al- Baqarah : 237
[7] Qs. al- Baqarah : 236
[8] Qs. an-Nisa’ : 128
[9] HR Abu Dawud, Ibnu Majah, dan disahihkan oleh Tirmidzi

Harta Dalam Pandangan Islam (53)

Pajak Dalam Pandangan Islam

Pajak adalah produk hukum kafir, akan tetapi justru diterapkan oleh negeri-negeri muslim. Parahnya lagi di saat pajak dipaksakan kepada penduduk negeri, ternyata mereka melakukan kecurangan dengan cara memakan harta yang sudah mereka kumpulkan. Slogan “ Orang bijak, taat pajak “ seolah hanya cara mereka untuk menipu. Tak sedikit masyarakat yang berkata “ pegawai pajak jarang ada yang miskin “ Sebagai pelampiasan kekesalan mereka terhadap oknum pegawai pajak. Bagaiamana sesungguhnya islam menilai hukum pajak ? Dengan tulisan singkat dan jelas, DR Ahmad Zain Annajah menerangkan :
Akhir-akhir ini, banyak kalangan membicarakan masalah pajak. Hal ini terkait dengan kasus korupsi yang terjadi di lingkungan Direktorat Pajak. Bagaimana sebenarnya hukum pajak dalam kaca mata syariah ?

Pajak menurut istilah kontemporer adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang -sehingga dapat dipaksakan- dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.
Dalam ajaran Islam pajak sering diistilahkan dengan adh-Dharibah yang jama’nya adalah adh-Dharaib. Ulama – ulama dahulu menyebutnya juga dengan al Maks. Di sana ada istilah-istilah lain yang mirip dengan pajak atauadh-dharibah diantaranya adalah :

a. al-Jizyah ( upeti yang harus dibayarkan ahli kitab kepada pemerintahan Islam )

b. al-Kharaj( pajak bumi yang dimiliki oleh Negara )

c. al-Usyr (bea cukai bagi para pedagang non muslim yang masuk ke Negara Islam)

Pendapat para Ulama Tentang Pajak
Kalau kita perhatikan istilah-istilah di atas, kita dapatkan bahwa pajak sebenarnya diwajibkan bagi orang-orang non muslim kepada pemerintahan Islam sebagai bayaran jaminan keamanan. Maka ketika pajak tersebut diwajibkan kepada kaum muslimin, para ulama berbeda pendapat di dalam menyikapinya.

Pendapat Pertama : menyatakan pajak tidak boleh sama sekali dibebankan kepada kaum muslimin, karena kaum muslimin sudah dibebani kewajiban zakat. Dan ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan dari Fatimah binti Qais, bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda :
لَيْسَ فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ
“Tidak ada kewajiban dalam harta kecuali zakat. ” ( HR Ibnu Majah, no 1779, meskipun di dalamnya ada rawi : Abu Hamzah ( Maimun ), menurut Ahmad bin Hanbal dia adalah dha’if hadist, dan menurut Imam Bukhari : dia tidak cerdas )
Apalagi banyak dalil yang mengecam para pengambil pajak yang zhalim dan semena-mena, diantaranya adalah :
Pertama : Hadist Abdullah bin Buraidah dalam kisah seorang wanita Ghamidiyah yang berzina bahwasanya Rasulullah SAW bersabda :
“ Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya perempuan itu telah benar-benar bertaubat, sekiranya taubat (seperti) itu dilakukan oleh seorang penarik pajak, niscaya dosanya akan diampuni.” ( HR Muslim, no: 3208 )
Kedua : Hadist Uqbah bin ‘Amir, berkata saya mendengar Rasulullah saw bersabda :
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ
“ Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak (secara zhalim).” ( HR Abu Daud, no : 2548, hadist ini dishahihkan oleh Imam al Hakim ) .
Dari beberapa dalil di atas, banyak para ulama yang menyamakan pajak yang dibebankan kepada kaum muslim secara zhalim dan semena-mena, sebagai perbuatan dosa besar, seperti yang dinyatakan Imam Ibnu Hazm di dalam Maratib al Ijma’, Imam Dzahabi di dalam bukunya Al-Kabair, Imam Ibnu Hajar al Haitami di dalam az- Zawajir ‘an Iqtirafi al Kabair, Syaikh Sidiq Hasan Khan di dalam ar-Raudah an-Nadiyah, Syaikh Syamsul al Haq Abadi di dalam Aun al-Ma’bud dan lain-lainnya

Pendapat Kedua : menyatakan kebolehan mengambil pajak dari kaum muslimin, jika memang negara sangat membutuhkan dana, dan untuk menerapkan kebijaksanaan inipun harus terpenuhi dahulu beberapa syarat. Diantara ulama yang membolehkan pemerintahan Islam mengambil pajak dari kaum muslimin adalah Imam al Juwaini di Ghiyats al Umam hlm : 267, Imam Ghazali di dalam al-Mustasyfa : 1/303, Imam Syatibi di dalam al I’tishom : 2/ 619.

Syarat-syarat Pemungutan Pajak
Para ulama yang membolehkan Pemerintahan Islam memungut pajak dari umat Islam, meletakkan beberapa syarat yang dipenuhi terlebih dahulu, diantaranya adalah sebagai berikut :
Pertama : Negara sangat membutuhkan dana untuk keperluan dan maslahat umum, seperti pembelian alat-alat perang untuk menjaga perbatasan Negara yang sedang dirongrong oleh musuh.
Kedua : Tidak ada sumber lain yang bisa diandalkan oleh Negara, baik dari zakat, jizyah, al usyur, kecuali dari pajak.
Ketiga : Harus ada persetujuan dari alim ulama, para cendikiawan dan tokoh masyarakat.
Keempat: Pemungutannya harus adil, yaitu dipungut dari – orang kaya saja -, dan tidak boleh dipungut dari orang-orang miskin. Distribusinya juga harus adil dan merata, tidak boleh terfokus pada tempat-tempat tertentu atau untuk kepenting an kampaye saja, apalagi tercemar unsur KKN atau korupsi.
Kelima : Pajak ini sifatnya sementara dan tidak diterapkan secara terus menerus, tetapi pada saat-saat tertentu saja, ketika Negara dalam keadaan genting atau ada kebutuhan yang sangat mendesak saja.
Keenam : Harus dihilangkan dulu pendanaan yang berlebih-lebihan dan hanya menghambur-hamburkan uang saja.
Ketujuh : Besarnya pajak harus sesuai dengan kebutuhan yang mendesak pada waktu itu saja.
Sebagian besar syarat-syarat tersebut teringkas dalam peristiwa Sultan Dhahir Baibes yang pada waktu itu berkuasa di Mesir berniat memungut pajak dari rakyat Mesir ( tentunya yang kaya-kaya ) untuk membantu pengadaan peralatan militer untuk melawan serangan pasukan Tatar. Sultan Dhahir Beibes mengumpulkan para ulama dan hasilnya semua setuju, kecuali Imam Nawawi yang memberikan syarat, Sultan harus mengeluarkan kekayaan yang dimilikinya dan yang dimiliki para pejabat lain terlebih dahulu, sebelum memungut pajak dari rakyat.
Apakah pajak hari ini telah sesuai dengan ajaran Islam ?
Apakah pajak hari ini sesuai dengan syarat-syarat yang telah disebutkan ulama atas ? maka jawabannya adalah tidak, hal itu dengan beberapa sebab :

