Hukum Mencampur Dan Menggabung (18)

Dua Dalil Yang Berbeda
Barangkali kita pernah mendapatkan dalil quran dan sunnah nampak bertentangan. Tak jarang antar hadits seolah saling berlawanan. Bagi orang kafir, hal ini bisa dijadikan sarana untuk menjatuhkan ajaran islam di hadapan kaum muslimin.
Sangat disayangkan ketika sebagian umat islam begitu mudahnya membuang dalil dari hadits dengan alasan bahwa hadits ini bertentangan dengan alquran. Padahal bila dirinya mau bersabar untuk mengkaji ulang dan menyempatkan diri bertanya kepada ulama niscaya kita akan mendapat kenyataan bahwa tidak mungkin kedua sumber hukum islam itu berlawanan. Keduanya serasi dan saling melengkapi.
Jalan keluar dari permasalahan ini adalah mengkompromikan dalil-dalil yang seolah saling berselisih dan menghasilkan kesimpulan bahwa keduanya ada titik temu. Metode semacam ini sering disebut dengan thoriqotul jam’i. Di antara contoh-contoh kompromi dalil melalui teori ini adalah :

1. Waktu sholat jumat

َوَعَنْ سَلَمَةَ بْنِ اَلْأَكْوَعِ رضي الله عنه قَالَ كُنَّا نُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم اَلْجُمُعَةَ, ثُمَّ نَنْصَرِفُ وَلَيْسَ لِلْحِيطَانِ ظِلٌّ نَسْتَظِلُّ بِهِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيّ ِ وَفِي لَفْظٍ لِمُسْلِمٍ كُنَّا نَجْمَعُ مَعَهُ إِذَا زَالَتِ اَلشَّمْسُ, ثُمَّ نَرْجِعُ, نَتَتَبَّعُ اَلْفَيْءَ

Salamah bin Al-Akwa' Radliyallaahu 'anhu berkata : Kami biasa sholat bersama Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam hari Jum'at, kemudian kami bubar pada saat tembok-tembok tidak ada bayangan untuk berteduh. Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari. Dalam lafadz menurut riwayat Muslim : Kami sholat Jum'at bersama beliau ketika matahari tergelincir kemudian kami pulang sambil mencari-cari tempat berteduh.

َوَعَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ مَا كُنَّا نَقِيلُ وَلَا نَتَغَدَّى إِلَّا بَعْدَ اَلْجُمُعَةِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ وَفِي رِوَايَةٍ فِي عَهْدِ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم

Sahal Ibnu Sa'ad Radliyallaahu 'anhu berkata : Kami tidak pernah tidur siang dan makan siang kecuali setelah (sholat) Jum'at. Muttafaq Alaihi dengan lafadz menurut riwayat Muslim. Dalam riwayat lain disebutkan : Pada jaman Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
Dua hadits di atas menerangkan tentang pelaksanaan sholat jumat. Yang pertama menerangkan bahwa pelaksanaannya setelah matahari tergelincir (menyesuaikan waktu dzuhur). Pada hadits selanjutnya menerangkan bahwa sholat jumat selesai semenatara waktu dzuhur belum tiba. Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam menjelaskan bahwa kedua dalil di atas sebenarnya tidak bertentangan. Terkadang rosululloh shollallohu alaihi wasallam melakukannya sebelum matahari tergelincir, di lain waktu beliau menunaikannya setelah matahari tergelincir mengikuti jadwal waktu sholat dzuhur. Tak lupa beliau berharap bahwa melaksanakan setelah tergelincir matahari adalah lebih afdhol karena itulah yang sering dilakukan oleh rosululloh shollallohu alaihi wasallam disamping waktu itu lebih memungkinkan untuk mengumpulkan manusia dan menjauhkan diri dari kemungkinan timbulnya perpecahan di kalangan umat islam.

