Bilakah orang tua tidak ditaati ?
Orang tua, terutama ibu adalah manusia yang tidak bisa dipisahkan dari keberadaan kita di muka bumi. Dari merekalah kita lahir, mengenal dunia dan dapat melakukan apa yang mereka lakukan untuk kita, melahirkan keturunan untuk melanjutkan generasi.
Sudah otomatis membalas budi baik mereka adalah satu keniscayaan. Mentaatinya, mengurusnya di kala usia senja dan mendoakannya bila mereka telah tiada.
Mentaati orang tua adalah satu kemestian, meskipun tidak mutlak karena ketaatan penuh hanya diberikan kepada Alloh dan rusulNya.
Mungkinkah ada satu ketaatan yang tidak bisa diberikan kepada orang tua ? Jawabannya mungkin, setidaknya ada 2 hal yang menyebabkan kita tidak memberikannya kepada orang tua :
1. Bila memerintah berbuat maksiat
وَإنْ جاَهَدَاكَ عَلَى أنْ تُشْرِكَ بِى ماَ لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُماَ وَصاَحِبْهُماَ فِى الدُّنْياَ مَعْرُوْفاً وَاتَّبِعْ سَبِيْلَ مَنْ أناَبَ إلَىَّ ثُمَّ إلَىَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِماَ كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. [luqman : 15]
Syaikh Abdurrohman Nashir Assa’di berkata : melakukan perbuatan syirik atas perintah orang tua tidak boleh dinilai sebagai bakti anak kepada orang tua, bagaimanapun ketaatan kepada Alloh harus didahulukan karena sebagaimana kaedah “ tidak ada ketaatan kepada makhluq kalau harus berbuat maksiat kepada Kholiq
Imam Bukhori memberi contoh lain perintah orang tua yang tidak perlu di taati, di antaranya bila orang tua menghalangi keinginan anaknya untuk menunaikan sholat berjamaah di masjid.
Pada bab wujuubu sholaatil jamaah, Imam Bukhori menyitir perkataan Hasan Albasri :
إنْ مَنَعَتْهُ أمُّهُ عَنِ الْعِشَاءِ فِى الْجَماَعَةِ شَفَقَةً لَمْ يُطِعْهاَ
Bila ibu melarang sholat isya’ berjamaah karena sayang kepada anaknya maka tidak boleh ditaati.
2. Memaksakan perjodohan
Sebagaimana tersebut dalam sebuah riwayat :
وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- ( أَنَّ جَارِيَةً بِكْرًا أَتَتِ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَذَكَرَتْ: أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِيَ كَارِهَةٌ , فَخَيَّرَهَا اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ) رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَأَبُو دَاوُدَ , وَابْنُ مَاجَهْ , وَأُعِلَّ بِالْإِرْسَالِ
Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa ada seorang gadis menemui Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam lalu bercerita bahwa ayahnya menikahkannya dengan orang yang tidak ia sukai. Maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memberi hak kepadanya untuk memilih. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah. Ada yang menilainya hadits mursal.
Dalam hal ini Syaikh Abdulloh Abdurroman Albassam berkata : wanita yang sudah memahami maslahat nikah tidak boleh dipaksa untuk menikah baik paksaan itu datangnya dari bapaknya atau walinya. Keputusan ada di tangannya meskipun ia masih berstatus gadis
Pendapat ini selaras dengan ibnu Taimiyyah, ibnu Qoyyim, Muhammad bin Ibrohim Alu Syaikh, Abdurrohman Nashir Assa’di dll.
Maroji’ :
Taudlihul ahkam : Syaikh Abdurrohman Abdulloh Albassam 3/532
Taisirul Karim Arrohman fii Tafsiiri Kalaamil Mannaan : Syaikh Abdurrohman Nashir Assa’di 2/1038