Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin memberi tiga kriteria bagi
yang ingin menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar :
أنْ
يَكُوْنَ الإنْسَانُ عَالِمًا بِالْمَعْرُوْفِ وَالْمُنْكَرِ
1.
Dia harus berilmu terhadap hakekat amar ma’ruf dan
nahi munkar
Artinya bisa membedakan mana yang maruf dan mana yang munkar.
Jangan sampai ketika kita menvonis suatu perbuatan sebagai batil ternyata ia
adalah haq, atau membid’ahkan satu ibadah padahal ia adalah sunnah.
Mungkin ada yang menyalahkan khotib yang berdoa di atas
mimbar dengan mengangkat jari telunjuk dan memerintahkannya berdoa dengan
mengangkat kedua tangan, padahal mengangkat jari telunjuk itulah yang benar.
Contoh lain adalah memarahi orang yang menunaikan qiyamul
lail dengan formasi 9 rokaat dan ditutup dengan 2 rokaat sambil duduk. Kepada
pelaku dikatakan bahwa witir adalah penutup sholat malam sehingga tidak mungkin
tahajud dilakukan di akhir. Padahal sholat dengan kaifiyat seperti itu pernah
dilakukan oelh nabi shollallohu alaihi wasallam sebagaimana yang dilihat oleh
Aisyah.
أنْ
تَعْلَمَ أنَّ هذَا الرَّجُلَ تَارِكًا لِلْمَعْرُوْفِ أوْ فَاعِلاً لِلْمُنْكَرِ
2.
Harus mengetahui (memastikan) bahwa orang itu telah
meninggalkan yang maruf atau melakukan kemunkaran
Menegur seorang laki-laki yang berboncengan motor dengan
seorang wanita tanpa bertabayyun terlebih dahulu. Bila diteliti, boleh jadi ia
akan tahu bahwa wanita yang dibelakangnya adalah adik kandungnya.
أنْ
لاَ يَزُوْلَ الْمُنْكَر إلَى مَا هُوَ أعْظَمُ مِنْهُ
3.
Tidak mencegah kemunkaran yang berakibat muncul
kemunkaran yang lebih besar
Ibnu Taimiyyah pernah ditanya, kenapa ia tidak menegur orang
yang sedang minum khomr di negeri Syam. Ia menerangkan bahwa yang bersangkutan
bila ditegur maka akan murka lalu akan melakukan pengrusakan apa saja yang ia
temui. Sementara bila dibiarkan, ia sudah merasa asyik dengan minumannya tanpa
melakukan kejahatan lainnya.
Maroji’ :
Syarh Riyadlush Sholihin, Syaikh Muhammad Solih Utsaimin
1/483-484