Harta Dalam Pandangan Islam (54)

Harta Gono Gini Dalam Islam

DR Ahmad Zain Annajah dengan bahasa singkat dan mudah dipahami, menerangkan kepada kita :

عَنْ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

Dari Amru’ bin Auf al Muzani dari bapaknya dari kakeknya bahwa Rasulullah saw bersabda: “Perdamaian adalah boleh di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal dan perdamaian yang menghalalkan yang haram “

Akhir-akhir ini banyak dari masyarakat yang menanyakan status harta gono-gini, bahkan terakhir ada seorang muslimah yang dicerai oleh suaminya, kemudian muslimah tersebut meminta harta gono gini dari suaminya 50%, suaminya-pun merasa keberatan dengan permintaan tersebut, akhirnya mereka berdua sepakat untuk pergi ke pengadilan. Bagaimana sebenarnya kedudukan harta gono gini ini dalam pandangan Islam?

Konsep Harta Dalam Islam
Sebelum berbicara masalah harta gono–gini, sebaiknya kita mengenal terlebih dahulu tentang “konsep harta “dalam rumah tangga Islam :
Pertama : Bahwa harta merupakan tonggak kehidupan rumah tangga, sebagaimana firman Allah SWT :

وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا

“ Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta kamu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan” [1]
Kedua : Kewajiban Suami yang berkenaan dengan harta adalah sebagai berikut :

1. Memberikan mahar kepada istri, sebagaimana firman Allah SWT :

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً

“ Berikanlah mas kawin kepada wanita yang kamu nikahi sebagai bentuk kewajiban (yang harus dilaksanakan dengan ikhlas)” [2]

1. Memberikan nafkah kepada istri dan anak, sebagaimana firman Allah SWT :

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“ Dan kepada ayah berkewajiban memberi nafkah dan pakaian yang layak kepada istrinya “[3]

Ketiga : Suami tidak boleh mengambil harta istri, kecuali dengan izin dan ridhonya, sebagaimana firman Allah SWT :

فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

“ Jika mereka (istri-istri kamu) menyerahkan dengan penuh kerelaan sebagian mas kawin mereka kepadamu, maka terimalah pemberian tersebut sebagai harta yang sedap dan baik akibatnya “[4]
Keempat : Jika terjadi perceraian antara suami istri, maka ketentuannya sebagai berikut :

1. Istri mendapat seluruh mahar jika ia telah melakukan hubungan sex dengan suaminya, atau salah satu diantara kedua suami istri tersebut meninggal dunia dan mahar telah ditentukan, dalam hal ini Allah SWT berfirman :

وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا

“ Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. “[5]

1. Istri mendapat setengah mahar jika dia belum melakukan hubungan sex dengan suaminya dan mahar telah ditentukan, sebagaimana firman Allah SWT :

وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ

“ Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu. “[6]

1. Istri mendapat mut’ah (uang pesangon) jika dia belum melakukan hubungan sex dengan suaminya dan mahar belum ditentukan, sebagaimana firman Allah SWT :
لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ

“ Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. rang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.[7]

Bagaimana Status Harta Gono-Gini?

Salah satu pengertian harta gono - gini adalah harta milik bersama suami - istri yang diperoleh oleh mereka berdua selama di dalam perkawinan, seperti halnya jika seseorang menghibahkan uang, atau sepeda motor, atau barang lain kepada suami istri, atau harta benda yang dibeli oleh suami isteri dari uang mereka berdua, atau tabungan dari gaji suami dan gaji istri yang dijadikan satu, itu semuanya bisa dikatagorikan harta gono- gini atau harta bersama. Pengertian tersebut sesuai dengan pengertian harta gono-gini yang disebutkan di dalam undang-undang perkawinan, yaitu sebagai berikut :

“ Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama (pasal 35 UU Perkawinan)
Untuk memperjelas pengertian di atas, hal-hal di bawah ini perlu menjadi catatan :
Pertama : Barang-barang yang dibeli dari gaji (harta) suami, seperti kursi, tempat tidur, kulkas, kompor, mobil adalah milik suami dan bukanlah harta gono-gini, termasuk dalam hal ini adalah harta warisan yang didapatkan suami, atau hadiah dari orang lain yang diberikan kepada suami secara khusus.

Kedua : Barang-barang yang dibeli dari gaji (harta) suami, kemudian secara sengaja dan jelas telah diberikan kepada istrinya, seperti suami yang membelikan baju dan perhiasan untuk istrinya, atau suami membelikan motor dan dihadiahkan untuk istrinya, maka harta tersebut, walaupun dibeli dengan harta suami, tetapi telah menjadi harta istri, dan bukan pula termasuk dalam harta gono- gini.

