Hubungan Timbal Balik (8)

Ulama Dengan Muridnya
Murid yang merasa bodoh pasti akan mencari ulama untuk memberikan kepadanya berbagai macam ilmu. Darinyalah ia mengetahui haq dan batil, sunnah dan bid’ah, demikian seterusnya. Dengan terus bersahabat dan belajar kepada seorang alim maka ilmupun bertambah.

Sebaliknya ulama sangat membutuhkan murid. Ilmu yang menumpuk di otak akan beku selanjutnya hilang manakala tidak diajarkan kepada orang lain. Dengan mengajar, ilmu akan semakin kokoh, bahkan bertambah. Di samping itu dirinya akan dicintai oleh murid-muridnya yang menyebakan mereka akan senantiasa mendoakan sang guru yang telah berjasa bagi mereka. Faedah lain yang lebih penting dari itu adalah, ketika si murid mengamalkan ilmu yang ia peroleh maka sang guru akan mendapat pahala yang berlimpah :
مَنْ دَعاَ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أجْرِ فَاعِلِهِ

Barangsiapa yang mengajak kepada kebaikan maka baginya pahala dari orang yang mengamalkannya [HR Muslim]

مَنْ دَعاَ إلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الأجْرِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَالِكَ مِنْ أجُوْرِهِمْ شَيْأً

Barangsiapa yang mengajak kepada huda (petunjuk) maka baginya pahala dari orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala yang mereka terima [HR Muslim]

Karena kedua belah pihak mendapat faedah dari simbiosis ini maka sudah selayaknya keduanya mengetahui adab dan akhlaq yang mereka berikan kepada masing-masing.

Tentang sikap yang harus diketahui oleh alim adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Abdul Qodir bin Abdul Aziz : sudah seharusnya bagi alim untuk memberikan perhatian kepada murid-muridnya sebagaimana perhatiannya kepada dirinya dan anak kandungnya sendiri. Iapun harus bersabar atas sikap keras dan buruk akhlaq dari mereka karena bagaimanapun juga setiap manusia memiliki kekurangan. Ia juga harus mencintai bagi muridnya sebagaimana apa yang menimpa dirinya dan membenci sesuatu yang terjadi pada mereka sebagaimana ia tidak ingin apa yang ia benci menimpa dirinya.
Adapun sebagai murid ia harus bersikap tawadlu dan bersikap hormat di hadapan syaikhnya. Termasuk yang perlu ia ketahui adalah bersabar atas sikap kasar dan kaku dari sang guru. Ia harus berprasangka bahwa apa yang dilakukan oleh syaikh sebagai bagian dari kebaikan meski secara dzohir adalah bernilai buruk.

Maroji’ :
Aljami’ Fitholabil Ilmisy Syarif, Syaikh Abdul Qodir Abdul Aziz 2/115 dan 150