Ustadz … jangan jadi caleg, ya …
Dakwah di era kontemporer ini bertujuan untuk mengembalikan kehidupan kaum muslimin ke garis yang benar demi mengarahkan mereka untuk beribadah kepada Alloh dalam segala aspeknya.
Para duat mendakwahi ekonom atau businessman tanpa harus mereka berprofesi sebagai pebisnis. Mereka mendakwahi politisi dan negarawan tanpa harus mereka beralih profesi dari da’i menjadi politisi. Mereka mendakwahi artis tanpa harus menjadi artis. Mereka mendakwahi preman tanpa harus menjadi preman.
Untuk mengubah sesuatu khususnya sebuah dunia gelap tidak mengaharuskan kita menceburkan diri dalam dunia itu. Dari contoh-contoh pendahulupun tidak melakukan hal itu karena untuk menjadi pebisnis begitu juga politisi tak semudah yang dikhayalkan oleh banyak orang.
Asumsi bahwa jika kita masuk ke sebuah dunia maka kita bisa mengubah dunia itu, ini lebih kepada teori indah tapi ketika dikerjakan amatlah berat, karena dunia bisnis dan politik itu syarat dengan kebohongan, ketidakjujuran, khianat dan haram bisa menjadi halal.
Sehingga yang terjadi ialah perubahan akhlaq dan identitas keislaman da’i yang masuk ke dalamnya. Sikap waro’ menjadi rapuh, kebohongan menjadi biasa, syubhat menjadi keharusan yang sebelumnya takut kepada yang syubhat, belakangan terkesan menjadi berani pada syubhat bahkan mungkin pada yang haram. Kewaroan dan zuhud yang menjadi muwashofat seorang da’i nyaris menjadi tidak popular. Penilaian juga berubah-rubah. Hal-hal (baca : uang) yang sebelumnya dianggap haram, harus dihindari dan merusak kewaroan, belakangan sudah dianggap biasa.
Memang masih ada orang yang mampu bertahan dengan idealismenya di dunia rawan seperti itu, tapi jumlah mereka berapa ? Yang umum adalah terbawa oleh arus utama dalam dunia yang baru dihadapinya.
Hal itu terekam nasehat nabi kepada Abu Dzar Alghifari :
وعن أبي ذر رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قال، قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم يا أبا ذر إني أراك ضعيفاً، وإني أحب لك ما أحب لنفسي؛ لا تأمرن على اثنين، ولا تولين مال يتيم رَوَاهُ مُسلِمٌ
.
Dari Abu Dzar rodliyallohu anhu bersabda rosululloh shollallohu alaihi wasallam : wahai Abi Dzar, sesungguhnya aku mencintaimu sebagaimana aku mencintai diriku sendiri. Kulihat engkau adalah sosok yang lemah, janganlah engkau memimpin dua orang (apalagi orang banyak) dan janganlah engkau mengurusi harta anak yatim [HR Muslim]
Inilah pesan nabi shollallohu alaihi wasallam kepada salah seorang sahabat dekatnya. Apa yang bisa kita pahami dari kisah ini ? Bahwa dunia tertentu seperti kepemimpinan publik menuntut kualifikasi tertentu, artinya tidak setiap orang sholih bisa terjun ke dunia politik. Rosul sama sekali tidak meragukan kesholihan dan ketaqwaan Abu Dzar, beliau adalah sahabat yang mulia akan tetapi kepemimpinan publik adalah dunia yang tidak cukup mengandalkan hanya kesholihan pribadi.
Batu-batu licin dan batu terjal nan tajam yang membahayakan berhamparan di sana. Padahal di jaman itu yang hidup adalah para sahabat, generasi terbaik dengan segala keistimewaannya. Namun rosululloh shollallohu alaihi wasallam tidak merekomendasi Abu Dzar untuk terjun ke dunia politik karena faktor-faktor pribadi yang beliau lihat pada diri Abu Dzar.
