Pelaksanaan ibadah dengan cara diganti oleh orang lain
1. Manasik haji
وَعَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; قَالَ: ( كَانَ اَلْفَضْلُ بْنُ عَبَّاسٍ رَدِيفَ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَجَاءَتِ اِمْرَأَةٌ مَنْ خَثْعَمَ، فَجَعَلَ اَلْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَتَنْظُرُ إِلَيْهِ، وَجَعَلَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَصْرِفُ وَجْهَ اَلْفَضْلِ إِلَى اَلشِّقِّ اَلْآخَرِ. فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ, إِنَّ فَرِيضَةَ اَللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ فِي اَلْحَجِّ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا, لَا يَثْبُتُ عَلَى اَلرَّاحِلَةِ, أَفَأَحُجُّ عَنْهُ ? قَالَ: نَعَمْ وَذَلِكَ فِي حَجَّةِ اَلْوَدَاعِ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu berkata: Adalah al-Fadl Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu duduk di belakang Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, lalu seorang perempuan dari Kats'am datang. Kemudian mereka saling pandang. Lalu Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memalingkan muka al-Fadl ini ke arah lain. Perempuan itu kemudian berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya haji yang diwajibkan Allah atas hamba-Nya itu turun ketika ayahku sudah tua bangka, tidak mampu duduk di atas kendaraan. Bolehkah aku berhaji untuknya? Beliau menjawab: "Ya Boleh." Ini terjadi pada waktu haji wada'. [Muttafaq Alaihi]
َوَعَنْهُ: ( أَنَّ اِمْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ: إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ, فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ, أَفَأَحُجُّ عَنْهَا? قَالَ: نَعَمْ , حُجِّي عَنْهَا, أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ, أَكُنْتِ قَاضِيَتَهُ ? اِقْضُوا اَللَّهَ, فَاَللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ ) رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ
Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa ada seorang perempuan dari Juhainah datang kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, lalu berkata: Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk menunaikan haji, dia belum berhaji lalu meninggal, apakah aku harus berhaji untuknya? Beliau bersabda: "Ya, berhajilah untuknya. Bagaimana pendapatmu seandainya ibumu menanggung hutang, tidakkah engkau yang membayarnya? Bayarlah pada Allah, karena Allah lebih berhak untuk ditepati." [HR Bukhori]
Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam berkata : siapa yang tidak mampu menunaikan ibadah haji dengan badannya maka tidak dituntut untuk menunaikannya sendiri, cukup bagi dirinya diwakilkan oleh orang lain. Hal ini berlaku bagi yang memiliki kecukupan harta. Adapun yang tidak cukup hartanya maka tidak diwajibkan niyabah (diwakilkan) atasnya sebagaimana firman Alloh :
Niyabah juga berlaku pada sebagian manasik haji semisal melempar jumroh. Syaikh Sa’id bin Ali bin Wahf Alqohthoni berkata : bagi yang tidak mampu melempar jumroh seperti orang tua, orang sakit, anak kecil dan wanita hamil maka diperbolehkan baginya untuk minta diwakilkan oleh orang lain sebagaimana firman Alloh : maka bertaqwalah kepada Alloh sesuai kemampuanmu. Mereka ini tidak mampu berada di tengah lautan manusia yang berada di jamarot (tempat pelemparan batu) sementara waktu melempar sangat terbatas dan tidak ada waktu qodlo’ hingga diperbolehkan bagi mereka untuk diganti oleh orang lain, berbeda dengan ibadah selain manasik haji.
