Antara Semut Dan Manusia


Semut makhluq tak berakal, sementara manusia diberi kelebihan oleh Alloh dengan akalnya. Tapi manakala manusia tidak bertauhid maka ia akan mendapat kedudukan asfala safilin (derajat yang paling rendah) jauh di bawah si semut. Kenapa bisa begitu ? Rosululloh shollallohu alaihi wasallam bersabda :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ خَرَجَ سُلَيْمَانُ عَلَيْهِ اَلسَّلَامُ يَسْتَسْقِي, فَرَأَى نَمْلَةً مُسْتَلْقِيَةً عَلَى ظَهْرِهَا رَافِعَةً قَوَائِمَهَا إِلَى اَلسَّمَاءِ تَقُولُ اَللَّهُمَّ إِنَّا خَلْقٌ مِنْ خَلْقِكَ, لَيْسَ بِنَا غِنًى عَنْ سُقْيَاكَ, فَقَالَ ارْجِعُوا لَقَدْ سُقِيتُمْ بِدَعْوَةِ غَيْرِكُمْ

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Nabi Sulaiman pernah keluar untuk memohon hujan, lalu beliau melihat seekor semut terlentang di atas punggungnya dengan kaki-kakinya terangkat ke langit seraya berkata : Ya Allah kami adalah salah satu makhluk-Mu yang bukan tidak membutuhkan siraman airmu. Maka Nabi Sulaiman berkata: Pulanglah, kamu benar-benar akan diturunkan hujan karena doa makhluk selain kamu [HR Ahmad]

Hadits ini mengajari kita bahwa ternyata makhluq kecil ini mengenal Alloh dengan baik. Di saat musim kemarau datang dan kekeringan di mana-mana, semut sadar bahwa tidak ada tempat untuk mengadu selain Alloh. Keistimewaan lainnya bahwa ternyata Sulaiman mencukupkan turunnya hujan dengan munajat semut sehingga mengajak kaumnya pulang.

Bandingkan dengan manusia. Betapa banyak yang lari ke dukun dengan harapan hujan segera turun. Sementara orang yang wawasannya maju sibuk mempersiapkan hujan buatan. Yang pertama adalah perbuatan syirik dan yang kedua adalah sifat takabbur.

Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam menyimpulkan dari gaya berdoa semut yang mengarahkan kaki-kakinya ke langit : ini menunjukkan dianjurkannya berdoa dengan mengangkat tangan. Beliau juga menyebut bahwa ini dalil yang menunjukkan bahwa sifat Uluw yang ada pada diri Alloh (tingginya Alloh atas seluruh makhluqNya)

Maroji’ :

Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam 2/274-275