(kontrofersi 20)
عَنْ أَبِي عُمَيْرِ بْنِ أَنَس عَنْ عُمُومَةٍ لَهُ مِنَ اَلصَّحَابَةِ أَنَّ رَكْبًا جَاءُوا فَشَهِدُوا أَنَّهُمْ رَأَوُا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ فَأَمَرَهُمْ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَنْ يُفْطِرُوا وَإِذَا أَصْبَحُوا يَغْدُوا إِلَى مُصَلَّاهُمْ
Dari Abu Umairah Ibnu Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu dari paman-pamannya di kalangan shahabat bahwa suatu kafilah telah datang, lalu mereka bersaksi bahwa kemarin mereka telah melihat hilal (bulan sabit tanggal satu), maka Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan mereka agar berbuka dan esoknya menuju tempat sholat mereka [HR Ahmad dan Abu Dawud]
Hadits di atas menerangkan akan keterlambatan informasinya datangnya awal syawal. Hal itu baru diketahui oleh rosululloh shollallohu alaihi wasallam keesokan harinya setelah matahari zawal melalui rombongan musafir yang baru tiba di kota Madinah. Karena tidak memungkin sholat idul fitri ditunaikan di siang hari maka beliau mengundurkan keesokan harinya, sementara shoum dibatalkan hari itu.
Syaikh Abu Malik berpendapat bahwa ketidaktahuan akan datangnya waktu id kecuali setelah matahari zawal adalah bagian dari udzur sehingga sholat id bisa ditunaikan pada hari kedua.
Imam Shon’ani berkata : Hadits di atas merupakan dalil bahwa sholat id bisa ditunaikan pada hari kedua karena berita datangnya awal syawal diketahui setelah keluarnya waktu sholat.
Sholat id bisa juga ditunaikan tanggal dua syawal bila terjadi perbedaan pendapat tentang awal syawal yang sering terjadi di Indonesia. Bila kita meyakini bahwa sholat id jatuh hari senin, sementara tidak ada yang melaksanakan pada hari senin di daerah tempat tinggal kita maka sholat bisa kita tunaikan pada hari selasa. Atau demi kebersamaan dan menjaga persatuan, bisa saja kita melaksanakan pada hari selasa.
Maroji’ :
Shohih Fiqh Sunnah. Syaikh Abu Malik Kamal Sayyid 1/600
Subulussalam, Imam Shon’ani 2/64