Mentertawakan Orang Kentut



Tertawa Dalam Timbangan Aqidah Dan Fiqih (4)

Ketika guru sedang serius menerangkan pelajaran di hadapan muridnya, tiba-tiba seorang siswa mengeluarkan suara kentut. Tak ayal suasana ruangan yang tenang berubah menjadi gaduh oleh suara tertawa dari anak-anak seisi kelas.

Mungkin sikap ini dinilai wajar oleh kebanyakan orang, akan tetapi dalam pandangan islam ini adalah perbuatan yang dilarang. Peristiwa ini pernah terjadi saat rosululloh shollallohu alaihi wasallam menyampaikan khutbah di hadapan para sahabat sebagaimana riwayat yang disampaikan oleh Abdulloh Bin Zam’ah :

عن عبد الله بن زَمْعَةَ رضي الله عنه: أنَّهُ سَمِعَ النَّبيّ صلى الله عليه وسلم  ...ثُمَّ وَعَظَهُمْ في ضَحِكِهمْ مِنَ الضَّرْطَةِ ، وَقالَ : لِمَ يَضْحَكُ أَحَدُكُمْ مِمَّا يَفْعَلُ ؟! مُتَّفَقٌ عَلَيهِ .

Dari Abdulloh Bin Zam’ah rodliyallohu anhu : Bahwa dia mendengar nabi shollallohu alaihi wasallam berkhutbah : .... kemudian beliau menasehati mereka tentang sikap mereka yang mentertawakan kentut “ Kenapa seorang diantara kalian mentertawakan sesuatu yang kalian juga mengalaminya ? “ [muttafaq alaih]

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَمْعَةَ قَالَ نَهَى النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم أَنْ يَضْحَكَ الرَّجُلُ مِمَّا يَخْرُجُ مِنَ الأَنْفُسِ

Dari Abdulloh Bin Zam’ah berkata : Nabi shollallohu alaihi wasallam melarang seorang tertawa kepada apa yang keluar dari jiwa (kentut) [HR Bukhori]

Bila mentertawakan kentut dilarang, lalu sikap apa yang harus kita lakukan saat itu ? Imam Nawawi berkata :

وَفِيهِ : النَّهْي عَنْ الضَّحِك مِنْ الضَّرْطَة يَسْمَعهَا مِنْ غَيْره ، بَلْ يَنْبَغِي أَنْ يَتَغَافَل عَنْهَا وَيَسْتَمِرّ عَلَى حَدِيثه وَاشْتِغَاله بِمَا كَانَ فِيهِ مِنْ غَيْر اِلْتِفَات وَلَا غَيْره ، وَيُظْهِر أَنَّهُ لَمْ يَسْمَع  

Hadits di atas berisi larangan mentertawan kentut yang didengar dari orang lain. Seharusnya sikap yang diambil adalah tidak menghiraukannya dan melanjutkan pembicaraan dan fokus kepada apa yang dilakukan saat itu tanpa menoleh atau melakukan sikap selainnya dan tampakkan seolah dia tidak mendengarnya

Maroji’ :

Syarh Shohih Muslim 6/414