Mengumpat Kendaraan

(Islam Mengatur Urusan Dunia)
Seseorang mengendarai motor. Tiba-tiba bannya bocor. Penambal ban di pinggir jalan sudah siap melayaninya. Cukup lima belas menit, ban bocor sudah selesai ditambal. Iapun kembali melaju. Sayang, lima menit kemudian, ban kembali bocor. Untuk kedua kalinya ia berurusan dengan tukang tambal ban.
Ini membuat konsentrasinya buyar. Di persimpangan jalan, ia tidak melihat lampu menunjukkan warna merah. Motor terus melaju. Karena perbuatannya, ia kena tilang yang menyebabkan beberapa lembar uang puluhan ribu melayang ke tangan polisi.
Konsentrasinya semakin buyar, tak disangka motornya menabrak tiang listrik. Meski tidak menimbulkan luka serius, tapi ia harus terjatuh dari motor. Dengan penuh emosi, ia tendang motor sambil mengeluarkan sumpah serapah “ Dasar motor sialan ! Motor pembawa petaka ! Aku benci kepadamu !!! …… dan kata-kata kasar lainnya, keluar tanpa henti.
Barangkali kita sering mendapatkan perlakuan kasar dari si pemudi kepada kendaraannya di jalan. Islam melarang perbuatan ini :
عن عمران بن الحصين رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قال بينما رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم في بعض أسفاره وامرأة من الأنصار على ناقة فضجرت فلعنتها فسمع ذلك رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم فقال خذوا ما عليها ودعوها فإنها ملعونة  قال عمران فكأني أراها الآن تمشي في الناس ما يعرض لها أحد    
Dari Imron bin Hushain rodliyallohu anhu, berkata : Di saat rosululloh shollallohu alaihi wasallam berada dalam suatu perjalanannya, seorang wanita yang berada di atas onta menggertak dan melaknat kendaraannya agar cepat lajunya. Rosululloh shollallohu alaihi wasallam mendengarnya, maka beliau bersabda : Ambillah apa yang ada di atas onta dan tinggalkan dia. Imron berkata : Seolah aku melihat wanita itu berjalan di antara manusia tanpa ada yang menegurnya  [HR Muslim]
Pada riwayat lain disebutkan :
لا تصاحبنا ناقة عليها لعنة
Jangan mengendarai kendaraan yang telah dilaknat  [HR Muslim]
Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin menerangkan bahwa tindakan keras rosululloh shollallohu alaihi wasallam kepada wanita tersebut adalah sebagai ta’zir (hukuman yang bersifat mendidik), dimana ia telah melkanat kendaraannya. Sesuatu yang telah diumpat tidak berhak untuk dimanfaatkan, oleh karena itu wanita ini tidak berhak lagi atas kendaraannya.
Maroji’ :
Syarh Riyadlush Sholihin, Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin 2/1642