Mengajukan Pelaksanaan Ibadah
Ibadah dibangun di atas maslahat. Tidak ada satupun perintah dalam islam, demikian juga larangannya diberikan kecuali demi terwujudnya kebaikan bagi umatnya. Pelaksanaannyapun demikian. Perintah dilaksanakan dan larangan dihindari tentu dengan mempertimbangkan maslahat dan madlorotnya. Terkadang perintah bila dijalankan dengan segera atau ditunda, hasilnya lebih baik maka mewujudkannya adalah suatu kemestian.
Dalam fiqh ibadah maupun muamalah ada beberapa perintah yang islam memberikan kelonggaran dilaksanakannya sebelum waktu yang sudah ditentukan oleh syariat, di antaranya :
Pembayaran zakat
َوَعَنْ عَلِيٍّ رضي الله عنه أَنَّ اَلْعَبَّاسَ رضي الله عنه ( سَأَلَ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فِي تَعْجِيلِ صَدَقَتِهِ قَبْلَ أَنْ تَحِلَّ, فَرَخَّصَ لَهُ فِي ذَلِكَ ) رَوَاهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَالْحَاكِم
ُ
Dari Ali bahwa Abbas bertanya kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam penyegeraan pengeluaran zakat sebelum waktunya, lalu beliau mengizinkannya [HR Tirmidzi dan Hakim]
Ibnu Taimiyyah berkata : diperbolehkan mengajukan pembayaran zakat sebelum waktunya. Hal ini berlaku bagi zakat peternakan, mata uang (perhiasan : emas dan perak) dan perdagangan bila telah sampai nishob, demikian juga zakat pertanian dan buah-buahan bila telah munculnya buahnya meskipun belum nampak matang dan tumbuhnya pohon ketika belum muncul dengan jelas biji-bijiannya.
Tidak dianjurkan mengeluarkan zakat sebelum masanya kecuali didapati maslahat pada pelaksanaannya seperti kelaparan yang menimpa umat islam.
Manasik haji
Hal ini terjadi pada mabit di muzdalifah, dimana kaum wanita, anak-anak, orang tua dan orang sakit diperkenankan untuk bertolak dari Muzadalifah pada pertengahan malam untuk selanjutnya bertolak ke Mina.
Demikian juga beberapa manasik haji bisa diajukan demi maslahat sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ الْجَمْرَةِ وَهُوَ يُسْأَلُ فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ نَحَرْتُ قَبْلَ أَنْ أَرْمِيَ قَالَ ارْمِ وَلَا حَرَجَ قَالَ آخَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ حَلَقْتُ قَبْلَ أَنْ أَنْحَرَ قَالَ انْحَرْ وَلَا حَرَجَ فَمَا سُئِلَ عَنْ شَيْءٍ قُدِّمَ وَلَا أُخِّرَ إِلَّا قَالَ افْعَلْ وَلَا حَرَجَ
Dari 'Abdullah bin 'Amru berkata, "Aku melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di sisi jumrah sedang ditanya. Seorang laki-laki bertanya, "Wahai Rasulullah, aku menyembelih hewan sebelum aku melempar? " Beliau lalu bersabda : "Melemparlah sekarang, dan kau tidak dosa. " Kemudian datang orang lain dan berkata, "Wahai Rasulullah, aku telah mencukur rambut sebelum aku menyembelih? " Beliau menjawab : "Sembelihlah sekarang, tidak kau tidak berdosa. " Dan tidaklah beliau ditanya tentang sesuatu yang dikerjakan lebih dahulu atau sesuatu yang diakhirkan dalam mengerjakannya kecuali menjawab : "Lakukanlah dan tidak dosa. [HR Bukhori, Muslim, Ahmad dan Darimi]
Sholat musafir
Seorang musafir diberi hak untuk mengqoshor sholat dan menjama’nya serta menunaikannya tidak pada waktunya. Bisa saja sholat ashar dikerjakan pada waktu dzuhur dengan cara menunaikan sholat dzuhur pada waktunya lalu dilanjutkan segera menunaikan sholat ashar. Demikian juga pelaksanaan sholat maghrib dan isya’. Sebagaimana nabi shollallohu alaihi wasallam melaksanakannya di Arofah dan Muzdalifah. Secara umum hadits di bawah ini member petunjuk kepada kita :
وَعَنْ أَنَسٍ: ( كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا اِرْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ اَلشَّمْسُ أَخَّرَ اَلظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ اَلْعَصْرِ, ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا, فَإِنْ زَاغَتْ اَلشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ صَلَّى اَلظُّهْرَ, ثُمَّ رَكِبَ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَفِي رِوَايَةِ اَلْحَاكِمِ فِي "اَلْأَرْبَعِينَ" بِإِسْنَادِ اَلصَّحِيحِ: ( صَلَّى اَلظُّهْرَ وَالْعَصْرَ, ثُمَّ رَكِبَ ) وَلِأَبِي نُعَيْمٍ فِي "مُسْتَخْرَجِ مُسْلِمٍ": ( كَانَ إِذَا كَانَ فِي سَفَرٍ, فَزَالَتْ اَلشَّمْسُ صَلَّى اَلظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا, ثُمَّ اِرْتَحَلَ
)
Anas Radliyallaahu 'anhu berkata: Biasanya Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bila berangkat dalam bepergian sebelum matahari tergelincir, beliau mengakhirkan sholat Dhuhur hingga waktu Ashar. Kemudian beliau turun dan menjamak kedua sholat itu. Bila matahari telah tergelincir sebelum beliau pergi, beliau sholat Dhuhur dahulu kemudian naik kendaraan. Dalam suatu hadits riwayat Hakim dalam kitab al-Arba'in dengan sanad shahih : Beliau sholat Dhuhur dan Ashar kemudian naik kendaraan. Dalam riwayat Abu Nu'aim dalam kitab Mustakhroj Muslim: Bila beliau dalam perjalanan dan matahari telah tergelincir, beliau sholat Dhuhur dan Ashar dengan jamak, kemudian berangkat. [Muttafaq Alaihi].
Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam berkata : hadits ini menunjukkan tentang diperbolehkannya menjama’ dua sholat baik dengan jama’ taqdim atau jama’ ta’khir.
Maroji’ :
Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam 2/153 dan 441
Fiqh sunnah, Sayyid Sabiq 1/289
Kaifa Yahujjul Muslim Waya’tamir, Syaikh Abdullohbin Muhammad bin Ahmad Ath Thoyyar hal 73
Mursyidul Mu’tamir Walhaj Wazzaair, Syaikh Sa’id bin Ali Wahf Alqohthoni hal hal 113