1. Pajak hari ini dikenakan juga pada barang dagangan dan barang-barang yang menjadi kebutuhan sehari-hari yang secara tidak langsung akan membebani rakyat kecil
2. Hasil pajak hari ini dipergunakan untuk hal-hal yang bukan termasuk kebutuhan darurat, tetapi justru malah digunakan untuk membiayai tempat-tempat maksiat dan rekreasi, pengembangan budaya yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dan sejenisnya, bahkan yang lebih ironisnya lagi sebagian besar pajak yang diambil dari rakyat itu hanya untuk dihambur-hamburkan saja, seperti untuk pembiayaan pemilu, renovasi rumah DPR, pembelian mobil mewah untuk anggota dewan dan pejabat, dan lain-lainnya.
3. Pajak hari ini diwajibkan terus menerus secara mutlak dan tidak terbatas.
4. Pajak hari ini diwajibkan kepada rakyat, padahal zakat sendiri belum diterapkan secara serius.
5. Pajak yang diwajibkan hari ini belum dimusyawarahkan dengan para ulama dan tokoh masyarakat.
6. Pajak hari ini diwajibkan kepada rakyat kecil, padahal sumber-sumber pendapat Negara yang lain, seperti kekayaan alam tidak diolah dengan baik, malah diberikan kepada perusahan asing, yang sebenarnya kalau dikelola dengan baik, akan bisa mencukupi kebutuhan Negara dan rakyat.
Dari keterangan di atas, menjadi jelas, bahwa pajak yang diterapkan hari ini di banyak negara-negara yang mayoritas penduduknya Islam, termasuk di dalamnya Indonesia adalah perbuatan zhalim yang merugikan rakyat kecil, apalagi hasilnya sebagian besar dihambur-hamburkan untuk sesuatu yang kurang bermanfaat, bahkan terbukti sebagiannya telah dikorupsi, hanya sebagian kecil yang digunakan untuk kepentingan umum dan kesejahteraan masyarakat. Wallahu A’lam.

Maroji’ :
www.ahmadzain.com

Harta Dalam Pandangan Islam (52)

Istri Berinfaq Dari Hartanya Tanpa Izin Suami

Tidak menutup kemungkinan seorang istri berpenghasilan. Akhirnya ia mendapat uang dari hasil usahanya. Iapun berderma untuk sanak kerabat, orang tua dan kaum faqir tanpa sepengetahuan suami.

Contoh lain, ketika istri memiliki perhiasan dari mas kawin pemberian suami saat menikah. Ia jual untuk membiayai pengobatan orang tuanya. Suami tidak mengetahui apa yang ia lakukan.
Dua perbuatan di atas, secara hukum islam adalah syah karena harta sudah merupakan kepemilikan pribadi bagi istri sehingga ia bebas untuk menggunakannnya. Inilah yang pernah terjadi pada jaman rosululloh shollallohu alaihi wasallam :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ وَمَعَهُ بِلَالٌ فَظَنَّ أَنَّهُ لَمْ يُسْمِعْ فَوَعَظَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ بِالصَّدَقَةِ فَجَعَلَتْ الْمَرْأَةُ تُلْقِي الْقُرْطَ وَالْخَاتَمَ وَبِلَالٌ يَأْخُذُ فِي طَرَفِ ثَوْبِهِ

Dari Ibnu 'Abbas berkata : aku menyaksikan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam -sedang menurut 'Atho', dia berkata ; aku menyaksikan Ibnu 'Abbas berkata ; bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam keluar bersama Bilal, dan dia mengira bahwa dia tidak mendengar, maka Nabi memberi pelajaran kepada para wanita dan memerintahkan untuk bersedekah, maka seorang wanita memberikan anting dan cincin emasnya, dan Bilal memasukkannya ke saku bajunya [HR Bukhori Muslim]

Ibnu Hajar Al Atsqolani mengomentari hadits di atas dengan berkata : diperbolehkan bagi wanita untuk bershodaqoh dari hartanya tanpa sepengetahuan suami.

Maroji’ :
Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Atsqolani 1/244

Harta Dalam Pandangan Islam (51)

Istri Berinfaq Dari Harta Suami

Hukum asli berinfaq dari harta suami tanpa seizinnya adalah terlarang. Hal ini berdasarkan dari sebuah hadits :

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ, عَنْ أَبِيهِ, عَنْ جَدِّهِ; أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ لَا يَجُوزُ لِاِمْرَأَةٍ عَطِيَّةٌ إِلَّا بِإِذْنِ زَوْجِهَا وَفِي لَفْظٍ لَا يَجُوزُ لِلْمَرْأَةِ أَمْرٌ فِي مَالِهَا, إِذَا مَلَكَ زَوْجُهَا عِصْمَتَهَا رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَصْحَابُ اَلسُّنَنِ إِلَّا اَلتِّرْمِذِيَّ

Dari Amar Ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Tidak diperbolehkan bagi seorang istri memberikan sesuatu kecuali dengan seizin suaminya. Dalam suatu lafadz : Tidak diperbolehkan bagi seorang istri mengurus hartanya yang dimiliki oleh suaminya [HR Ahmad dan para pengarang kitab al-Sunan kecuali Tirmidzi]

