macam-macam rukhshoh (2)

Penundaan pelaksanaan ibadah

1. Menunda sholat karena lapar atau sakit

عَنْ عَائِشَةَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا- قَالَتْ : سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : ( لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ طَعَامٍ وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ
)
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa dia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: Tidak diperbolehkan sholat di depan hidangan makanan dan tidak diperbolehkan pula sholat orang yang menahan dua kotoran (muka dan belakang. [HR Muslim]

Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam berkata : menahan perut sakit akibat ingin buang air atau lapar akan menghilangkan kekhusyuan dan hadirnya hati saat sholat. Padahal hadirnya hati adalah inti dari sholat, bila itu tidak ada maka itu adalah sekedar gerakan yang mendapat pahala akan tetapi pelakunya tidak mendapatkan kedudukan seorang mukmin yang beruntung dimana di dalam sholatnya senantiasa khusyu’.

Dari sini maka mendahulukan makan atau masuk ke wc lebih utama daripada melaksanakan sholat dalam keadaan tidak tenang. Tentunya dengan catatan jangan sampai kejadian ini merupakan kebiasaan harian

2. Mengakhirkan sholat karena istihadloh

Istihadloh adalah adalah darah yang keluar dari farji wanita yang berada di luar waktu siklus haidh. Nabi shollallohu alaihi wasallam menyebut sebagai gangguan dari setan. Darah haidh dan darah istihadloh berbeda warna, hal ini diketahui baik oleh kaum wanita. Islam memberi rukhshoh kepada penderita istihadloh dengan mengakhirkan sholat dzuhur dan mengajukan sholat ashar, demikian juga pelaksanaan sholat isya dan maghrib. Caranya melaksanakan sholat dzuhur hampir dekat dengan masuknya waktu sholat ashar sehingga di saat sholat dzuhur sudah ditunaikan maka waktu ashar tiba tidak lama setelah itu. Hal inilah yang disebut dengan aljam’u ash shuwari. Rukhshoh ini berdasar sebuah hadits yang dibawakan Hamnah binti Jahsyi :

وَعَنْ حَمْنَةَ بِنْتِ جَحْشٍ قَالَتْ: ( كُنْتُ أُسْتَحَاضُ حَيْضَةً كَبِيرَةً شَدِيدَةً فَأَتَيْتُ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَسْتَفْتِيهِ فَقَالَ: إِنَّمَا هِيَ رَكْضَةٌ مِنَ اَلشَّيْطَانِ فَتَحَيَّضِي سِتَّةَ أَيَّامٍ أَوْ سَبْعَةً ثُمَّ اِغْتَسِلِي فَإِذَا اسْتَنْقَأْتِ فَصَلِّي أَرْبَعَةً وَعِشْرِينَ أَوْ ثَلَاثَةً وَعِشْرِينَ وَصُومِي وَصَلِّي فَإِنَّ ذَلِكَ يُجْزِئُكَ وَكَذَلِكَ فَافْعَلِي كَمَا تَحِيضُ اَلنِّسَاءُ فَإِنْ قَوِيتِ عَلَى أَنْ تُؤَخِّرِي اَلظُّهْرَ وَتُعَجِّلِي اَلْعَصْرَ ثُمَّ تَغْتَسِلِي حِينَ تَطْهُرِينَ وَتُصَلِّينَ اَلظُّهْرَ وَالْعَصْرِ جَمِيعًا ثُمَّ تُؤَخِّرِينَ اَلْمَغْرِبَ وَتُعَجِّلِينَ اَلْعِشَاءِ ثُمَّ تَغْتَسِلِينَ وَتَجْمَعِينَ بَيْنَ اَلصَّلَاتَيْنِ فَافْعَلِي. وَتَغْتَسِلِينَ مَعَ اَلصُّبْحِ وَتُصَلِّينَ. قَالَ: وَهُوَ أَعْجَبُ اَلْأَمْرَيْنِ إِلَيَّ

Hamnah binti Jahsy berkata: Aku pernah mengeluarkan darah penyakit (istihadlah) yang banyak sekali. Maka aku menghadap Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam untuk meminta fatwanya. Beliau bersabda: Itu hanya gangguan dari setan. Maka anggaplah enam atau tujuh hari sebagai masa haidmu kemudian mandilah. Jika engkau telah bersih shalatlah 24 atau 23 hari berpuasa dan shalatlah karena hal itu cukup bagimu. Kerjakanlah seperti itu setiap bulan sebagaimana wanita-wanita yang haid. Jika engkau kuat untuk mengakhirkan shalat dhuhur dan mengawalkan shalat Ashar (maka kerjakanlah) kemudian engkau mandi ketika suci dan engkau shalat Dhuhur dan Ashar dengan jamak. Kemudian engkau mengakhirkan shalat maghrib dan mengawalkan shalat Isya' lalu engkau mandi pada waktu subuh dan shalatlah. Beliau bersabda: Inilah dua hal yang paling aku sukai. [HR Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Alhakim]