Yang terjadi dari jaman ke jaman dalam uji coba terjun ke dunia politik oleh para aktivis dakwah mirip dengan gambaran Abu Dzar itu. Semangat awal memang menkjubkan, yaitu ingin mengubah dunia hitam menjadi dunia cemerlang. Uji coba seperti itu bukan baru pertama kali dilakukan. Generasi-generasi sebelumnya di negeri ini juga sudah melakukan itu, tetapi hasilnya adalah serupa, tidak berubah.
Orang yang masuk ke sana bukan mengubah akan tetapi ikut berubah, bukan mewarnai tetapi terwarnai. Bagaimana jika yang terwarnai ini adalah sebuah rombongan besar yang bercita-cita menegakkan mega proyek besar ? Bukankah siasat itu menjadi praktek bunuh diri dan setback atau mundur dalam memahami materi-materi dakwah. Orang lainpun akan mengatakan, Kenapa anda tidak belajar dari pengalaman saudara-saudara anda sebelumnya ? Apakah anda terlalu percaya diri atau anda telah jatuh dalam isti’jal atau terburu-buru mencapai tujuan ?
Persoalan yang dihadapi bukan hanya soal uang risywah (suap menyuap) dan sejenisnya walaupun ini telah banyak mengubah orientasi aktivis islam dari idealism ke pragmatisme, akan tetapi ada hal-hal yang masuk ke dalam wilayah aqidah. Seorang muslim yang aqidahnya telah tershibghoh tauhid bagaimana dapat bekerja sama dengan kaum yang menghalalkan segala cara bahkan menghalalkan kekufuran dan kefasikan ? Bukankah Alloh pernah mengingatkan nabinya dengan peringatan yang keras yang tidak ada peringatan sekeras itu dalam firmanNya :
وَإنْ كَادُوْا لَيَفْتِنُوْنَكَ عَنِ الَّذِى أوْحَيْنَا إلَيْكَ لِتَفْتَرِيَ عَلَيْنَا غَيْرَهُ وَإذَا لاتَّخَذُوْكَ خَلِيْلاً
وَلَوْلاَ أنْ ثَبَّتْنَاكَ لَقَدْ كِدْتَ تَرْكَنُ إلَيْهِمْ شَيْأً قَلِيْلاً
إذًا لأذَقْنَاكَ ضِعْفَ الْحَيَاةِ وَضِعْفَ الْمَمَاتِ ثُمَّ لاَ تَجِدُ لَكَ عَلَيْنَا نَصِيْرًا
73. Dan Sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap kami; dan kalau sudah begitu tentu|ah mereka mengambil kamu Jadi sahabat yang setia.
74. Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu Hampir-hampir condong sedikit kepada mereka,
75. Kalau terjadi demikian, benar-benarlah Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun terhadap kami. [al isro’ : 73-74]
Jika yang berjuang itu adalah nabiyulloh, yang menetapkan hatinya adalah Alloh dan wahyu turun menegurnya bila terjadi pembelokan dalam gerakan dakwahnya.
Akan tetapi ketika yang berjuang adalah manusia biasa, wahyu apakah yang turun mengingatkannya ? Yang mengingatkan hanyalah manusia yang ingin memelihara orisinilitas dakwahnya..
Akan tetapi musibah besar jika yang memberi nasehat dianggap sebagai penghalang dakwah. Padahal andaikan tidak ada “ si penghalang dakwah “ itu mereka bisa terjerumus ke dalam kebinasaan.
Peringatan keras robbani di atas seharusnya juga dipahami sebagai peringatan untuk para da’i yang berjuang menegakkan dinulloh. Mereka harus benar-benar konsisten di jalan dakwah dan tidak tergiur oleh rayuan-rayuan manusia dan bisikan-bisikan setan untuk mengubah arah pemahaman metodologi dakwah mereka. Jadi … cobaan yang dikhawatirkan bukan cobaan yang datang dari luar tetapi dari diri sendiri
Maroji’ : melawan sekulerisme, DR Daud Rosyid hal 143-150