Dalam kondisi tertentu, terkadang diperbolehkan melakukannya dengan syarat :
1. Tidak merusak dan mengurangi hak suami
2. Tidak ada larangan dari suami
3. Bersedekah dari sesuatu yang merupakan kebiasaan keseharian dan bila dilakukan tidak akan menjadi dipermasalahkan
Hal ini berdasar pada sebuah hadits :

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم إِذَا أَنْفَقَتِ اَلْمَرْأَةُ مِنْ طَعَامِ بَيْتِهَا, غَيْرَ مُفْسِدَةٍ, كَانَ لَهَا أَجْرُهَا بِمَا أَنْفَقَتْ وَلِزَوْجِهَا أَجْرُهُ بِمَا اِكْتَسَبَ وَلِلْخَازِنِ مِثْلُ ذَلِكَ, وَلَا يَنْقُصُ بَعْضُهُمْ أَجْرَ بَعْضٍ شَيْئًا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
.
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Apabila perempuan menafkahkan sebagian makanan di rumahnya tanpa merusak (anggaran harian) maka baginya pahala atas apa yang ia nafkahkan, bagi suaminya juga pahala karena ia yang bekerja, dan begitu pula bagi yang menyimpannya. Sebagian dari mereka tidak mengurangi sedikit pun pahala atas sebagian lainnya. [Muttafaq Alaihi]

Untuk lebih memperjelas pembahasan perlu ditampilkan beberapa contoh :

• Seorang istri mendapat uang belanja dari suami sebesar dua puluh ribu rupiah. Suami meminta dengan uang sebesar itu dibelikan daging sapi 1 kg. Di tokoh A daging satu kilo gram berharga dua puluh ribu sementara di toko B yang jaraknya lebih jauh berharga delapan belas ribu rupiah. Wanita itu rela menempuh jarak agak jauh dengan berjalan kaki untuk mendapatkan harga yang lebih murah. Sisa uang tiga ribu ia manfaatkan untuk berinfaq. Berderma dari uang suami tanpa seizinnya sementara tidak merusak haknya.
• Sebagaimana yang dituturkan oleh Aisyah radliallahu 'anha berkata ; Telah datang seorang wanita bersama dua putrinya menemuiku untuk meminta sesuatu namun aku tidak mempunyai apa-apa selain sebutir kurma lalu aku berikan kepadanya. Lalu wanita itu membagi kurma itu menjadi dua bagian yang diberikannya untuk kedua putrinya sedangkan dia tidak memakan sedikitpun. Lalu wanita itu berdiri untuk segera pergi. Saat itulah Nabi Shallallahu'alaihiwasallam datang kepada kami, lalu aku kabarkan masalah itu, maka Beliau bersabda : Siapa yang memberikan sesuatu kepada anak-anak ini, maka mereka akan menjadi pelindung dari api neraka baginya. Apa yang dilakukan oleh Aisyah tanpa sepengetahuan nabi shollallohu alaihi wasallam akan tetapi beliau memang biasa mengizinkan bahkan menganjurkan kepada para istrinya untuk gemar bersodaqoh.

• Seorang istri yang kedatangan tamu yang tidak lain adalah teman lamanya. Untuk menghormat tamu, dihidangkanlah teh manis dan makanan yang ada di rumah yang tidak lain semuanya adalah dimiliki suami karena dialah yang bekerja. Tentu sudah menjadi sesuatu yang dimaklumi bila istri tanpa menghubungi suami terlebih dahulu segera menghidangkan jamuan itu kepada tamunya.
Bila ini dilakukan maka keduanya, yaitu suami istri akan memperoleh pahala.

Maroji’ :
Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam 2/490

Harta Dalam Pandangan Islam (50)

Si Miskin Harta Boleh Jadi Pemimpin

وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا قَالُوا أَنَّى يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ قَالَ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Nabi mereka mengatakan kepada mereka : Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu. mereka menjawab : Bagaimana Thalut memerintah Kami, Padahal Kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak ? Nabi (mereka) berkata : Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang Luas dan tubuh yang perkasa. Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha mengetahui [albaqoroh : 247]

Kaum bani Israil meminta kepada Syamwail agar mengangkat seorang raja yang mampu memimpin mereka dalam jihad fisabilillah. Keinginan merekapun terwujud. Alloh memilih Tholut sebagai raja. Rupanya mereka menolak dengan dua alasan :

1. Kami lebih berhak menjadi raja ( وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ)

Penulis tafsir Almuyassar menafsirkan kata-kata di atas dengan : kami adalah keturunan raja dan kamipun berasal dari rumah kenabian. Atau dengan kata lain : Tholuth bukan keturunan raja-raja dan juga bukan berasal dari rumpun kenabian.

2. Tholuth tidak memiliki kekayaan yang banyak (وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ
)
Maksudnya bukan orang kaya (miskin)
Dua alasan itu dijawab oleh Alloh bahwa ada dua keistimewaan yang dimiliki Tholut sehingga berhak menjadi raja yaitu :

a. Luas ilmu (bashthotan fil ilmi)
Menurut Ibnu Abbas yang dimaksud adalah ilmu perang
b. Kuat jasmani (bashthotan filjismi)

Abu Su’ud mengatakan yang dimaksud kuat jasmani adalah : tinggi badannya melebihi orang lain baik kepala maupun pundaknya sehingga kakinya mampu merenggang menyentuh tangan dan mencapai kepalanya. Tafsir lainnya adalah parasnya yang tampan dan kuat badannya

Demikianlah Tholut yang bukan orang kaya juga bukan keturunan raja-raja mampu memimpin kaumnya mengalahkan raja Jalut. Apalah arti kekayaan bila tidak punya ilmu kepemimpinan dan tidak kuat badan.
Oleh karena itu jangan halangi si miskin harta jadi raja !!

