Ibarat Tanah Di Atas Batu Licin


Batu (21)

Shodaqoh sangat dianjurkan dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi. Ini ditujukan agar menjaga keikhlasan bagi pemberi dan juga menjaga perasaan si penerima. Mengumumkan dan menyebut-nyebut pemberian, boleh jadi menyakitkan hati si faqir. Karenanya Alloh melarang bahkan memberi ancaman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ   

Hai orang-orang beriman, janganlah kalian sia-siakan pahala shodaqoh kalian dengan cara almann (menyebut-nyebut) dan menyakiti (perasaan si penerima). Seperti orang yang menginfaqkan hartanya karena riya kepada manusia dan tidak beriman kepada Alloh dan hari akhir. Perumpamaan orang seperti itu bagai batu licin yang di atasnya ada tanah lalu batu itu ditimpa hujan lebat. Setelah itu bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan. Alloh tidak memberi hidayah bagi orang-orang kafir [albaqoroh : 264]

Syaikh Abdurrohman Nashir Assa’di memberi komentar bagi ayat di atas :

فكذلك حال هذا المرائي، قلبه غليظ قاس بمنزلة الصفوان، وصدقته ونحوها من أعماله بمنزلة التراب الذي على الصفوان، إذا رآه الجاهل بحاله ظن أنه أرض زكية قابلة للنبات، فإذا انكشفت حقيقة حاله زال ذلك التراب وتبين أن عمله بمنزلة السراب، وأن قلبه غير صالح لنبات الزرع وزكائه عليه

Demikianlah kondisi orang yang riya. Hatinya keras seperti batu. Shodaqoh dan yang semisalnya ibarat tanah yang berada di atas batu. Orang jahil tentang kondisi ini mengira ia adalah tanah subur yang siap ditanami. Bila tersingkap hakekat sebenarnya, akan hilanglah tanah itu dan jelaslah bahwa amal yang telah dilakukan bagaikan fatamorgana. Hatinya tidak sholih (cocok) untuk ditanami dan disucikan atasnya

Maroji’ :

Taisir Kalim Arrohman Fitafsir Kalamil Mannan, Syaikh Abdurrohan Nashir Assa’di (maktabah syamilah) hal 44