2. Hutang
Adakalanya seseorang yang tidak mampu membayar hutangnya, pembayaran itupun ditanggung oleh temannya. Masalah ini disebut dalam kitab fiqih sebagai dolman sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits :
وَعَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ: ( تُوُفِّيَ رَجُلٌ مِنَّا, فَغَسَّلْنَاهُ, وَحَنَّطْنَاهُ, وَكَفَّنَّاهُ, ثُمَّ أَتَيْنَا بِهِ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقُلْنَا: تُصَلِّي عَلَيْهِ ? فَخَطَا خُطًى, ثُمَّ قَالَ: أَعَلَيْهِ دَيْنٌ ? قُلْنَا: دِينَارَانِ، فَانْصَرَفَ, فَتَحَمَّلَهُمَا أَبُو قَتَادَةَ، فَأَتَيْنَاهُ, فَقَالَ أَبُو قَتَادَةَ: اَلدِّينَارَانِ عَلَيَّ، فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أُحِقَّ اَلْغَرِيمُ وَبَرِئَ مِنْهُمَا اَلْمَيِّتُ? قَالَ: نَعَمْ, فَصَلَّى عَلَيْهِ
Jabir Radliyallaahu 'anhu berkata: Ada seorang laki-laki di antara kami meninggal dunia, lalu kami memandikannya, menutupinya dengan kapas, dan mengkafaninya. Kemudian kami mendatangi Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan kami tanyakan: Apakah baginda akan menyolatkannya ?. Beliau melangkan beberapa langkah kemudian bertanya: "Apakah ia mempunyai hutang ?". Kami menjawab: Dua dinar. Lalu beliau kembali. Maka Abu Qotadah menanggung hutang tersebut. Ketika kami mendatanginya; Abu Qotadah berkata: Dua dinar itu menjadi tanggunganku. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : "Betul-betul engkau tanggung dan mayit itu terbebas darinya." Ia menjawab: Ya. Maka beliau menyolatkannya. Riwayat [HR Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa'i]
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه ( أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُؤْتَى بِالرَّجُلِ اَلْمُتَوَفَّى عَلَيْهِ اَلدَّيْنُ, فَيَسْأَلُ: هَلْ تَرَكَ لِدَيْنِهِ مِنْ قَضَاءٍ? فَإِنْ حُدِّثَ أَنَّهُ تَرَكَ وَفَاءً صَلَّى عَلَيْهِ, وَإِلَّا قَالَ: صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ فَلَمَّا فَتَحَ اَللَّهُ عَلَيْهِ اَلْفُتُوحَ قَالَ: أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ, فَمَنْ تُوُفِّيَ, وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَعَلَيَّ قَضَاؤُهُ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِوَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِيِّ: ( فَمَنْ مَاتَ وَلَمْ يَتْرُكْ وَفَاءً
)
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bila didatangkan kepada beliau orang meninggal yang menanggung hutang, beliau bertanya : "Apakah ia meninggalkan sesuatu untuk melunasi hutangnya ?". Jika dikatakan bahwa ia meninggalkan sesuatu untuk melunasi hutangnya, beliau menyolatkannya. Jika tidak, beliau bersabda : "Sholatlah atas temanmu ini." Tatkala Allah telahg memberikan beberapa kemenangan kepadanya, beliau bersabda : "Aku lebih berhak pada kaum mukminin daripada diri mereka sendiri. Maka barangsiapa meninggal dan ia memiliki hutang, akulah yang melunasinya." Muttafaq Alaihi. Menurut suatu riwayat Bukhari : "Maka barangsiapa mati dan tidak meninggalkan harta pelunasan....".
Dua hadits di atas menerangkan bahwa ketidakmampuan orang yang berhutang untuk melunasi kewajibannya bisa diwakilkan oleh dua pihak : yang pertama dipenuhi oleh seseorang secara individu sebagai wujud ta’awun (saling tolong sesama muslim) hal ini dilakukan oleh Abu Tholhah. Yang kedua dipenuhi oleh pemerintah sebagai pemimpin dari rakyatnya, hal ini dicontohkan oleh rosululloh shollallohu alaihi wasallam di hadapan umatnya pada saat fathu Mekah.