Maroji’ :
Tafsir Ibnu Abbas (maktabah syamilah) 1/43
Tafsir Almuyassar (maktabah syamilah) 1/260
Tafsir Abu Su’ud (maktabah syamilah) 1/301

Harta Dalam Pandangan Islam (49)

Nikah Perlu Harta

عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ أَنَّ أَبَا عَمْرِو بْنَ حَفْصٍ طَلَّقَهَا الْبَتَّةَ وَهُوَ غَائِبٌ فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا وَكِيلُهُ بِشَعِيرٍ فَسَخِطَتْهُ فَقَالَ وَاللَّهِ مَا لَكِ عَلَيْنَا مِنْ شَيْءٍ فَجَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لَيْسَ لَكِ عَلَيْهِ نَفَقَةٌ فَأَمَرَهَا أَنْ تَعْتَدَّ فِي بَيْتِ أُمِّ شَرِيكٍ ثُمَّ قَالَ تِلْكِ امْرَأَةٌ يَغْشَاهَا أَصْحَابِي اعْتَدِّي عِنْدَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ رَجُلٌ أَعْمَى تَضَعِينَ ثِيَابَكِ فَإِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِي قَالَتْ فَلَمَّا حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَأَبَا جَهْمٍ خَطَبَانِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ فَكَرِهْتُهُ ثُمَّ قَالَ انْكِحِي أُسَامَةَ فَنَكَحْتُهُ فَجَعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا وَاغْتَبَطْتُ

Dari Fathimah binti Qais bahwa Abu Amru bin Hafsh telah menceraikannya dengan talak tiga, sedangkan dia jauh darinya, lantas dia mengutus seorang wakil kepadanya (Fathimah) dengan membawa gandum, (Fathimah) pun menolaknya. Maka (Wakil 'Amru) berkata; Demi Allah, kami tidak punya kewajiban apa-apa lagi terhadapmu. Karena itu, Fathimah menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk menanyakan hal itu kepada beliau, beliau bersabda: Memang, dia tidak wajib lagi memberikan nafkah. Sesudah itu, beliau menyuruhnya untuk menghabiskan masa iddahnya di rumah Ummu Syarik. Tetapi kemudian beliau bersabda : Dia adalah wanita yang sering dikunjungi oleh para sahabatku, oleh karena itu, tunggulah masa iddahmu di rumah Ibnu Ummi Maktum, sebab dia adalah laki-laki yang buta, kamu bebas menaruh pakaianmu di sana, jika kamu telah halal (selesai masa iddah), beritahukanlah kepadaku. Dia (Fathimah) berkata ; Setelah masa iddahku selesai, kuberitahukan hal itu kepada beliau bahwa Mu'awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Al Jahm telah melamarku, lantas Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meninggalkan tongkatnya dari lehernya (suka memukul -pent), sedangkan Mu'awiyah adalah orang yang miskin, tidak memiliki harta, karena itu nikahlah dengan Usamah bin Zaid. Namun saya tidak menyukainya, beliau tetap bersabda : Nikahlah dengan Usamah. Lalu saya menikah dengan Usamah, Allah telah memberikan limpahan kebaikan padanya hingga bahagia [HR Muslim]

Hadits di atas menerangkan tentang dua orang yang melamar Fathimah binti Qois. Yang pertama adalah Abu Jahm (laki-laki yang suka memukul) dan yang kedua adalah Muawiyyah (miskin, tidak memiliki harta). Oleh rosululloh shollallohu alaihi wasallam disarankan untuk menolak keduanya dengan pertimbangan yang sudah disampaikan oleh beliau. Ini menunjukkan bahwa faktor harta bisa saja berpengaruh bagi terlaksanya perkawinan sehingga dalam hadits lain beliau menyampaikan nasehat :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( تُنْكَحُ اَلْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ : لِمَالِهَا , وَلِحَسَبِهَا , وَلِجَمَالِهَا , وَلِدِينِهَا , فَاظْفَرْ بِذَاتِ اَلدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Perempuan itu dinikahi karena empat hal, yaitu : harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya. Dapatkanlah wanita yang taat beragama, engkau akan berbahagi [ Muttafaq Alaihi]

Karena faktor harta, seorang istri berhak memberi ultimatum (menuntut cerai) kepada suami yang tidak mau bekerja untuk menafkahi istri :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( اَلْيَدِ اَلْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ اَلْيَدِ اَلسُّفْلَى, وَيَبْدَأُ أَحَدُكُمْ بِمَنْ يَعُولُ. تَقُولُ اَلْمَرْأَةُ : أَطْعِمْنِي, أَوْ طَلِّقْنِي. ) رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah, hendaklah seseorang di antara kamu mulai (memberi nafkah) kepada orang yang menjadi tanggungannya. Para istri akan berkata boleh berkata kepada suaminya : Berikan aku makan atau ceraikan akuat [HR Daruquthni]

Selanjutnya muncul pertanyaan : bagaimana bila keinginan menggebu-gebu untuk segera menikah sementara belum siap secara harta ? Rosululloh shollallohu alaihi wasallam menjawab :

عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ لَنَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( يَا مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ , فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ , وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ , وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata : Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda pada kami : Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu. [Muttafaq Alaihi]

Harta Dalam Pandangan Islam (48)

Tidak Punya Harta Bisa Nikah

Mahar tidak selamanya berupa harta. Rosululloh shollallohu alaihi wasallam menikahi Shofiyyah dengan mahar pembebasan dirinya dari status budak. Ummu Sulaim dinikahi oleh Abu Tholhah dengan mahar berupa keislamannya. Seorang sahabat yang begitu miskin disyahkan pernikahannya oleh rosululloh shollallohu alaihi wasallam dengan mahar berupa bacaal quran sebagaimana yang tertera riwayatnya di bawah ini :

َوَعَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ اَلسَّاعِدِيِّ - رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ : ( جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ : يَا رَسُولَ اَللَّهِ ! جِئْتُ أَهَبُ لَكَ نَفْسِي , فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَصَعَّدَ اَلنَّظَرَ فِيهَا , وَصَوَّبَهُ , ثُمَّ طَأْطَأَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم رَأْسَهُ , فَلَمَّا رَأَتْ اَلْمَرْأَةُ أَنَّهُ لَمْ يَقْضِ فِيهَا شَيْئًا جَلَسَتْ , فَقَامَ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِهِ. فَقَالَ : يَا رَسُولَ اَللَّهِ ! إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكَ بِهَا حَاجَةٌ فَزَوِّجْنِيهَا. قَالَ : فَهَلْ عِنْدكَ مِنْ شَيْءٍ ? فَقَالَ : لَا , وَاَللَّهِ يَا رَسُولَ اَللَّهِ. فَقَالَ : اِذْهَبْ إِلَى أَهْلِكَ , فَانْظُرْ هَلْ تَجِدُ شَيْئًا ? فَذَهَبَ , ثُمَّ رَجَعَ ? فَقَالَ : لَا , وَاَللَّهِ يَا رَسُولَ اَللَّهِ، مَا وَجَدْتُ شَيْئًا. فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم انْظُرْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ، فَذَهَبَ، ثُمَّ رَجَعَ. فَقَالَ : لَا وَاَللَّهِ , يَا رَسُولَ اَللَّهِ , وَلَا خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ , وَلَكِنْ هَذَا إِزَارِي - قَالَ سَهْلٌ : مَالُهُ رِدَاءٌ - فَلَهَا نِصْفُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَا تَصْنَعُ بِإِزَارِكَ ? إِنْ لَبِسْتَهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا مِنْهُ شَيْءٌ، وَإِنْ لَبِسَتْهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْكَ شَيْءٌ فَجَلَسَ اَلرَّجُلُ , وَحَتَّى إِذَا طَالَ مَجْلِسُهُ قَامَ ; فَرَآهُ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم مُوَلِّيًا , فَأَمَرَ بِهِ , فَدُعِيَ لَهُ , فَلَمَّا جَاءَ. قَالَ : مَاذَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ ? قَالَ : مَعِي سُورَةُ كَذَا , وَسُورَةُ كَذَا , عَدَّدَهَا فَقَالَ : تَقْرَؤُهُنَّ عَنْ ظَهْرِ قَلْبِكَ ? قَالَ : نَعَمْ , قَالَ : اِذْهَبْ , فَقَدَ مَلَّكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ , وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ وَفِي رِوَايَةٍ لَهُ : ( اِنْطَلِقْ , فَقَدْ زَوَّجْتُكَهَا , فَعَلِّمْهَا مِنَ الْقُرْآنِ ) وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِيِّ : ( أَمْكَنَّاكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ
)
Sahal Ibnu Sa'ad al-Sa'idy Radliyallaahu 'anhu berkata: Ada seorang wanita menemui Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan berkata: Wahai Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, aku datang untuk menghibahkan diriku pada baginda. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memandangnya dengan penuh perhatian, kemudian beliau menganggukkan kepalanya. Ketika perempuan itu mengerti bahwa beliau tidak menghendakinya sama sekali, ia duduk. Berdirilah seorang shahabat dan berkata: "Wahai Rasulullah, jika baginda tidak menginginkannya, nikahkanlah aku dengannya. Beliau bersabda: "Apakah engkau mempunyai sesuatu?" Dia menjawab: Demi Allah tidak, wahai Rasulullah. Beliau bersabda: "Pergilah ke keluargamu, lalu lihatlah, apakah engkau mempunyai sesuatu." Ia pergi, kemudian kembali dam berkata: Demi Allah, tidak, aku tidak mempunyai sesuatu. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Carilah, walaupun hanya sebuah cincin dari besi." Ia pergi, kemudian kembali lagi dan berkata: Demi Allah tidak ada, wahai Rasulullah, walaupun hanya sebuah cincin dari besi, tetapi ini kainku -Sahal berkata: Ia mempunyai selendang -yang setengah untuknya (perempuan itu). Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apa yang engkau akan lakukan dengan kainmu? Jika engkau memakainya, Ia tidak kebagian apa-apa dari kain itu dan jika ia memakainya, engkau tidak kebagian apa-apa." Lalu orang itu duduk. Setelah duduk lama, ia berdiri. Ketika Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melihatnya berpaling, beliau memerintah untuk memanggilnya. Setelah ia datang, beliau bertanya: "Apakah engkau mempunyai hafalan Qur'an?" Ia menjawab: Aku hafal surat ini dan itu. Beliau bertanya: "Apakah engkau menghafalnya di luar kepala?" Ia menjawab: Ya. Beliau bersabda: "Pergilah, aku telah berikan wanita itu padamu dengan hafalan Qur'an yang engkau miliki." Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Muslim. Dalam suatu riwayat: Beliau bersabda padanya: "berangkatlah, aku telah nikahkan ia denganmu dan ajarilah ia al-Qur'an." Menurut riwayat Bukhari: "Aku serahkan ia kepadamu dengan (maskawin) al-Qur'an yang telah engkau hafal."

Pada hadits ini nabi shollallohu alaihi wasallam tidak menyarankan kepada lelaki itu mencari pinjaman untuk mendapatkan uang sebagai biaya mahar. Beliau memberi kemudahan kepada dirinya. Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam berkata : hadits ini menunjukkan akan kasih sayang nabi shollallohu alaihi wasallam kepada umatnya. Di saat beliau melihat kefakirannya sementara ia sangat berhasrat untuk menikah beliau akhirnya menikahkannya tanpa mengikuti kebiasaan dengan mengharuskan pengeluaran biaya pengganti dan ujroh (upah)

Maroji’ :
Taudlihul Ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam 3/518

Harta Dalam Pandangan Islam (47)

Ibadah Harta Terbaik

Ibadah untuk memperoleh pahala bisa didapatkan lewat harta. Zakat, hibah, wakaf dan lainnya. Berkorban bisa dimasukkan ke dalamnya bahkan ia adalah terbaik. Alloh berfirman :

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ (1) فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (2) إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ (3)

1. Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.
2. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah
3. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu Dialah yang terputus [alkautsar : 1-3]

Kenapa perintah sholat dan berkorban Alloh satukan dalam ayat ini ? Syaikh Abdurrohman Hasan Alu Syaikh berkata :

وَأجَلُّ الْعِبَادَاتِ الْبَدَنِيَّةِ الصّلاة وَأجَلُّ الْعِبَادَاتِ الْمَالِيَّةِ النَّحْرُ

Ibadah badan yang paling mulia adalah sholat dan ibadah harta yang paling mulia adalah berkorban
Berarti berkorban pada hari raya idul adha menempati kedudukan tertinggi dari ibadah-ibadah harta lainnya.

