Berputus Asa
لاَيَسْئَمُ الإِنْسَانُ مِنْ دُعاَءِ الْخَيْرِ وَإنْ مَّسَّهُ الشَّرُّ فَيَئُوْسٌ قَنُوْطٌ
Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa malapetaka Dia menjadi putus asa lagi putus harapan [fushilat : 49]
Putus asa dari rahmat Alloh adalah terlarang karena itu bagian dari sikap suudzon kepada Alloh, hal itu bisa ditinjau dari dua sisi :
1. Mencela qudroh (kemampuan) Alloh. Orang yang mengetahui bahwa Alloh Maha Kuasa maka ia tidak akan meremehkan kehendakNya.
2. Mencela kasih sayang Alloh kepada hambaNya. Orang yang meyakini bahwa Alloh Maha Kasih Sayang maka ia tidak akan meragukan rahmatNya.
Sejarah mengajari kita bahwa sesuatu yang mustahil adalah mudah bagi Alloh. Ketika Firaun menetapkan pembunuhan bayi laki-laki dari kalangan bani isroil, ternyata Musa selamat. Di saat sang ibu menghanyutkannya di sungai, apakah terbayang sang bayi akan selamat ? Ternyata justru Musa akhirnya dibesarkan di istana Firaun.
Ibrohim yang sudah berada di atas tumpukan kayu bakar, pada kenyataannya ia selamat. Tidak lama kemudian Raja Namruj yang mati.
Rosululloh shollallohu alaihi wasallam, tatkala rumah beliau dikepung dan akhirnya lolos kemudian bisa melarikan diri bersama Abu Bakar. Selanjutnya ujian tidak berhenti di situ saja. Di gua hiro yang sempit sementara para pengejar sudah berada di mulut gua, akan tetapi tidak ada satupun di antara mereka yang tergerak untuk sedikit menengok ke dalam. Selamatlah beliau dari kejaran kafir quraisy dan tiba di kota Madinah.
Demikianlah betapa sikap optimis sangat dipuji sebagai wujud dari sikap husnudzon kita kepada Alloh, sementara pesimis adalah sifat tercela dan bagian dari kabair (dosa besar)
أكبر الكبائر : الإشراك بالله، والأمن من مكر الله، والقنوط من رحمة الله، واليأس من روح الله
Dosa besar yang paling besar adalah : menyekutukan Allah, merasa aman dari siksa Allah, berputus harapan dari rahmat Allah, dan berputus asa dari pertolongan Allah [HR Abdur Razzaq]
Maroji’ :
Alqoulul Mufid, Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin 2/103-104