Barangkali ada yang mempertanyakan, jika rosululloh shollallohu alaihi wasallam sebagai pemimpin menanggung hutang umatnya, apakah itu berlaku bagi para umaro’ sepeninggalan beliau ? Imam Shon’ani termasuk di antara ulama yang berpendapat demikian sebagaimana yang beliau tuturkan dalam subulussalam menytir perkataan Ibnu Bathol : demikianlah seharusnya bagi pemimpin yang mengurusi perkara umat islam bertanggung jawab untuk menanggung hutang orang mati yang menunggak pembayaran hutang. Bila itu tidak dilakukan maka dosa ditanggung oleh sang pemimpin, sebagaimana hadits yang dituturkan oleh Rofi’i : ada yang bertanya kepada beliau “ ya rosulalloh, apakah itu berlaku bagi para pemimpin sesudah engkau ? Beliau menjawab : atas pemimpin sepeninggalanku “
Sementara Syaikh Muhammad bin Ibrohim Alu Syaikh mencontohkan pembayaran hutang oleh pemerintah dalam kasus diyat (denda) pada pembunuhan sengaja (qotlul ‘amdi) atau pembunuhan tidak sengaja (qotlul khotho’/ syibhul ‘amdi) dan pembunuhan yang tidak diketahui pelakunya (qosamah). Maka penyelesaiannya dengan mengeluarkan dana dari baitul mal.
3. Jihad di saat uzur
وعن أنس رَضِيِ اللَّهُ عَنْهُ أن فتى من أسلم قال : يا رَسُول اللَّهِ إني أريد الغزو وليس معي ما أتجهز به ؟ قال: ائت فلاناً فإنه قد كان تجهز فمرض. فأتاه فقال : إن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم يقرئك السلام ويقول: أعطني الذي تجهزت به. فقال: يا فلانة أعطيه الذي تجهزت به، ولا تحبسي منه شيئاً، فوالله لا تحبسي منه شيئاً فيبارك لك فيه رَوَاهُ مُسْلِمٌ
.
Dari Anas bin Malik, bahwa seorang pemuda dari suku Aslam berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya ingin ikut berperang, namun saya tidak memiliki perlengkapan. " Beliau bersabda : "Datangilah si fulan, sebab dia telah mempersiapkan perlengkapannya namun dia jatuh sakit. " Maka datanglah pemuda itu kepada Fulan seraya berkata, "Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengirim salam untuk anda, dan menyuruh anda memberikan perlengkapan anda kepadaku. " Lalu orang yang sakit itu berkata, "Wahai fulanah, berikanlah perlengkapan yang telah aku persiapkan kepadanya, dan jangan sampai ada yang ketinggalan satu pun. Demi Allah, jangan sampai ada yang ketinggalan satupun! Semoga Allah memberikan berkah kepadamu karenanya. " [HR Muslim]
Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin berkata : hadits ini merupakan dalil bahwa barangsiapa yang sudah meniatkan amal sholih lalu tertahan oleh sakit maka seyogyanya untuk menyerahkannya kepada orang yang mampu mengembannya hingga ditulis baginya pahala yang sempurna.
4. Penyembelihan hewan kurban
Idealnya seorang yang berkorban dialah yang menyembelih sebagaimana rosululloh shollallohu alaihi wasallam melakukannya. Akan tetapi bila tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pemotongan maka bisa diserahkan kepada jazar (tukang potong) sebagaimana disebut dalam hadits :
عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رضي الله عنه قَالَ: ( أَمَرَنِي اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَنَّ أَقْوَمَ عَلَى بُدْنِهِ, وَأَنْ أُقَسِّمَ لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلَالَهَا عَلَى اَلْمَسَاكِينِ, وَلَا أُعْطِيَ فِي جِزَارَتِهَا مِنْهَا شَيْئاً ) مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Ali Ibnu Abu Thalib Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan kepadaku untuk mengurusi kurban-kurbannya; membagi-bagikan daging, kulit dan pakaiannya kepada orang-orang miskin, dan aku tidak diperbolehkan memberi suatu apapun dari kurban kepada penyembelihnya. [Muttafaq Alaihi]
Maroji’ :
Mursyidul Mu’tamir wal hajj wazzaair, Syaikh Sa’id bin Ali bin Wahf Alqohthoni hal 128
Taudlihul Ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam 2/648, 3/293
Subulussalam, Imam Shon’ani 4/63
Syarh riyadlush sholihin 1/466