Maroji’ :
Fathul Majid, Syaikh Abdurrohman Hasan Alu Syaikh hal 110

Harta Dalam Pandangan Islam (46)

Ibadah Lewat Harta

Manfaat memiliki harta selain bisa bersenang-senang dengannya, ada juga keuntungan lain. Lewat harta seseorang bisa menuai pahala yang tidak sedikit. Diantaranya :

1. Zakat, infaq dan shodaqoh

Ketiganya ada yang bernilai wajib dan ada yang sunnah. Semua ditujukan demi kemaslahatan. Meringankan orang yang berada dalam kesempitan, menghibur orang yang gundah gulana dan lainnya. Syaikh Abu Malik Kamal Ibnu Sayyid Salim menyebut ada 13 fadhilah zakat :
• Ia merupakan sifat Al Abror (orang-orang yang baik)
• Sifat orang-orang yang berhak mendapat rahmat Alloh
• Alloh menjanjikan mengembangkan harta bagi pemiliknya
• Alloh menaungi pelakunya dengan naungan pada hari kiamat
• Membersihkan dan mengembangkan harta sehingga pintu-pintu rezki terbuka
• Sarana turunnya kebaikan
• Bukti akan kebenaran iman pembayar zakat
• Mensucikan akhlaq muzakki
• Menjaga rasa iri yang berasal dari orang fakir
• Menolong kaum fakir dan orang yang membutuhkan
• Andil muslim dalam rangka menunaikan kewajibannya di masyarakat untuk mendukung program daulah islamiyyah

• Ungkapan syukur atas ni’mat harta

Di antara dalil sedekah dan infaq adalah :

عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ جَعْفَرٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ لَمَّا جَاءَ نَعْيُ جَعْفَرٍ حِينَ قُتِلَ قَالَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا, فَقَدْ أَتَاهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ أَخْرَجَهُ الْخَمْسَةُ, إِلَّا النَّسَائِيّ
َ
Abdullah Ibnu Ja'far Radliyallaahu 'anhu berkata: Ketika berita kematian Ja'far datang sewaktu ia terbunuh, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'far karena telah datang sesuatu yang menyusahkan mereka [HR Imam Lima kecuali Nasa'i]

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ, عَنِ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( أَيُّمَا مُسْلِمٍ كَسَا مُسْلِمًا ثَوْبًا عَلَى عُرْيٍ كَسَاهُ اَللَّهُ مِنْ خُضْرِ اَلْجَنَّةِ, وَأَيُّمَا مُسْلِمٍ أَطْعَمَ مُسْلِمًا عَلَى جُوعٍ أَطْعَمَهُ اَللَّهُ مِنْ ثِمَارِ اَلْجَنَّةِ, وَأَيُّمَا مُسْلِمٍ سَقَى مُسْلِمًا عَلَى ظَمَإٍ سَقَاهُ اَللَّهُ مِنْ اَلرَّحِيقِ اَلْمَخْتُومِ ) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَفِي إِسْنَادِهِ لِينٌ

Dari Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Siapa saja orang islam yang memberi pakaian orang Islam yang tidak memiliki pakaian, niscaya Allah akan memberinya pakaian dari hijaunya surge ; dan siapa saja orang Islam yang memberi makan orang Islam yang kelaparan, niscaya Allah akan memberinya makanan dari buah-buahan surga ; dan siapa saja orang Islam yang memberi minum orang Islam yang kehausan, niscaya Allah akan memberinya minuman dari minuman suci yang tertutup [HR Abu Dawud dan dalam sanadnya ada kelemahan]

2. Iqolah

Seorang wanita ingin memberi kejutan buat suami menjelang hari raya idul fitri dengan cara membelikan baju muslim untuknya. Setelah mendapatkannya dari toko, ia segera bergegas pulang untuk mempersembahkannya pada suami. Tak disangka ternyata suami sudah membeli baju koko dengan warna, merk dan ukuran yang sama dengan yang sudah ia beli. Bukannya suami yang terkejut, tapi dirinya sendirilah yang terbengong-bengong dengan apa yang ia saksikan.

Diam-diam, ibu ini pergi ke toko untuk mengembalikan apa yang sudah ia beli. Ternyata pemilik toko tidak keberatan untuk menerimanya dan dengan tulus ikhlas ia kembalikan uang yang sudah ia terima. Kepada yang melakukannya maka Alloh akan memberikan imbalan berupa pembebasan dari dosa-dosa sebagaimana rosululloh shollallohu alaihi wasallam bersabda :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( مَنْ أَقَالَ مُسْلِماً بَيْعَتَهُ, أَقَالَهُ اَللَّهُ عَثْرَتَهُ ) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَابْنُ مَاجَهْ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ, وَالْحَاكِمُ

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Barangsiapa membebaskan jual-beli seorang muslim, Allah akan membebaskan kesalahannya [HR Abu Dawud dan Ibnu Majah]

3. Toleransi kepada penunggak hutang

Hal itu dilakukan dengan memberi tangguh atau membebaskannya sama sekali. Alloh berfirman :

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui [albaqoroh : 280]

4. Hawalah

Seseorang yang berinisial A pinjam uang kepada B. Karena sesuatu hal maka A minta kepada B agar pelunasan pinjaman dialihkan kepada C sehingga nantinya B akan menagih kepada si C. Ini dilakukan karena sebenarnya C memiliki hutang kepada A dan belum dilunasi.

Cara ini disebut dengan hawalah. Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam berkata : ini adalah cara mempermudah muamalah di antara manusia terlebih bila orang yang berhutang berada di satu negeri sementara orang yang memberi pinjaman berada di negeri lain. Nabi shollallohu alaihi wasallam bersabda :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( مَطْلُ اَلْغَنِيِّ ظُلْمٌ, وَإِذَا أُتْبِعُ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيٍّ فَلْيَتْبَعْ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Penangguhan (pembayaran hutang) orang kaya itu suatu kesesatan. Apabila seseorang di antara kamu hutangnya dipindahkan kepada orang yang mampu, hendaknya ia menerima [Muttafaq Alaihi]

5. Adl Dloman

Di sebuah angkot, ketika seseorang terlihat panik. Dompet yang berisi uang tertinggal di rumah. Ia kebingungan, karena dengan uanglah ia bisa membayar ongkos kepada pak sopir. Tiba-tiba seseorang berkata kepadanya “ Bapak tidak perlu khawatir, nanti saya yang akan membayar ongkos bapak “ Inilah yang disebut adl dolman.
Syaikh Abu Bakar Jabir Aljazairi berkata : adl dolman adalah menanggung kewajiban atas orang yang memiliki tanggung jawab. Seperti ketika seseorang memiliki kewajiban sementara ia tidak mampu menunaikannya lalu ada orang yang berkemampuan berkata kepada orang yang menuntut “ Saya yang bertanggung jawab untuk menunaikannya “
Adl dolman yang terjadi pada jaman sahabat adalah penanggungan hutang sebagaimana yang tertera dalam hadits di bawah ini :

عَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ تُوُفِّيَ رَجُلٌ مِنَّا, فَغَسَّلْنَاهُ, وَحَنَّطْنَاهُ, وَكَفَّنَّاهُ, ثُمَّ أَتَيْنَا بِهِ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقُلْنَا : تُصَلِّي عَلَيْهِ ? فَخَطَا خُطًى, ثُمَّ قَالَ: أَعَلَيْهِ دَيْنٌ ? قُلْنَا : دِينَارَانِ، فَانْصَرَفَ, فَتَحَمَّلَهُمَا أَبُو قَتَادَةَ، فَأَتَيْنَاهُ, فَقَالَ أَبُو قَتَادَةَ: اَلدِّينَارَانِ عَلَيَّ، فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أُحِقَّ اَلْغَرِيمُ وَبَرِئَ مِنْهُمَا اَلْمَيِّتُ ? قَالَ : نَعَمْ, فَصَلَّى عَلَيْهِ رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ
,
Jabir Radliyallaahu 'anhu berkata : Ada seorang laki-laki di antara kami meninggal dunia, lalu kami memandikannya, menutupinya dengan kapas, dan mengkafaninya. Kemudian kami mendatangi Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan kami tanyakan : Apakah baginda akan menyolatkannya ?. Beliau melangkan beberapa langkah kemudian bertanya : Apakah ia mempunyai hutang ? Kami menjawab : Dua dinar. Lalu beliau kembali. Maka Abu Qotadah menanggung hutang tersebut. Ketika kami mendatanginya; Abu Qotadah berkata : Dua dinar itu menjadi tanggunganku. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Betul-betul engkau tanggung dan mayit itu terbebas darinya. Ia menjawab : Ya. Maka beliau menyolatkannya [HR Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa'i]

Dalam salah satu khutbahnya, rosululloh shollallohu alaihi wasallam menyampaikan kesiapan beliau untuk menjadi penjamin hutang umatnya :

أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ, فَمَنْ تُوُفِّيَ, وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَعَلَيَّ قَضَاؤُهُ

Aku lebih berhak pada orang beriman daripada diri mereka sendiri. Maka barangsiapa meninggal dan ia memiliki hutang, akulah yang melunasinya.

6. Ariyah

Ariyah adalah memberi pinjaman barang kepada orang lain. Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin berpendapat bahwa ariyah hukum asalnya adalah sunnah yang terkadang berubah menjadi wajib. Beliau memberi contoh memberi pinjaman kain pada saat musim dingin sehingga orang yang dipinjami akan selamat dari bahaya kedinginan akibat cuaca yang ekstrim.

عَنْ يَعْلَى بْنِ أُمَيَّةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( إِذَا أَتَتْكَ رُسُلِي فَأَعْطِهِمْ ثَلَاثِينَ دِرْعاً , قُلْتُ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ ! أَعَارِيَةٌ مَضْمُونَةٌ أَوْ عَارِيَةٌ مُؤَدَّاةٌ? قَالَ: بَلْ عَارِيَةٌ مُؤَدَّاةٌ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ
,
Ya'la Ibnu Umayyah Radliyallaahu 'anhu berkata : Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda kepadaku : Apabila utusanku datang kepadamu, berikanlah kepada mereka tiga puluh baju besi. Aku berkata : Wahai Rasulullah, apakah pinjaman yang ditanggung atau pinjaman yang dikembalikan ? Beliau bersabda : Pinjaman yang dikembalikan [HR Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa'i]

7. Wakaf

Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam berkata : wakaf adalah shodaqoh yang paling afdhol yang diperintah oleh Alloh karena ia bersifat terus menerus pemakaiannya. Dijanjikan pahala besar bagi pelakunya. Orang yang pertama kali melakukannya adalah Umar bin Khothob :

عَنْ اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ : ( أَصَابَ عُمَرُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ , فَأَتَى اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا, فَقَالَ : يَا رَسُولَ اَللَّهِ ! إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ هُوَ أَنْفَسُ عِنْدِي مِنْه ُ قَالَ : إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا, وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ : فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ, غَيْرَ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ أَصْلُهَا, وَلَا يُورَثُ , وَلَا يُوهَبُ , فَتَصَدَّقَ بِهَا فِي اَلْفُقَرَاءِ, وَفِي اَلْقُرْبَى, وَفِي اَلرِّقَابِ, وَفِي سَبِيلِ اَللَّهِ, وَابْنِ اَلسَّبِيلِ, وَالضَّيْفِ, لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ , وَيُطْعِمَ صَدِيقاً ) غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ مَالًا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِيِّ : ( تَصَدَّقْ بِأَصْلِهِ, لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ, وَلَكِنْ يُنْفَقُ ثَمَرُهُ

Ibnu Umar berkata : Umar Radliyallaahu 'anhu memperoleh bagian tanah di Khaibar, lalu menghadap Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam untuk meminta petunjuk dalam mengurusnya. Ia berkata : Wahai Rasulullah, aku memperoleh sebidang tanah di Khaibar, yang menurutku, aku belum pernah memperoleh tanah yang lebih baik daripadanya. Beliau bersabda : Jika engkau mau, wakafkanlah pohonnya dan sedekahkanlah hasil (buah)nya. Ibnu Umar berkata : Lalu Umar mewakafkannya dengan syarat pohonnya tidak boleh dijual, diwariskan, dan diberikan. Hasilnya disedekahkan kepada kaum fakir, kaum kerabat, para hamba sahaya, orang yang berada di jalan Allah, musafir yang kehabisan bekal, dan tamu. Pengelolanya boleh memakannya dengan sepantasnya dan memberi makan sahabat yang tidak berharta. [Muttafaq Alaihi] dan lafadznya menurut riwayat Muslim. Dalam riwayat Bukhari disebutkan, Umar menyedekahkan pohonnya dengan syarat tidak boleh dijual dan dihadiahkan, tetapi disedekahkan hasilnya.

