Antara Analisa Fiqh Dan Sikap Waro’

Terkadang pertimbangan fiqih tidak selalu kita ikuti. Seorang  naik mimbar dengan mengenakan kaus dan tak berpeci lalu menyampaikan khutbahnya tentu syah bila rukun khutbah dipenuhi. Akan tetapi norma masyarakat akan mengatakan tidak pantas seorang penceramah dengan memakai atribut seperti itu. Memakai baju koko, bersongkok hitam dan tak lupa dengan sarungnya tentu akan lebih layak dan lebih nyaman untuk dilihat disamping kewibawaan khotib akan terjaga di hadapan jamaah.
Dalam kasus di atas berarti norma kepantasanlah yang dipakai. Dalam sebuah hadits dikisahkan :
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ الْحَارِثِ أَنَّهُ تَزَوَّجَ ابْنَةً لِأَبِي إِهَابِ بْنِ عَزِيزٍ فَأَتَتْهُ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ إِنِّي قَدْ أَرْضَعْتُ عُقْبَةَ وَالَّتِي تَزَوَّجَ فَقَالَ لَهَا عُقْبَةُ مَا أَعْلَمُ أَنَّكِ أَرْضَعْتِنِي وَلَا أَخْبَرْتِنِي فَرَكِبَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ فَسَأَلَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ وَقَدْ قِيلَ فَفَارَقَهَا عُقْبَةُ وَنَكَحَتْ زَوْجًا غَيْرَهُ
Dari 'Uqbah bin Al Harits; bahwasanya dia menikahi seorang perempuan putri Ibnu Ihab bin 'Aziz. Lalu datanglah seorang perempuan dan berkata : Aku pernah menyusui 'Uqbah dan wanita yang dinikahinya itu. Maka 'Uqbah berkata kepada perempuan itu : Aku tidak tahu kalau kamu pernah menyusuiku dan kamu tidak memberitahu aku. Maka 'Uqbah mengendarai kendaraannya menemui Rasul shallallahu 'alaihi wasallam di Madinah dan menyampaikan masalahnya. Maka Rasul shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : harus bagaimana lagi, sedangkan dia sudah mengatakannya. Maka 'Uqbah menceraikannya dan menikah dengan wanita yang lain [HR Bukhori, Abu Daud, Tirmidzi dan Nasa’i]
Bisa saja Uqbah menuntut kepada si wanita tua ini dengan banyak tuntutan : Saksi yang bisa memperkuat pernyataannya, kepastian usia menyusui (apakah kurang dari dua tahun atau lebih dari itu), jumlah isapan (lima kali atau kurang). Selanjutnya bisa saja Uqbah meneliti apakah wanita ini sudah pikun atau membenci dirinya sehingga mendorongnya untuk membuat pernyataan yang bertujuan membuyarkan kebahagiaannya dengan mengtatakan bahwa dirinya dan istrinya adalah saudara sepersusuan.
Kesemuanya dienyahkan dan dia lebih memilih sikap waro’ (kehati-hatian). Syaikh Mushthofa Albugho berkata mengomentari haditsn di atas : sesungguhnya Uqbah menceraikan istrinya atas dasar kehati-hatian bukan atas dasar hukum fiqih untuk memastikan kepastian persusuannya dan batalnya status pernikahannya. Karena ucapan satu orang wanita tidak bisa dijadikan sandaran untuk menetapkaan hukum.
Maroji’ :
Nuzhatul Muttaqin, Syaikh Mushthofa Bugho 1/433