Mut’ah dalam pandangan syiah
Mut’ah adalah pernikahan yang bersifat sementara, bisa seminggu atau lebih atau kurang dari itu sesuai dengan kesepakatan. Mut’ah tidak dibutuhkan saksi, pemberitahuan kepada masyarakat dan tidak berlaku hukum waris bagi keduanya.
Mut’ah membuka peluang zina tanpa merasa berdosa dari si pelaku bahkan merasa dirinya sebagai orang yang sedang mendekatkan dirinya kepada Alloh karena ia menganggap bahwa mut’ah adalah bagian dari agama.
Sungguh naïf melakukan perbuatan dosa tanpa merasa berdosa. Dalam nikah semacam ini maka kaum wanitalah yang menjadi korban.
Mereka lakukan mut’ah berdasarkan perkataan yang dinisbatkan kepada rosululloh shollallohu alaihi wasallam, wal iyaadzu billah ! sungguh mereka akan mempertanggungjawabkan kedustaan mereka.Di antara riwayat dusta yang mereka bawa diantaranya adalah :
Barangsiapa melakukan mut’ah kepada seorang wanita mukminah maka seolah-olah dia berkunjung ke ka’bah 70 kali
Sesungguhnya mut’ah adalah agamaku dan agama bapakku. Barangsiapa mengerjakannya maka ia telah mengamalkan agamanya, barangsiapa mengingkarinya maka berarti ia telah mengingkari agama kami dan berakidah dengan selain agama kami.
Jika dengan mut’ah ia berharap ridlo Alloh, tidak ada satu katapun yang dia katakana kecuali pasti Alloh akan menuliskan baginya kebaikan. Jika ia mendekatinya maka Alloh akan mengampuni dosanya berkat mut’ah yang dia lakukan, jika ia mandi maka Alloh akan mengampuni dosanya sebanyak air yang membasahi rambutnya
Barangsiapa melakukan mut’ah maka ia akan aman dari murka Alloh, barangsiapa melakukan mut’ah dua kali maka ia akan dikumpulkan bersama orang-orang sholih dan barangsiapa melakukan mut’ah tiga kali ia akan berdampingan denganku di surga
Barangsiapa melakukan mut’ah satu kali maka derajatnya seperti Husain alaihissalam, barangsiapa melakukannya dua kali maka dia seperti derajat Hasan alaihissalam, barangsiapa melakukannya tiga kali maka derajatnya seperti Ali alaihissalam dan barangsapa melakukannya empat kali maka derajatnya seperti derajatku
Maroji’ : mengapa saya keluar dari syiah, Sayyid Husain Almusawi hal 44-45