2. Buang air menghadap ke arah kiblat

َوَعَنْ سَلْمَانَ رضي الله عنه قَالَ لَقَدْ نَهَانَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ نَسْتَقْبِلَ اَلْقِبْلَةَ بِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ عَظْمٍرَوَاهُ مُسْلِم

Salman Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam benar-benar telah melarang kami menghadap kiblat pada saat buang air besar atau kecil atau ber-istinja' (membersihkan kotoran) dengan tangan kanan atau beristinja' dengan batu kurang dari tiga biji atau beristinja' dengan kotoran hewan atau dengan tulang [HR Muslim]

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ إِنَّ نَاسًا يَقُولُونَ إِذَا قَعَدْتَ عَلَى حَاجَتِكَ فَلَا تَسْتَقْبِلْ الْقِبْلَةَ وَلَا بَيْتَ الْمَقْدِسِ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ لَقَدْ ارْتَقَيْتُ يَوْمًا عَلَى ظَهْرِ بَيْتٍ لَنَا فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى لَبِنَتَيْنِ مُسْتَقْبِلًا بَيْتَ الْمَقْدِسِ لِحَاجَتِهِ وَقَالَ لَعَلَّكَ مِنْ الَّذِينَ يُصَلُّونَ عَلَى أَوْرَاكِهِمْ فَقُلْتُ لَا أَدْرِي وَاللَّهِ

Dari 'Abdullah bin 'Umar bahwa ia berkata, Orang-orang berkata, Jika kamu menunaikan hajatmu maka janganlah menghadap kiblat atau menghadap ke arah Baitul Maqdis. 'Abdullah bin 'Umar lalu berkata, Pada suatu hari aku pernah naik atap rumah milik kami, lalu aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam buang hajat menghadap Baitul Maqdis di antara dua dinding [HR Bukhori Muslim]

Dua dalil di atas menerangkan status buang air menghadap kiblat dan membelakanginya. Hadits pertama terkesan melarang sementara pada hadits kedua justru rosululloh shollallohu alaihi wasallam melakukannya. Para ulama menyimpulkan bahwa pelarangan yang dimaksud adalah dilakukan di tempat terbuka. Adapun buang air di tempat tertutup seperti di wc maka hal itu diperbolehkan.

3. Menyentuh kemaluan setelah wudlu

عَنْ طَلْقِ بْنِ عَلِيٍّ رضي الله عنه قَالَقَالَ رَجُلٌ: مَسَسْتُ ذَكَرِي أَوْ قَالَ اَلرَّجُلُ يَمَسُّ ذَكَرَهُ فِي اَلصَّلَاةِ أَعَلَيْهِ وُضُوءٍ ؟ فَقَالَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم لَا إِنَّمَا هُوَ بَضْعَةٌ مِنْكَ أَخْرَجَهُ اَلْخَمْسَةُ

Thalq Ibnu Ali Radliyallaahu 'anhu berkata: Seorang laki-laki berkata : saya menyentuh kemaluanku atau ia berkata : seseorang laki-laki menyentuh kemaluannya pada waktu shalat apakah ia wajib berwudlu ? Nabi menjawab : Tidak karena ia hanya sepotong daging dari tubuhmu [HR Imam Lima]

ِعَنْ بُسْرَةَ بِنْتِ صَفْوَانَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ

Dari Busrah binti Shofwan Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Barangsiapa menyentuh kemaluannya maka hendaklah ia berwudlu Dikeluarkan oleh [HR Imam Lima]

Dua dalil di atas terkesan saling berselisih. Pada hadits pertama menerangkan bahwa menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudlu sementara pada hadits kedua justru rosululloh shollallohu alaihi wasallam memerintahkan untuk mengulangi wudlunya.
Para ulama menerangkan bahwa sekedar menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudlu kecuali bila dilakukan tanpa penghalang seperti kain atau atas dasar syahwat.

Maroji’ :
Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Atsqolani 1/310
Subulussalam, Imam Shon’ani 1/78
Taudlihul ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam 2/167-168
Shohih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal Sayyid Salim 1/134-135