Albait Dalam Alquran (50)
Hijroh dari negeri kafir menuju negeri muslim hukumnya wajib. Hal ini berdasarkan sabda rosululloh shollallohu alaihi wasallam :
أنَا بَرِيئٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ يُقِيْمُ بَيْنَ أظْهُرِ الْمُشْرِكِيْنَ
Aku berlepas diri dari setiap muslim yang tinggal di tengah-tengah kaum musyrik [HR Abu Daud dan Tirmidzi]
مَنْ جَامَعَ الْمُشْرِكَ وَسَكَنَ مَعَهُ فَإِنَّهُ مِثْلُهُ
Barangsiapa berkumpul bersama dengan orang musyrik dan tinggal dengan mereka maka ia adalah sama dengan mereka [HR Abu Daud]
لاَتُسَاكِنُوا الْمُشْرِكِيْنَ وَلاَ تُجَامِعُوْهُمْ فَمَنْ سَاكَنَهُمْ أوْ جَامَعَهُمْ فَلَيْسَ مِنَّا
Jangan tinggal dengan orang musyrik dan jangan pula berkumpul bersama mereka. Barangsiapa tinggal dan berkumpul bersama mereka maka bukan dari golongan kami [HR Hakim]
Hasan bin Sholih berkata : barangsiapa tinggal di negeri musuh, sementara ia mampu berpindah ke negeri muslim dan tidak ia lakukan maka hukum yang berlaku baginya adalah hukum orang-orang musyrik. Bila kafir harbi masuk islam lalu ia tetap tinggal di negerinya padahal ia mampu untuk keluar darinya, maka ia dinilai bukan muslim. Dia dikenakan hukum sebagaimana orang kafir harbi dalam harta dan jiwanya.
Sejarah membuktikan kaedah di atas. Ketika perintah hijrah diturunkan, dengan berat dan ringan, para sahabat pergi meninggalkan negerinya. Akan tetapi tidak sedikit, yang enggan dan tetap tinggal di Mekah. Pada saat perang badar meletus, kaum kafir quraisy memaksa kaum muslimin yang ada di Mekah untuk masuk front kafir. Tentu paksaan ini di bawah ancaman.
Apa yang terjadi selanjutnya ? Para sahabat Madinah tidak mengetahui bahwa dalam front kafir ada sejumlah saudara-saudaranya seiman. Perang usai, didapati mereka terbunuh dan sebagian tertawan.
Kesedihan para sahabat dijawab oleh Alloh :
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam Keadaan mendzalimi diri sendiri (karena tidak berhijrah sehingga masuk front kafir di bawah paksaan), (kepada mereka) Malaikat bertanya : Dalam Keadaan bagaimana kamu ini ?. mereka menjawab : Adalah Kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah). Para Malaikat berkata : Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu ?. orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali [annisa’ : 97]
Sementara yang tertawan, tetap dikenakan hukum tawanan, artinya mereka wajib menebus diri mereka dengan uang tebusan bila menginginkan kebebasan. Ibnu Katsir meriwayatkan dialog antara rosululloh shollallohu alaihi wasallam dengan pamannya, Abbas bin Abdul Muthollib yang tertawan :
Abbas berkata : ya rosulalloh, bukankah aku seorang muslim ? beliau menjawab : Alloh lebih mengetahui keislamanmu. Bila engkau sebagaimana yang engkau katakan, maka Alloh akan membalasmu, akan tetapi secara dzohir engkau berada di bawah tawanan kami. Tebuslah dirimu dan kedua anak saudaramu Naufal bin Harits bin Abdul Muthollib dan Aqil bin Abi Tholib bin Abdil Muthollib serta sekutumu Utbah bin Amru dan saudara bani Harits bin Fihr.
Abbas berkata : Apa yang aku miliki ya rosulalloh ? Beliau bersabda : Mana hartamu yang engkau dan Ummu Fadl pendam ? Bukankah engkau pernah berkata : Bila aku mendapat keuntungan dalam safarku ini maka harta yang aku pendam ini untuk bani Fadl dan Abdulloh bin Waqutsam. Akhirnya, Abbas menebus dengan membayar 20 uqiyyah.
Maroji’ :
Alwala’ Walbaro’ Fil Islam, Syaikh Muhammad bin Said Salim Alqohthoni hal 272
Almishbah Almunir Fitahdzib Tafsir Ibni Katsir hal 550