Tayammum (3)
Dua kali Aisyah tersandung masalah dengan kalungnya. Kasus
pertama adalah pada perang Bani Mushtholiq. Di sela-sela istirahat dalam
perjalanan pulang ke Madinah, Aisyah kehilangan kalungnya. Waktu istirahat
tersita untuk mencari kalung itu. Tidak hanya Aisyah, akan tetapi rosululloh
shollallohu alaihi wasallam dan para sahabat ikut mencarinya. Akhirnya mereka
tertahan di tempat itu, padahal mereka berada di daerah kering tak berair.
Waktu sholatpun tiba. Dalam kondisi bingung karena mereka tidak bisa berwudlu,
Alloh turunkan ayat yang memerintahkan tayammum.
Kasus kedua mirip dengan yang pertama. Rombongan kaum
muslimin istirahat di sela-sela perjalanan menuju Madinah. Kesempatan itu
dimanfaatkan oleh Aisyah untuk buang air. Ia segera pergi menjauh dari
orang-orang. Setelah selesai ia kembali ke tempat semula. Aisyah berkata :
فَلَمَسْتُ صَدْرِى ، فَإِذَا عِقْدٌ لِى مِنْ
جَزْعِ ظَفَارِ قَدِ انْقَطَعَ ، فَرَجَعْتُ فَالْتَمَسْتُ عِقْدِى ، فَحَبَسَنِى
ابْتِغَاؤُهُ
Aku meraba dadaku, ternyata kalungku yang terbuat dari merjan
Dzofar putus. Aku kembali ke tempat tadi untuk mencari kalungku. Aku tertahan
dalam pencarianku.
Perlu diketahui bahwa pada perjalanan ini, Aisyah tidak
mengendarai onta. Ia berada di dalam sekedup yang dipikul oleh beberapa sahabat.
Karena tubuh Aisyah sangat ringan para pemikul mengira kalau Aisyah sudah masuk
ke dalam sekedupnya. Pasukanpun berangkat untuk melanjutkan perjalanannya.
Di sinilah masalah timbul. Kalung akhirnya ditemukan. Saat
tiba di tempat semula, Aisyah sudah tidak mendapati rombongan. Aisyah berkata :
فَبَيْنَا أَنَا جَالِسَةٌ فِى مَنْزِلِى
غَلَبَتْنِى عَيْنِى فَنِمْتُ ، وَكَانَ صَفْوَانُ بْنُ الْمُعَطَّلِ السُّلَمِىُّ
ثُمَّ الذَّكْوَانِىُّ مِنْ وَرَاءِ الْجَيْشِ ، فَأَصْبَحَ عِنْدَ مَنْزِلِى
فَرَأَى سَوَادَ إِنْسَانٍ نَائِمٍ ، فَعَرَفَنِى حِينَ رَآنِى ، وَكَانَ رَآنِى
قَبْلَ الْحِجَابِ ، فَاسْتَيْقَظْتُ بِاسْتِرْجَاعِهِ حِينَ عَرَفَنِى ،
فَخَمَّرْتُ وَجْهِى بِجِلْبَابِى ، وَاللَّهِ مَا تَكَلَّمْنَا بِكَلِمَةٍ وَلاَ
سَمِعْتُ مِنْهُ كَلِمَةً غَيْرَ اسْتِرْجَاعِهِ
Ketika aku duduk di tempatku, aku tertidur. Shofwan Bin
Muath-thol Assulami Adz Dzakwani ada di belakang pasukan. Ia sudah berada di
tempatku. Ia melihat warna hitam dari seorang yang sedang tidur. Ia mengenaliku
karena ia pernah melihatku sebelum turunnya ayat hijab. Aku terbangun karena
ucapan istirja’ (innaalillaaahi wa innaa ilaihi roji’un) saat melihatku. Aku
segera menutupi wajahku dengan kerudungku. Demi Alloh, kami tidak berbicara
dengan satu patah katapun, aku juga tidak mendengar darinya satupun perkataan
selain bacaan istirja.
Setelah itu, Shofwan segera mendudukkan onta sehingga Aisyah
bisa menaikinya lalu ia berdiri di depannya. Setelah itu keduanya melanjutkan
perjalanan ke Madinah tanpa ada satu patah kata yang terucap dari keduanya.
Ketika memasuki kota Madinah, Abdulloh Bin Ubay yang pertama
kali melihat keduanya. Iapun segera memanfaatkannya untuk menggoncang keluarga
rosululloh shollallohu alaihi wasallam. Dengan gaya pengemasan yang apik
dihembuskanlah isu bahwa Aisyah telah melakukan perbuatan fahisyah dengan
Shofwan.
Penduduk Madinah benar-benar tergoncang hingga membuat 3
sahabat ikut termakan isu. Mereka adalah Hamnah Binti Jahzyi, Hasan Bin Tsabit
dan Tsumamah. Karena peristiwa ini nabi tidak bertegur sapa dengan Aisyah
selama lebih dari satu bulan yang membuat Aisyah tinggal di rumah orang tuanya.
Akhirnya Alloh menurunkan surat annur yang membersihkan
Aisyah dan Shofwan Bin Muath-thol dari tuduhan. Dan untuk tiga orang sahabat
dikenakan hukuman dera sebanyak delapan puluh kali.
Demikianlah, semua bermula dari kalung Aisyah