8. Memberi hadiyah

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ ( تَهَادُوْا تَحَابُّوا رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Saling memberi hadiahlah kamu sekalian, agar kalian saling mencintai [HR Bukhari dalam kitab al-Adab al-Mufrad]

9. Membalas kebaikan

Ini adalah kebiasaan rosululloh shollallohu alaihi wasallam :

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقْبَلُ اَلْهَدِيَّةَ , وَيُثِيبُ عَلَيْهَا

Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata : rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah menerima hadiah dan membalasnya [HR Bukhari]

Sesuai aturan membalas kebaikan bisa dengan materi yang serupa atau non materi seperti doa :

من سأل بالله فأعطوه، ومن استعاذ بالله فأعيذوه، ، ومن دعاكم فأجيبوه، ومن صنع إليكم معروفا فكافئوه، فإن لم تجدوا ما تكافئونه فادعوا له حتى تروا أنكم قد كافأتموه" رواه أبو داود والنسائي

Barangsiapa yang meminta dengan menyebut nama Allah, maka berilah, barangsiapa yang meminta perlindungan dengan menyebut nama Allah maka lindungilah, barangsiapa yang mengundangmu maka penuhilah undangannya, dan barangsiapa yang berbuat kebaikan kepadamu, maka balaslah kebaikan itu (dengan sebanding atau lebih baik), dan jika engkau tidak mendapatkan sesuatu untuk membalas kebaikannya, maka doakan ia, sampai engkau merasa yakin bahwa engkau telah membalas kebaikannya [HR. Abu Daud, dan Nasai]

10. Menjaga luqthoh (barang temuan)

Ketika menemukan barang maka islam memerintahkan kepada umatnya untuk menjaganya dan mengumumkannya selama satu tahun. Ia merupakan amanat. Bila datang pemiliknya harus diserahkan kepadanya. Ia bisa dimiliki si penemu manakala setelah masa satu tahun sang pemilik tidak kunjung datang.

عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ اَلْجُهَنِيِّ رضي الله عنه قَالَ : ( جَاءَ رَجُلٌ إِلَى اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَسَأَلَهُ عَنِ اللُّقَطَةِ ? فَقَالَ : اِعْرِفْ عِفَاصَهَا وَوِكَاءَهَا , ثُمَّ عَرِّفْهَا سَنَةً , فَإِنْ جَاءَ صَاحِبُهَا وَإِلَّا فَشَأْنُكَ بِهَا قَالَ : فَضَالَّةُ اَلْغَنَمِ ? قَالَ : هِيَ لَكَ , أَوْ لِأَخِيكَ , أَوْ لِلذِّئْبِ قَالَ : فَضَالَّةُ اَلْإِبِلِ ? قَالَ : مَا لَكَ وَلَهَا ? مَعَهَا سِقَاؤُهَا وَحِذَاؤُهَا , تَرِدُ اَلْمَاءَ , وَتَأْكُلُ اَلشَّجَرَ , حَتَّى يَلْقَاهَا رَبُّهَا ) مُتَّفَقٌ عَلَيْه
ِ
Zaid Ibnu Khalid al-Juhany berkata : Ada seseorang datang kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menanyakan tentang barang temuan. Beliau bersabda : Perhatikan tempat dan pengikatnya, lalu umumkan selama setahun. Jika pemiliknya datang, berikanlah dan jika tidak, maka terserah engkau. Ia bertanya : Bagaimana dengan kambing yang tersesat ?. Beliau menjawab : Ia milikmu, atau milik saudaramu, atau milik serigala. Ia bertanya lagi : Bagaimana dengan unta yang tersesat ?. Beliau bersabda : Apa hubungannya denganmu ? Ia mempunyai kantong air dan sepatu, ia bisa datang ke tempat air dan memakan tetumbuhan, hingga pemiliknya menemukannya. [Muttafaq Alaihi]

Maroji’ :
Shohih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal Ibnu Sayyid Salim 2/7-8
Taudlihul Ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam 3/286
Minhajul Muslim, Syaikh Abu Bakar Jabir Aljaairi hal 341
Syarhul Mumthi’ ‘Ala Zadil Mustaqi’, Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin 4/380
Taisirul ‘Alam Syarh Umdatul Ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam hal 392

Harta Dalam Pandangan Islam (45)

Zakat Harta Bagi Si Kecil

Anak kecil memiliki sawah membentang begitu luas. Ia dapatkan itu semua dari kedua orang tuanya yang meninggal. Statusnya sekarang adalah yatim. Sawah yang dimiliki sekarang dikelola oleh sang paman yang memang cakap dalam dunia pertanian disamping ia memang orang yang sangat menjaga amanat.
Hasil panen begitu melimpah. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah wajib baginya membayar zakat dari hasil pertanian ? Bukankah ia belum baligh ?

Jawabannya adalah ia wajib menunaikan zakat. Mengenai statusnya yang masih kecil, perlu diketahui bahwa status zakat berbeda dengan perintah sholat, haji dan shoum yang terkait dengan usia. Adapun zakat adalah ibadah yang berkenaan dengan hak harta sehingga tidak dituntut dengan usia. Para ulama menyandarkan pendapat ini bedasar hadits :

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ, عَنْ أَبِيهِ, عَنْ جَدِّهِ; عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرِوٍ; أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( مِنْ وَلِيَ يَتِيمًا لَهُ مَالٌ, فَلْيَتَّجِرْ لَهُ, وَلَا يَتْرُكْهُ حَتَّى تَأْكُلَهُ اَلصَّدَقَةُ ) رَوَاهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَاَلدَّارَقُطْنِيُّ, وَإِسْنَادُهُ ضَعِيف ٌ. وَلَهُ شَاهِدٌ مُرْسَلٌ عِنْدَ اَلشَّافِعِيّ
ِ
Dari Amar Ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari Abdullah Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Barangsiapa mengurus anak yatim yang memiliki harta, hendaknya ia memperdagangkan harta itu untuknya, dan tidak membiarkannya sehingga dimakan oleh zakat. [HR Tirmidzi dan Daruquthni, sanadnya lemah. Hadits ini mempunyai saksi mursal menurut Syafi]

Imam shon’ani berkata : status wajibnya zakat bagi anak adalah sama dengan mukallaf (baligh) dan diwajibkan bagi walinya untuk mengeluarkannya dan ini adalah pendapat jumhur ulama.

Maroji’ :
Subulussalam, Imam Shon’ani 1/130