Beberapa Kaedah Tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar




(Kaedah Amar Ma'ruf Nahi Munkar)
 
1.      Menegakkan amar ama’ruf nahi munkar menggunakan tahapan

Alloh berfirman :

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang berdakwah untuk menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung  [ali imron : 104]

Ayat di atas memberikan faedah : Bahwa dakwah adalah tahapan pertama yang harus dilakukan sebelum amar ma’ruf nahi munkar ditegakkan. Sebelum penindakan atas pelanggaran syariat maka masyarakat harus dikenalkan terlebih dahulu kepada islam. Mereka harus mengenal dengan baik mana perintah dan larangan, haq dan batil, dosa dan pahala haram dan halal dan lain sebagainya. Tidak mungkin kemungkaran dibabat, sementara umat belum mengenal dengan baik ajaran islam.

2.      Tidak disayaratkan penegakan amar ma’ruf nahi munkar memiliki kesempurnaan

Tidak ada manusia yang ma’shum selain rosululloh shollallohu alaihi wasallam. Iman manusia selain beliau adalah naik dan turun. Terkadang semangat untuk melaksanakan ketaatan begitu membara. Namun pada waktu lain, tiba-tiba gairah itu hilang bahkan tanpa disadari kita terjebak ke dalam perbuatan dosa. Itu semua tidak boleh menghalangi kita untuk beramar ma’ruf nahi munkar. Imam Nawawi berkata :

لا يشترط الامر بالمعروف والنّاهي عن المنكر أن يكون كامل الحال ممتثلا بما يأمر به مجتنبا ما ينهى عنه بل عليه الأمر وإن كان مخلا بما بأمر به والنهي وإن كان متلبسا بما ينهى عنه

Tidak disyaratkan bagi penyeru kebaikan dan pencegah kemungkaran memiliki kesempurnaan iman, melaksanakan apa saja yang ia seru dan senantiasa menjauhi apa yang ia cegah, akan tetapi ia harus terus menyeru meski perintah Alloh terluput darinya dan harus terus mencegah kemungkaran meski bercampur antara dirinya dengan dosa.

Syaikh Abu Bakar Jabir Aljazairi menambahkan :

لا يمنع العالم من أن يأمر بالمعروف وإن كان لا يأتيه ومن أن ينهى عن منكر وإن كان يأتيه وهو حق إذ لا يسلم من الذّنب إلاّ المعصوم

Seorang alim tidak boleh terhalangi untuk menyeru kepada kebaikan meski ia belum melakukannya dan tetap mencegah kemunkaran, meski ia melakukannya. Itulah yang benar dimana tidak ada yang selamat dari dosa kecuali alma’shum (rosululloh shollallohu alaihi wasallam)

3.      Tidak ada amar ma’ruf nahi munkar dalam masalah yang diikhtilafkan

Seperti qunut shubuh. Perbedaan dalam masalah ini, wallohu a’lam boleh jadi tidak akan selesai hingga hari kiamat. Masing-masing dari kedua pendapat sama-sama memiliki argumentasi yang didasari oleh disiplin ilmu. Sementara nabi shollallohu alaihi wasallam menetapkan bahwa seorang ulama ketika berijitihad, lalu benar maka akan mendapat dua pahala. Sedang bila keliru akan memperoleh satu pahala.

Oleh karena itu, tidak perlu melarang sebuah masjid yang menyelenggarakan sholat shubuh berqunut untuk menghilangkan qunutnya. Demikian juga sebaliknya. Kaedah ini juga berlaku bagi basmalah yang dijahrkan dan disirkan, i’tidal dengan tangan bersedekap atau lurus, turun untuk sujud dengan mendahulukan lutut atau tangan, menggerak-gerakkan telunjuk atau mendiamkannya saat duduk attahiyat dan lain sebagainya. Tentang kaedah ini, Imam Nawawi berkata :

أمّا الْمختلف فيه فلا إنكار فيه لأنّ على أحد المذهبين كلّ مجتهد مصيب

Adapun dalam masalah yang masih diperselisihkan maka tidak ada pengingkaran padanya, karena pada masing-masing dari dua madzhab yang berbeda, tetap mendapat pahala.

4.      Tidak ada amar ma’ruf nahi munkar saat imam menyampaikan khutbah

Tugas jamaah adalah diam dan mendengar khutbah. Bila ada yang berbicara, tidak ada hak bagi yang bersangkutan untuk menegurnya. Ini berarti saat khutbah sudah dimulai, maka tidak berlaku amar ma’ruf dan nahi munkar bagi jamaah. Hanya khotiblah yang memiliki hak itu. Dua hadits di bawah ini sudah cukup dijadikan dasar :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَنْ تَكَلَّمَ يَوْمَ اَلْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَهُوَ كَمَثَلِ اَلْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا, وَاَلَّذِي يَقُولُ لَهُ: أَنْصِتْ, لَيْسَتْ لَهُ جُمُعَةٌ رَوَاهُ أَحْمَدُ, بِإِسْنَادٍ لَا بَأْسَ بِهِ وَهُوَ يُفَسِّرُ حَدِيْثَ أَبَى هُرَيْرَةَ فِى الصَّحِحَيْنِ مَرْفُوْعًا

Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa berbicara pada sholat Jum'at ketika imam sedang berkhutbah, maka ia seperti keledai yang memikul kitab-kitab. Dan orang yang berkata: Diamlah, tidak ada Jum'at baginya." Diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad tidak apa-apa, sebab ia menafsirkan hadits Abu Hurairah yang marfu' dalam shahih Bukhari-Muslim. 

َ إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ: أَنْصِتْ يَوْمَ اَلْجُمُعَةِ وَالْإِمَامِ يَخْطُبُ, فَقَدْ لَغَوْتَ 

Jika engkau berkata pada temanmu "diamlah" pada sholat Jum'at sedang imam sedang berkhutbah, maka engkau telah sia-sia.

Maroji’ :
Syarh Shohih Muslim, Imam Nawawi 2/28
Aisarut Tafasir, Syaikh Abu Bakar Aljazairi hal 33