Mimpi Basah (2)
Alloh membedakan tanda baligh bagi laki-laki dan perempuan.
Untuk laki-laki dengan ihtilam (mimpi) basah dan haidh bagi wanita :
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ عَنِ
النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ الْغُسْلُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ
عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ
Dari Abu Sa’id Alkhudzriyyi, dari nabi shollallohu alaihi
wasallam bersabda : Mandi pada hari jumat adalah wajib bagi setiap muhtalim
(Yang sudah mengalami mimpi basah) [HR Bukhori, Muslim, Ahmad, Abu Daud, Nasa’i,
Ibnu Majah, Malik dan Darimi]
عَنْ عَائِشَةَ عَنْ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه
وسلم قَالَ لَا يَقْبَلُ اَللَّهُ صَلَاةَ حَائِضٍ إِلَّا بِخِمَارٍ
Dari
'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda
: Allah tidak akan menerima sholat seorang perempuan yang telah haid (telah
baligh) kecuali dengan memakai kudung. [HR Imam Lima kecuali Nasa'i]
Ibnu
Bathol berkata :
جمع العلماء على أن الاحتلام فى الرجال والحيض فى
النساء هو البلوغ الذى تلزم به العبادات والحدود والاستئذان وغيره
Para
ulama sepakat bahwa mimpi basah berlaku bagi laki-laki, sedangkan haidh bagi
wanita sebagai tanda baligh yang membuat mereka terkena hukum-hukum ibadah,
pidana, isti-dzan (meminta izin) dan lainnya
Yang
menjadi problem adalah ketika seorang lelaki tidak mengalami mimpi basah,
dengan apa kita bisa menetapkannya sudah mencapai baligh ? Imam Hanafi menyebut
usia delapan belas tahun bagi laki-laki dan tujuh belas tahun bagi wanita.
Adapun Imam Syafi’i berpendapat bahwa laki-laki yang tidak mimpi basah dan
wanita yang tidak haidh, dinilai baligh bila sudah mencapai usia lima belas
tahun. Pendapat ini diambil dari perkataan Ibnu Umar :
عَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا
قَالَ عُرِضْتُ
عَلَى اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم يَوْمَ أُحُدٍ, وَأَنَا اِبْنُ أَرْبَعَ
عَشْرَةَ سَنَةً, فَلَمْ يُجِزْنِي, وَعُرِضْتُ عَلَيْهِ يَوْمَ اَلْخَنْدَقِ,
وَأَنَا اِبْنُ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً, فَأَجَازَنِي مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبَيْهَقِيِّ: فَلَمْ يُجِزْنِي, وَلَمْ يَرَنِي
بَلَغْتُ وَصَحَّحَهَا اِبْنُ خُزَيْمَةَ
Ibnu
Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku dihadapkan pada Nabi Shallallaahu 'alaihi
wa Sallam waktu perang Uhud ketika aku berumur 14 tahun, namun beliau belum
membolehkanku (untuk ikut berperang). Aku dihadapkan lagi pada waktu perang
khandaq ketika aku berumur 15 tahun dan beliau membolehkanku [Muttafaq Alaihi]
Dalam riwayat Baihaqi : Beliau belum membolehkanku dan belum menganggapku telah
dewasa
Selain
dasar usia, Ibnu Hajar Al Atsqolani menjadikan tumbuhnya rambut di kemaluan
sebagai dasar lain untuk menghukumi kebalighan seseorang. Hal ini berdasarkan
perkataan Athiyyah Alqordzi :
عَنْ عَطِيَّةَ اَلْقُرَظِيِّ رضي الله عنه قَالَ عُرِضْنَا
عَلَى اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم يَوْمَ قُرَيْظَةَ، فَكَانَ مَنْ أَنْبَتَ
قُتِلَ, وَمَنْ لَمْ يُنْبِتْ خُلِّيَ سَبِيلُهُ, فَكُنْتُ فِيمَنْ لَمْ يُنْبِتْ
فَخُلِّيَ سَبِيلِي
Athiyyah
al-Quradhy Radliyallaahu 'anhu berkata: Kami dihadapkan pada Nabi Shallallaahu
'alaihi wa Sallam waktu perang quraidhoh. Lalu orang yang telah tumbuh bulunya
dibunuh dan yang belum tumbuh bulunya dibebaskan, sedang aku termasuk orang
yang belum tumbuh bulunya, maka aku dibebaskan. [HR
Imam Empat]
Maroji’
:
Syarh
Ibnu Bathol 15/50
Tafsir
Alkhozin (maktabah syamilah) hal 357