Ketiga : Barang-barang yang dibeli dari harta istri, atau orang lain yang menghibahkan sesuatu khusus untuk istri, maka itu semua adalah menjadi hak istri dan bukan merupakan harta gono- gini.
Bagaimana Pembagian Harta Gono- Gini Menurut Islam?
Setelah mengetahui pengertian harta gono gini, timbul pertanyaan berikutnya, bagaimana membagi harta gono gini tersebut menurut Islam?
Di dalam Islam tidak ada aturan secara khusus bagaimana membagi harta gono – gini. Islam hanya memberika rambu-rambu secara umum di dalam menyelesaikan masalah bersama, diantaranya adalah :
Pembagian harta gono-gini tergantung kepada kesepakatan suami dan istri. Kesepakatan ini di dalam Al Qur’an disebut dengan istilah “Ash Shulhu “yaitu perjanjian untuk melakukan perdamaian antara kedua belah pihak (suami istri) setelah mereka berselisih. Allah SWT berfirman:

وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

“ Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya untuk mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) “[8]

Ayat di atas menerangkan tentang perdamaian yang diambil oleh suami istri setelah mereka berselisih. Biasanya di dalam perdamaian ini ada yang harus merelakan hak-haknya, pada ayat di atas, istri merelakan hak-haknya kepada suami demi kerukunan antar keduanya. Hal ini dikuatkan dengan sabda Rasulullah saw :

عَنْ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

Dari Amru’ bin Auf al Muzani dari bapaknya dari kakeknya bahwa Rasulullah saw bersabda: “Perdamaian adalah boleh di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal dan perdamaian yang menghalalkan yang haram “[9]

Begitu juga dalam pembagian harta gono-gini, salah satu dari kedua belah pihak atau kedua-duanya kadang harus merelakan sebagian hak-nya demi untuk mencapai suatu kesepakatan. Umpamanya : suami istri yang sama-sama bekerja dan membeli barang-barang rumah tangga dengan uang mereka berdua, maka ketika mereka berdua melakukan perceraian, mereka sepakat bahwa istri mendapatkan 40 % dari barang yang ada, sedang suami mendapatkan 60 %, atau istri 55 % dan suami 45 %, atau dengan pembagian lainnya, semuanya diserahkan kepada kesepakatan mereka berdua.

Memang kita temukan di dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) dalam Peradilan Agama, pasal 97, yang menyebutkan bahwa :
“ Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Keharusan untuk membagi sama rata, yaitu masing-masing mendapatkan 50%, seperti dalam KHI di atas, ternyata tidak mempunyai dalil yang bisa dipertanggung jawabkan, sehingga pendapat yang benar dalam pembagian harta gono gini adalah dikembalikan kepada kesepakatan antara suami istri.
Kesepakatan tersebut berlaku jika masing-masing dari suami istri memang mempunyai andil di dalam pengadaan barang yang telah menjadi milik bersama, biasanya ini terjadi jika suami dan istri sama-sama bekerja. Namun masalahnya, jika istri di rumah dan suami yang bekerja, maka dalam hal ini tidak terdapat harta gono- gini, dan pada dasarnya semua yang dibeli oleh suami adalah milik suami, kecuali barang-barang yang telah dihibahkan kepada istri, maka menjadi milik istri. Wallahu A’lam
RUU Harta Gono Gini
Definisi Perkawinan berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, ialah :
“ Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” .
Dalam setiap Perkawinan tidak terlepas oleh adanya harta benda, baik yang diperoleh sebelum perkawinan, pada saat perkawinan berlangsung maupun yang diperoleh selama menjadi suami-istri dalam suatu ikatan perkawinan.
Undang-Undang Perkawinan membedakan harta benda dalam perkawinan, yang diatur pada Pasal 35 bahwa :
1) Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2) Harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah pengawasan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Dengan adanya perbedaan jenis harta benda dalam perkawinan tersebut mempengaruhi cara melakukan pengurusannya. Harta bersama diurus secara bersama-sama oleh suami-isteri. Dalam melakukan pengurusan harta bersama tersebut, meraka dapat bertindak dengan adanya persetujuan kedua belah pihak. Artinya, suami atau isteri jika melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama berdasarkan kesepakatan bersama. Berbeda dengan harta bawaan, pengurusannya dilakukan oleh masing-masing pihak, suami atau isteri, kecuali apabila mereka telah menentukan lain. Masing-masing pihak, suami atau isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bawaannya masing-masing. Suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan meraka. Akan tetapi, persetujuan itu bukanlah suatu kewajiban.
Demikan pula dalam penguasaan dan perlekatan hak kepemilikan atas 2 (dua) jenis harta dalam perkawinan yang telah jelas dipisahkan oleh Undang-Undang Perkawinan.
Hal tersebut di atas dapat dilihat dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang berbunyi :
1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.


________________________________________
[1] Qs. an-Nisa’ : 5
[2] Qs. an-Nisa’ : 4
[3] Qs. al-Baqarah : 233
[4] Qs. an-Nisa’ : 4
[5] Qs. an- Nisa’ : 20- 21
[6] Qs. al- Baqarah : 237
[7] Qs. al- Baqarah : 236
[8] Qs. an-Nisa’ : 128
[9] HR Abu Dawud, Ibnu Majah, dan disahihkan oleh Tirmidzi