Tidak Jadi Dapat Harta
Barangkali kita pernah mendapat harta berharga. Dengan senang hati kita memegangnya. Tapi, karena alasan syar’i ia harus berpindah tangan. Diantaranya :
1. Khulu’
Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin memberi definisi khulu’ dengan mengatakan :
فِرَاقُ الزَّوْجَةِ بِعِوَضٍ بِأَلْفَاظٍ مَعْلُوْمَةٍ
Berpisahnya istri dari suami dengan mengeluarkan pengganti melalui lafadz yang bisa dipahami. Artinya karena istri yang mengajukan gugatan cerai maka ia harus mengembalikan mahar kepada suaminya. Khulu’ memiliki empat rukun. Syaikh Abu Malik menyebut : Suami, istri, lafadz dan pengganti. Dalil disyariatkannya khulu adalah :
َعَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ اِمْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ أَتَتْ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ : يَا رَسُولَ اَللَّهِ ! ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ مَا أَعِيبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلَا دِينٍ , وَلَكِنِّي أَكْرَهُ اَلْكُفْرَ فِي اَلْإِسْلَامِ , قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ ? , قَالَتْ : نَعَمْ قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم اِقْبَلِ اَلْحَدِيقَةَ , وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً
Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa istri Tsabit Ibnu Qais menghadap Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan berkata : Wahai Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit Ibnu Qais, namun aku tidak suka durhaka (kepada suami) setelah masuk Islam. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Apakah engkau mau mengembalikan kebun kepadanya ?. Ia menjawab : Ya. Maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda (kepada Tsabit Ibnu Qais): Terimalah kebun itu dan ceraikanlah ia sekali talak [HR Bukhori, Abu Daud dan Ibnu Majah]
2. Pembunuh dan kekafiran
Seorang ayah bila meninggal, tentu harta yang ia ditinggalkan akan berpindah kepada ahli warisnya, diantaranya adalah anak-anaknya. Manalaka kematian sang ayah diakibatkan oleh anak atau sang anak berbeda din dengan orang tuanya maka ia tidak berhak mendapat harta waris tersebut. Hal itu berdasar kepada dua hadits :
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ , عَنْ أَبِيهِ , عَنْ جَدِّهِ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَيْسَ لِلْقَاتِلِ مِنَ الْمِيرَاثِ شَيْءٌ ) رَوَاهُ النَّسَائِيُّ , وَاَلدَّارَقُطْنِيُّ
Dari Amar Ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Pembunuh tidak mendapat warisan apapun dari yang dibunuh [HR Nasa'i dan Daruquthni]
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ لَا يَرِثُ اَلْمُسْلِمُ اَلْكَافِرَ, وَلَا يَرِثُ اَلْكَافِرُ اَلْمُسْلِمَ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Usamah Ibnu Zaid Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Orang muslim tidak mewarisi harta orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi harta orang muslim [Muttafaq Alaihi]
Pengarang Almizan Alkubro berkata : sebab-sebab yang menghalangi seseorang dari perolehan harta waris ada tiga, yaitu : perbudakan, pembunuhan dan perbedaan din.
Sehingga dari sini diketahui bila anak telah mendapat harta dari orang tuanya yang telah wafat sementara dirinya berbeda din atau menjadi penyebab kematian orang tua maka harta wajib diambil kembali selanjutnya dikembalikan kepada ahli waris lainnya.
3. Barang luqthoh
Seseorang yang menemukan barang berharga maka ia harus mengenali ciri-cirinya, menjaganya, mencari saksi dan mengumumkannya selama setahun.
Selanjutnya menyerahkannya kepada si pemilik bila datang atau bisa dimiliki si penemu manakala si pemilik tidak kunjung datang. Hal inilah yang disabdakan oleh nabi sholllallohu alaihi wasallam :
عَنْ عِيَاضِ بْنِ حِمَارٍ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَنْ وَجَدَ لُقَطَةً فَلْيُشْهِدْ ذَوَيْ عَدْلٍ , وَلْيَحْفَظْ عِفَاصَهَا وَوِكَاءَهَا , ثُمَّ لَا يَكْتُمْ , وَلَا يُغَيِّبْ , فَإِنْ جَاءَ رَبُّهَا فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا , وَإِلَّا فَهُوَ مَالُ اَللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَالْأَرْبَعَةُ إِلَّا اَلتِّرْمِذِيَّ
Dari Iyadl Ibnu Himar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Barangsiapa menemukan barang hilang, hendaknya ia mencari kesaksian dua orang adil, menjaga tempat dan pengikatnya, serta tidak menyembunyikan dan menghilangkannya. Apabila pemiliknya datang, ia lebih berhak dengannya. Apabila tidak datang, ia adalah harta Allah yang bisa diberikan kepada orang yang dikehendaki. [HR Ahmad dan Imam Empat kecuali Tirmidzi]
Syaikh Sholih bin Fauzan berkata : bila berlalu setahun setelah diumumkan, ternyata pemilik tidak kunjung datang, maka barang dimiliki si penemu. Akan tetapi ia harus mengenal terlebuh dengan baik sifat-sifat barang dimana bila kapan saja si pemiliki datang dan mampu menerangkan ciri-ciri barang maka harus diberikan bila masih ada dan dikembalikan dengan uang seharga barang bila barang sudah tidak ada karena kepemilikan barang berakhir dengan kedatangan si pemilik asli.
Maroji’ :
Syarhul Mumthi’ Ala zadil Mustaqni, Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin 5/398
Shohih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal ibn Sayyid Salim 3/348
Almizan Alkubro, Abu Mawahib, Abdul Wahhab bin Ahmad bin Ali Al Anshori 2/103
Almulakhsosh Alfiqh, Syaikh Sholih bin Fauzan bin Abdulloh Alu Fauzan hal 526