Hukum Mencampur Dan Menggabung (10)

Tempat Tinggal Muslim Dan Kafir

Sudah selayaknya umat islam memiliki komunitas. Lingkungan yang hanya dihuni oleh kaum muslimin. Kita dengan mudah melaksanakan syariat islam tanpa gangguan dan terjaga dari sikap tasyabuh dengan perilaku orang kafir.

Bisa dibayangkan ketika kita tinggal di negeri kafir. Begitu sulitnya kita mempertahankan aqidah. Dalam beberapa kesempatan kita terpaksa mengikuti ajaran agama mereka. Di sisi lain ketika kita memiliki keahlian di bidang tertentu, justru akan semakin memajukan negeri itu. Kita rugi sementara mereka memperoleh keuntungan. Oleh karena itu rosululloh shollallohu alaihi wasallam mengingatkan :

عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا بَرِيءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ يُقِيمُ بَيْنَ أَظْهُرِ الْمُشْرِكِينَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ قَالَ لَا تَرَاءَى نَارَاهُمَا

Dari Jarir bin Abdullah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Aku berlepas diri dari setiap muslim yang bermukim di antara orang-orang musyrik. Mereka bertanya; kenapa wahai Rasulullah? Beliau berkata : kedua api peperangan mereka saling melihat [HR Abu Daud dan Tirmidzi]

Ibnu Katsir berkata : barangsiapa yang tinggal bersama orang kafir padahal ia mampu untuk berhijroh sementara ia tidak mampu melaksanakan ajaran islam di sana, maka ia dinilai telah menzalimi dirinya sendiri dan telah melakukan larangan Alloh.

Syaikh Abdurrohman Nashir Assa’di berkata : hijroh dari negeri kafir menuju negeri muslim adalah kewajiban yang paling agung, meninggalkannya adalah satu keharaman.
Hasan Albasri berkata : seseorang yang pergi untuk tinggal di negeri kafir, bila di sana ia tidak keluar dari islam maka sebenarnya ia telah dinilai telah murtad karena telah meninggalkan negeri islam.

Hasan bin Sholih berkata : barangsiapa yang tinggal di negeri musuh padahal ia memiliki kemampuan untuk tinggal di negeri islam maka hukum yang berlaku bagi dirinya adalah diperlakukan seperti status orang musyrik. Bila seorang kafir masuk islam namun ia tetap tinggal di negerinya padahal ia mampu untuk berpindah ke negeri muslim, ia tidak dinilai sebagai muslim. Status bagi dirinya adalah hukum yang berlaku atas orang kafir harbi baik pada harta atau nyawanya.

Dalam sejarah, kita mendapatkan kisah orang yang bersyahadat di hadapan rosululloh shollallohu alaihi wasallam. Ketika turun perintah hijroh, sebagian di antara mereka enggan pergi. Yang terjadi selanjutnya adalah mereka tidak mampu menolak paksaan orang kafir untuk berangkat menuju badar. Di perang itupun didapati banyak di antara mereka yang mati oleh sabetan pedang dan panah dari para sahabat. Di saat para sahabat sedih melihat kenyataan yang ada, maka Alloh menurunkan ayat yang menerangkan kedudukan mereka :

إنَّ الَّذِيْنَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلاَئِكَةُ ظَالِمِى أنْفُسِهِمْ قاَلُوْا فِيْمَ كُنْتُمْ قَالُوْا كُنَّا مُسْتَضْعَفِيْنَ فِى الأَرْضِ قاَلُوْا ألَمْ تَكُنْ أرْضُ الله وَاسِعَةً فَتُهاَجِرُوْا فِيْهاَ فَأُلئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيْراً

Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam Keadaan Menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) Malaikat bertanya : Dalam Keadaan bagaimana kamu ini ?. mereka menjawab : Adalah Kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah). Para Malaikat berkata : Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu ? orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, [annisa’ : 97]

Maroji’ :
Taisir Kalim Arrohman, Syaikh Abdurrohman Nashir Assa’di 1/290
Tafsir Alquran Al’adzim, Abu Fida ibnu Katsir Addamsyiqi 1/670
Alwala’ Walbaro’ Fil Islam, Muhammad bin Said Salim Alqohthoni hal 272