3. Menunda sholat id

Tidak menutup kemungkinan sholat id bisa dilaksanakan tanggal dua syawal bila ada sebab yang membolehkan, misalnya terlambatnya informasi munculnya hilal sebagaimana yang pernah terjadi di masa rosululloh shollallohu alaihi wasallam :

َوَعَنْ أَبِي عُمَيْرِ بْنِ أَنَسٍ, عَنْ عُمُومَةٍ لَهُ مِنَ اَلصَّحَابَةِ, ( أَنَّ رَكْبًا جَاءُوا, فَشَهِدُوا أَنَّهُمْ رَأَوُا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ, فَأَمَرَهُمْ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَنْ يُفْطِرُوا, وَإِذَا أَصْبَحُوا يَغْدُوا إِلَى مُصَلَّاهُمْ
)
Dari Abu Umairah Ibnu Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu dari paman-pamannya di kalangan shahabat bahwa suatu kafilah telah datang, lalu mereka bersaksi bahwa kemarin mereka telah melihat hilal (bulan sabit tanggal satu), maka Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan mereka agar berbuka dan esoknya menuju tempat sholat mereka. [HR Ahmad dan Abu Daud]

Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam berkata : berdasarkan hadits ini disimpulkan bahwa sholat id dinyatakan tidak hilang dengan berlalunya hari setelah matahari tergelincir, ia boleh dilaksanakan keesokan harinya pada waktunya

4. Mengakhirkan mandi junub

Syaikh Abu Malik berkata : diperbolehkan bagi orang yang tengah junub mengakhirkan mandi, tidak diwajibkan baginya mandi segera setelah junub meskipun bila ia bergegas mandi itu jauh lebih utama dan lebih suci.

Yang dilakukan orang yang junub adalah cebok dengan mencuci kemaluan, dilanjutkan dengan berwudlu baru kemudian tidur :

وعن عائشة رَضِيَ اللَّهُ عَنها قالت : كان رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم يدركه الفجر وهو جنب من أهله ثم يغتسل ويصوم. مُتَّفّقٌ عَلَيهِ
.
Dari Aisyah rodliyallohu anha berkata : adalah rosululloh shollallohu alaihi wasallam mendapati waktu fajar sementara beliau masih junub karena persetubuhan dengan istrinya lalu beliau mandi dan meneruskan shoumnya [muttafaq alaih]

وعن عائشة رَضِيَ اللَّهُ عَنها وأم سلمة رَضِيَ اللَّهُ عَنها قالتا: كان رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم يصبح جنباً من غير حلم ثم يصوم مُتَّفّقٌ عَلَيهِ
.
Dari Aisyah dan Ummu Salamah rodliyallohu anha berkata : adalah rosululloh shollallohun alaihi wasallam mendapati waktu shubuh dalam keadaan masih junub bukan karena mimpi (melainkan persetubuhan), beliau tetap melanjutkan shoumnya [muttafaq alaih]

عَنْ عاَئِشَةَ رضي الله عنها كاَنَ رسول الله صلى الله عليه وسلم إذَا أرَادَ أنْ يَناَمَ وَهُوَ جُنُبٌ غَسَلَ فَرْجَهُ وَتَوَضَّأَ وُضُوْءَهُ لِلصَّلاَةِ

Dari Aisyah rodliyallohu anha : adalah rosululloh shollallohu alaihi wasallam apabila hendak tidur sementara beliau sedang junub maka beliau mencuci kemaluannya lalu berwudlu seperti wudlu hendak sholat [HR Bukhori Muslim]

عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَرْقُدُ أَحَدُنَا وَهُوَ جُنُبٌ قَالَ نَعَمْ إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلْيَرْقُدْ وَهُوَ جُنُبٌ

Dari Ibnu 'Umar bahwa 'Umar bin Al Khaththab bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, "Apakah boleh seorang dari kami tidur dalam keadaan dia junub ? " Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab : "Ya. Jika salah seorang dari kalian berwudlu, maka hendaklah ia tidur meskipun dalam keadaan junub"[HR Bukhori]

أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقِيَهُ فِي بَعْضِ طَرِيقِ الْمَدِينَةِ وَهُوَ جُنُبٌ فَانْخَنَسْتُ مِنْهُ فَذَهَبَ فَاغْتَسَلَ ثُمَّ جَاءَ فَقَالَ أَيْنَ كُنْتَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ كُنْتُ جُنُبًا فَكَرِهْتُ أَنْ أُجَالِسَكَ وَأَنَا عَلَى غَيْرِ طَهَارَةٍ فَقَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ إِنَّ الْمُسْلِمَ لَا يَنْجُسُ

Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah berjumpa dengannya di salah satu jalan Madinah, sementara ia dalam keadaan junub. " Abu Hurairah berkata, 'Aku malu dan pergi diam-diam'. Abu Hurairah lalu pergi mandi dan kembali lagi setelah itu, beliau lalu bertanya : "Kemana saja kamu tadi wahai Abu Hurairah ? " Abu Hurairah menjawab : "Aku tadi junub. Dan aku tidak suka bersama Tuan sedang aku dalam keadaan tidak suci. " Beliau pun bersabda : "Subhaanallah! Sesungguhnya seorang Muslim itu tidak itu najis. " [HR Bukhori]

5. Penundaan pelaksanaan sholat dzuhur

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا اِشْتَدَّ اَلْحَرُّ فَأَبْرِدُوا بِالصَّلَاةِ فَإِنَّ شِدَّةَ اَلْحَرِّ مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila panas sangat menyengat maka tunggulah waktu dingin untuk menunaikan shalat karena panas yang menyengat itu sebagian dari hembusan neraka jahannam." [Muttafaq Alaihi]

Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam menyimpulkan : Dianjurkan menunda pelaksanaan sholat dzuhur pada musim panas dengan cara mengakhirkan pelaksanaannya dari awal waktu hingga berkurang sengatan panasnya. Hikmah di dalamnya adalah membuat nyaman orang yang melaksanakan sholat.

6. Penundaan aqiqoh

Idealnya berdasarkan hadits shohih, pelaksanaan aqiqoh adalah pada hari ketujuh dari kelahiran bayi sebagaimana disabdakan oleh nabi shollallohu alaihi wasallam :

َوَعَنْ سَمُرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( كُلُّ غُلَامٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ, تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ, وَيُحْلَقُ, وَيُسَمَّى ) رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيّ

Dari Samurah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya; ia disembelih hari ketujuh (dari kelahirannya), dicukur, dan diberi nama." [HR Ahmad dan Tirmidzi]

Lalu bagaimana bila hari ketujuh ternyata kita belum memiliki rizki untuk melaksanakannya ? Dalam madzhab Hambali kita dapatkan pendapat bahwa pelaksanaannya bisa ditunda hingga hari ke empat belas atau hari keduapuluh satu, sementara dalam madzhab Syafi’i disebutkan penundaannya hingga usia sebelum baligh.

7. Pelaksanaan shoum saat safar

فَمَنْ كاَنَ مِنْكُمْ مَرِيْضاً أوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أياَّمٍ أخَرَ

Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. [albaqoroh : 184]

Syaikh Abdurrohman Nashir Assa’di berkata : karena masyaqqoh (beratnya kondisi yang dirasakan musafir dan orang sakit) secara umum, maka Alloh memberi keringanan kepada keduanya untuk menggantinya pada hari lain setelah sehat dan sepulangnya dari safar. Hal ini demi mewujudkan kemaslahatan shoum bagi orang beriman.

8. Pembayaran hutang

وَإِنْ كاَنَ ذُوْعُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إلَى مَيْسَرَة وَأنْ تَصَدَّقُوْا خَيْرٌ لَكُمْ إنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui [albaqoroh : 280]

Syaikh Abdurrohman Nashir Assa’di berkata : wajib hukumnya memberikan waktu tambahan kepada orang yang berhutang hingga dia mempunyai kemapuan untuk melunasi hutangnya

Maroji’ :

Taudhihul Ahkam, Abdulloh Abdurrohman Albassam 1/222-223, 348, 468, 2/225
Shohih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal ibn Sayyid Salim 1/181, 2/383
Tafsir Kalim Arrohman fii tafsiiri kalaamil Mannan, Syaikh Abdurrohman Nashir Assa’di 1/105 dan 156