Pergi haji sebagai penganut syiah, kembali sebagai penganut ahlussunnah

Pergi haji sebagai penganut syiah, kembali sebagai penganut ahlussunnah

Dia tinggal di daerah Jad Hafsh sebelum akhirnya pindah ke Manama, ibukota Bahrain. Dia berprifesi sebagai penjual sayuran. Dia berteman baik dengan tiga orang penganut ahlussunnah.

Suatu saat dia dengan rekan-rekannya yang ahlussunnah itu terlibat pembicaraan mengenai wacana caci maki syiah dan fitnah kepada Ummul mu’minin Aisyah rodliyallohu anha, istri rosululloh shollallohu alaihi wasallam. Dia tidak mengingkari hal tersebut, seraya berkata : secara jujur, kami sebagai syiah mengutuk, membenci, mencela dan melaknat Aisyah karena ia seorang nashibiyyah (pembangkang, karena pernah mengumpulkan uang 40 dinar hasil dari zina) Kami meyakini bahwa dia termasuk penghuni neraka.

Salah seorang rekannya berkata kepadanya : apakah kamu tidak pernah mendengar firman Alloh Azza Wajalla :

النَّبِيُّ أوْلَى بِالْمُؤْمِنِيْنَ مِنْ أنْفُسِهِمْ وَأزْوَاجُهُ أمَّهَاتُهُمْ
Nabi itu lebih utama bagi orang beriman daripada diri mereka sendiri dan istri-istri nabi adalah ibu-ibu mereka [al ahzab : 6]
Rekannya itu menafsirkan dan menjelaskan ayat tersebut kepadanya. Mendengar ayat dan maknanya tersebut, orang itu keheranan. Dia bertanya : ayat tersebut ada dalam alquran ? Sesungguhnya baru pertama kali aku mendengarnya. Maka rekannya membolak balikkan untuknya lembaran alquran hingga akhirnya mereka menghentikannya pada ayat yang mereka gunakan sebagai dalil tadi.

Orang itu berkata : kini aku mengetahui bahwa Aisyah rodliyallohu anha adalah ibuku dan ibu setiap orang beriman bersama istri nabi yang lain. Dia melanjutkan : aku tidak bisa mendustai perkataan Alloh dan mempercayai perkataan manusia.
Dan dikatakan kepadanya : sesungguhnya Alloh berfirman tentang istri-istri nabi shollallohu alaihi wasallam yang berbunyi :

يأيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأَزْوَاجِكَ إنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِيْنَتَهَا فَتَعَالَيْنَ أمَتِّعْكُنَّ وَأسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيْلاً
وَإنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الله وَرَسُوْلَهُ وَالدَّارَ الأخِرَةَ فَإِنَّ الله أعَدَّ لِلْمُحْسِنَاتِ أجْرًا عَظِيْمًا
28. Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu: "Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, Maka Marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.
29. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keredhaan) Allah dan Rasulnya-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, Maka Sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar. [al ahzab : 28-29]

Baik kalangan sunni maupun syiah sepakat bahwa nabi shollallohu alaihi wasallam wafat dan beliau tidak menceraikan kesembilan istrinya. Kedua ayat di atas merupakan perintah Alloh Azzajalla kepada nabi untuk menceraikan istri-istri beliau jika para istri tersebut lebih memilih perhiasan dunia dan kenyataannya mereka memilih Alloh dan rosulNya dan negeri akhirat.

Apakah orang kafir dan munafiq memilih kehidupan akhirat daripada perhiasan dunia ? Maka bagi orang yang berakal, jawabannya bisa ditebak.
Apabila Aisyah rodliyallohu anha menyembunyikan kemunafikan di dalam dirinya “ na’udzu billah “ bukankah Alloh mengetahui apa yang ada di dalam dirinya dan diri setiap orang ? Lalu mengapa Dia tidak memberitahu rosululloh hal tersebut ? Sampai nabi shollallohu alaihi wasallam wafat, Aisyah tetaplah istri beliau dan dia berbicara dengan beliau dari sudut pandang bahwa dia adalah ummul mukminin.
Syiah meyakini bahwa nabi shollallohu alaihi wasallam ma’shum (suci dan terjaga) dari dosa baik kecil maupun besar dan dari kesalahan dan sifat lupa. Apakah kalangan syiah menggolongkan pernikahannya dengan ummul mukminin Aisyah sebagai sebuah kesalahan dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan beliau ?

Mendengar hal ini orang tersebut mempertanyakan dirinya sendiri : mengapa aku menghina ummul mukminin Aisyah rodliyallohu anha sedangkan dia adalah ibuku dan ibu setiap mukmin ?
Kemudian dia pergi menemui beberapa ulama syiah dan menanyai mereka tentang firman Alloh Azza Wajalla :

النَّبِيُّ أوْلَى بِالْمُؤْمِنِيْنَ مِنْ أنْفُسِهِمْ وَأزْوَاجُهُ أمَّهَاتُهُمْ
Nabi itu lebih utama bagi orang beriman daripada diri mereka sendiri dan istri-istri nabi adalah ibu-ibu mereka [al ahzab : 6]

Sebagian ulama tersebut menghindar tak bisa memberikan jawaban. Sebagian yang lain mau mengakui bahwa istri-istri nabi shollallohu alaihi wasallam adalah ibu kaum beriman dan pada ayat tersebut terdapat tazkiyyah (pensucian/pemuliaan) bagi mereka.
Ketika tiba musim haji dia keluar dari kampungnya untuk menunaikan ibadah haji. Di sana Alloh melapangkan dadanya untuk menerima kebenaran dan kembali ke kampungnya setelah menunaikan ibadah haji sebagai penganut madzhab ahlussunnah. Semua orang merasa heran dengan kepulangannya dari haji karena menjadi seorang sunni.
Kisah ini sangat terkenal sekali di seluruh Bahrain dan bahkan menjadi perbincangan di setiap penjuru jalan. Ini mengingat dia adalah seorang laki-laki yang pergi menunaikan ibadah haji sebagai syiah dan kembali darinya sebagai seorang sunni.

Maroji’ : akhirnya kutinggalkan syiah, Abu Kholifah Ali Muhammad Alqudhoibi hal 102-106