Hukum Mengganti (3)

Khilafah

Jabatan kholafah dalam islam bersifat abadi. Ia tidak dijabat selama tahun tertentu sehingga akan diadakan pemilihan ketika masa jabatannya telah habis. Dari sini kita bisa membedakan antara syariat islam dengan system demokrasi.

Said Hawa berkata : Manakala kekhilafahan secara syar’i adalah cerminan dari perwakilan umat dalam menegakkan aturan Alloh dan mengurusi perkara dalam menegakkan hukum Alloh, dimana keduanya bersifat selamanya maka jabatan kepemimpinan umat juga harus bersifat selamanya, bukan dibelenggu dengan masa waktu tertentu. Ia berlangsung terus menerus selama umur kholifah dan ia masih memiliki kemampuan secara langsung memegang jabatannya.
Jabatan itu bisa saja beralih kepada orang lain bila sang kholifah wafat, mengundurkan diri atau melakukan pelanggaran syar’i yang berat semisal murtad. Selanjutnya ia akan diisi orang lain dengan cara wasiat sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar yang mewasiatkan agar sepeninggalan beliau Umar yang memegang kepemimpinan umat. Atau dengan cara pemilihan yang melibatkan ahlul halli wal aqdi (badan perwakilan). Hal ini bisa kita lihat dari berkumpulnya Abu Bakar dan Umar beserta kaum Anshor di Saqifah Bani Saidah yang akhirnya mencapai kesepakatan bahwa jabatan khilofah dipegang oleh Abu Bakar ash Shiddiq meski pada awalnya mereka nyaris menyepakati Sa’ad bin Ubadah yang memegang kendali umat.

Cara yang kedua juga bisa kita lihat dari naiknya Utsman sebagai kholifah. Saat menjelang Umar bin Khothob wafat, ia membentuk ahlul halli wal aqdi sejumlah enam orang untuk memilih pengganti beliau. Mereka adalah : Utsman bin Affan, Ali bin Abi Tholib, Abdurrohman bin Auf, Tholhah bin Ubaidillah, Saad bin Abi Waqosh dan Zubair bin Awwam. Dari hasil musyawarah menghasilkan keputusan bahwa Utsman memegang jabatan kholifah menggantikan Umar bin Khothob.

Maroji’ :

Al Islam, said Hawa hal 390-391