Hukum Merubah (18)

Bangunan Masjid

Merubah bangunan masjid berarti meruntuhkannya dan membangunnya dengan bangunan baru. Ia juga berarti mengganti beberapa bagian masjid seperti jendela, pintu, atap dan lainnya yang sudah keropos untuk kemudian diganti dengan bahan baru. Ada beberapa hadits yang ada kaitannya dengan renovasi masjid yang bisa dijadikan i’tibar bagi siapa saja yang ingin melakukannya :

عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم لَا تَقُومُ اَلسَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى اَلنَّاسُ فِي اَلْمَسَاجِدِ

Dari Anas Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Tidak akan terjadi kiamat hingga orang-orang berbangga-bangga dengan (kemegahan) masjid. [Dikeluarkan oleh Imam Lima kecuali Tirmidzi]

عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَا أُمِرْتُ بِتَشْيِيدِ اَلْمَسَاجِدِ

Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Aku tidak diperintahkan untuk menghiasi masjid. [HR Abu Dawud]

Dua hadits di atas melarang kita untuk membangun atau meronavasi masjid dengan tujuan membangun masjid agar tampak megah. Sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Shon’ani bahwa bermegah-megahan dalam membangun masjid akan memalingkan hati dari khusyu dalam sholat padahal khusyu’ adalah ruhnya ibadah.

Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam menghukumi perbuatan itu sebagai perbuatan haram (bertasyabuh dengan kaum yahudi) bahkan bernilai bid’ah

عَنْ نَافِع أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ أَخْبَرَهُ أَنَّ الْمَسْجِدَ كَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَبْنِيًّا بِاللَّبِنِ وَسَقْفُهُ الْجَرِيدُ وَعُمُدُهُ خَشَبُ النَّخْلِ فَلَمْ يَزِدْ فِيهِ أَبُو بَكْرٍ شَيْئًا وَزَادَ فِيهِ عُمَرُ وَبَنَاهُ عَلَى بُنْيَانِهِ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِاللَّبِنِ وَالْجَرِيدِ وَأَعَادَ عُمُدَهُ خَشَبًا ثُمَّ غَيَّرَهُ عُثْمَانُ فَزَادَ فِيهِ زِيَادَةً كَثِيرَةً وَبَنَى جِدَارَهُ بِالْحِجَارَةِ الْمَنْقُوشَةِ وَالْقَصَّةِ وَجَعَلَ عُمُدَهُ مِنْ حِجَارَةٍ مَنْقُوشَةٍ وَسَقَفَهُ بِالسَّاجِ

Dari Nafi' bahwa 'Abdullah bin 'Umar mengabarkan kepadanya, bahwa pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam Masjid dibangun dengan menggunakan tanah liat yang dikeraskan (bata). Atapnya dari dedaunan sedangkan tiangnya dari batang pohon kurma. Pada masanya Abu Bakar tidak memberi tambahan renovasi apapun, kemudian pada masanya Umar bin Al Khaththab ia memberi tambahan renovasi, Umar merenovasi dengan batu bata dan dahan barang kurma sesuai dengan bentuk yang ada di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Tiang utama ia ganti dengan kayu. Kemudian pada masa Utsman ia banyak melakukan perubahan dan renovasi, dinding masjid ia bangun dari batu yang diukir dan batu kapur. Kemudian tiang dari batu berukir dan atapnya dari batang kayu pilihan. [HR Bukhori dan Abu Daud]
Riwayat di atas menerangkan sejarah renovasi masjid nabawi setelah wafatnya rosululloh shollallohu alaihi wasallam hingga masa kekhilafahan Utsman bin Affan. Ibnu Hajar Al atsqolani menambahkan keterangan dengan mengatakan : ini merupakan dalil tentang sunnahnya membangun masjid secara sederhana dan meninggalkan sikap berlebihan dalam menghiasnya. Umar bin Khothob dengan prestasinya yang gemilang dalam menaklukkan negeri-negeri disertai berlimpahnya kekayaan pemerintahannya, ternyata tidak melakukan renovasi masjid dan membiarkannya seperti awal mula didirikan. Yang dia lakukan hanyalah mengganti tiang masjid yang berasal dari pelepah kurma karena sudah lapuk. Pada masa Utsman menjabat sebagai khilafah dan kekayaan umat islam lebih melimpah, dia memperindah bangunan masjid tanpa ada kesan bermegah-megah, itupun banyak ditentang oleh para sahabat. Adapun pemimpin pertama yang bermegah-megahan dalam masjid adalah Alwalid bin Abdul Malik bin Marwan yang terjadi pada akhir masa sahabat. Namun demikian banyak ulama yang mendiamkannya karena dikhawatirkan akan timbul fitnah.

