Dzatu Anwath

(Maksiat Para Sahabat Dan Kesudahannya 5)
Abi Waqid Al Laitsi menuturkan :
Suatu saat kami keluar bersama Rasulullah menuju Hunain, sedangkan kami dalam keadaan baru saja lepas dari kekafiran (masuk Islam), disaat itu orang-orang musyrik memiliki sebatang pohon bidara yang dikenal dengan dzatu anwath, mereka selalu mendatanginya dan menggantungkan senjata-senjata perang mereka pada pohon tersebut, disaat kami sedang melewati pohon bidara tersebut, kami berkata : Ya Rasulullah, buatkanlah untuk kami dzat anwath sebagaimana mereka memilikinya. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menjawab :
 الله أكبر إنها السنن، قلتم والذي نفسي بيده كما قالت بنو أسرائيل لموسى اجعل لنا إلها كما لهم ءالهة، قال إنكم قوم تجهلون لتركبن سنن من كان قبلهم

Allahu Akbar, itulah tradisi (orang-orang sebelum kalian) demi Allah yang jiwaku ada di tanganNya, kalian benar-benar telah mangatakan suatu perkataan seperti yang dikatakan oleh Bani Israel kepada Musa : Buatkanlah untuk kami sesembahan sebagaimana mereka memiliki sesembahan, Musa menjawab : Sungguh kalian adalah kaum yang tidak mengerti (faham), kalian pasti akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian [HR Turmudzi]
Para sahabat yang disebut pada hadits di atas adalah para muallaf. Mereka baru masuk islam setelah fathu Mekah. Artinya, secara ilmu belum memahami dengan baik hakekat tauhid, sementara pengaruh kesyirikan yang mereka bawa semenjak lahir belumlah hilang sepenuhnya. Tak heran bila mereka memohon kepada nabi shollallohu alaihi wasallam dengan satu permintaan yang bernada kesyirikan.
Yang perlu dicatat, bahwa mereka baru meminta, belum melakukan perbuatan syirik. Maka Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berkata : kaunuhum lam yaf’alu (kondisi mereka belum melakukan perbuatan itu). Apakah mereka dihukumi sebagai musyrik ? Jawabannya tidak. Mereka baru masuk islam dan belum lepas sepenuhnya dari kesyirikan. Mereka juga belum menggantungkan pedang-pedang di pohon bidara. Tentang status mereka, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berkata :
أنَّ لَهُمْ مِنَ الْحَسَنَاتِ وَالْوَعْدِ بِالْمَغْفِرَةِ مَالَيْسَ لِغَيْرِهِمْ
Mereka adalah kaum yang memiliki kebaikan dan janji berupa ampunan yang tidak dimiliki oleh umat selain mereka.
Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin memperkuat perkataan di atas dengan firman Alloh :
لَا يَسْتَوِي مِنْكُمْ مَنْ أَنْفَقَ مِنْ قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ أُولَئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِنَ الَّذِينَ أَنْفَقُوا مِنْ بَعْدُ وَقَاتَلُوا وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Tidak sama di antara kamu orang yang menginfaqkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-orang yang menginfaqkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (mereka yang masuk islam sebelum dan sesudah fathu Mekah) balasan yang lebih baik. dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan  [alhadid : 10]


Maroji’ :
Alqoulul Mufid, Syakih Muhammad Sholih Utsaimin 1/204