Penggunaan istilah syar’i

Ibadah yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam adalah sholat maka penggunaan istilah sembahyang tidak diperlukan. Bisa dibayangkan ketika penyebutan sholat diganti dengan sembahyang, di saat kaum nasrani hari ahad pergi ke gereja lalu kita tanyakan kepada mereka “ mau kemana ? “ mereka menjawab : ke gereja. “ mau apa ? “ mereka akan mengatakan : mau sembahyang. Demikian juga dengan orang hindu yang pergi ke wihara akan menjawab dengan jawaban serupa.

Tidak makan dari adzan shubuh hingga adzan maghrib adalah shoum atau shiyam maka penggunaan istilah tidak diperlukan. Bisa dibayangkan bila penyebutan shoum diganti dengan puasa maka apa bedanya dengan puasa pati geni, puasa ngrowot, puasa manuk podang, puasa ngebleng dsb ?

Oleh karena itu aqidah ahli sunnah waljamaah memiliki prinsip :

يَجِبُ الإِلْتِزَامُ بِأَلفَاظِ الشَّرْعِيَّةِ فِى العَقِيْدَةِ وَتَجَنُّبُ الأَلْفَاظِ البِدْعِيَّةِ لأَنَّ دَلاَلاَتِ الأَلْفَاظِ وَاسِعَةٌ
wajib berkomitmen dalam menggunakan lafadz-lafadz syar’i dalam masalah aqidah dengan menjauhkan diri dari penggunaan istilah-istilah bid’ah karena dalalat dari sebuah lafadz sangat luas.