عَنْ الْأَسْوَدِ قَالَ قَالَ لِي ابْنُ الزُّبَيْرِ كَانَتْ عَائِشَةُ تُسِرُّ إِلَيْكَ كَثِيرًا فَمَا حَدَّثَتْكَ فِي الْكَعْبَةِ قُلْتُ قَالَتْ لِي قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَائِشَةُ لَوْلَا قَوْمُكِ حَدِيثٌ عَهْدُهُمْ قَالَ ابْنُ الزُّبَيْرِ بِكُفْرٍ لَنَقَضْتُ الْكَعْبَةَ فَجَعَلْتُ لَهَا بَابَيْنِ بَابٌ يَدْخُلُ النَّاسُ وَبَابٌ يَخْرُجُونَ فَفَعَلَهُ ابْنُ الزُّبَيْرِ

Dari Al Aswad berkata, Ibnu Az Zubair berkata kepadaku, 'Aisyah banyak merahasiakan (hadits) kepadamu. Apa yang pernah dibicarakannya kepadamu tentang Ka'bah ? Aku berkata, Aisyah berkata kepadaku, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepadaku : Wahai 'Aisyah, kalau bukan karena kaummu masih dekat zaman mereka (baru saja masuk islam sehingga masih tampak kebodohan mereka), Az Zubair menyebutkan, Dengan kekufuran, maka Ka'bah akan aku rubah, lalu aku buat dua pintu untuk orang-orang masuk dan satu untuk mereka keluar. Di kemudian hari hal ini dilaksanakan oleh Ibnu Zubair [HR Bukhori Muslim]

Riwayat di atas menerangkan keinginan rosululloh shollallohu alaihi wasallam untuk membuat dua pintu bagi ka’bah setelah sebelumnya hanya terdiri dari satu pintu dan niat itu beliau urungkan untuk satu tujuan maslahat melihat penduduk Mekah yang baru saja masuk islam sementara mereka sangat mengagungkan keberadaan ka’bah. Ibnu Hajar Al Atsqolani berkata : hadist ini menganjurkan kepada kita untuk meninggalkan maslahat bila dikhawatirkan jatuh pada mafsadat (kerusakan) yang timbul. Ini juga merupakan pelajaran untuk meninggalkan upaya menghilangkan kemungkaran bila berakibat pada timbulnya kemungkaran yang lebih besar. Seorang pemimpin seharusnya mampu mewujudkan kemaslahatan pada rakyatnya meskipun apa yang ia lakukan mengutamakan yang afdhol dengan menyingkirkan sesuatu yang lebih afdhol selama tidak bernilai haram.

Kesimpulan dari pembahasan ini :

1. Renovasi masjid hukumnya boleh bila ternyata ada beberapa bagian masjid yang sudah usang sehingga perlu ada penggantian
2. Renovasi harus jauh dari kesan bermegah-megahan
3. Renovasi yang menimbulkan madlorot harus dijauhi sebagaimana yang disikapi oleh rosululloh shollallohu alaihi wasallam terhadap bangunan ka’bah

Maroji’ :

Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Atsqolani 1/283 dan 679
Subulusssalam, Imam Shon’ani 1/158
Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam 1/490