Bahagia, Tidak Selamanya Dengan Harta
Seorang yang memiliki harta berlimpah, ternyata tidak mampu menikmati apa yang ia miliki. Makan daging merupakan pantangan karena ia mengidap hipertensi, makanan manis harus ia jauhi karena menderita diabetes dan beragam sayur mayur dihindari karena asam urat yang sangat parah yang tak kunjung sembuh. Kalau sudah begini apa yang harus ia makan ?
Hiburan berupa piknik tidak mungkin ia lakukan karena bisnis yang begitu menyita waktu. Di saat tukang becak masih menyempatkan diri tidur siang dengan nyenyak di atas becaknya, dirinya tidak mungkin melakukannya karena roda bisnis terus berputar tanpa henti.
Rumah megah tidak bisa dinikmati karena ia harus berangkat kerja pukul lima pagi dan jam sepuluh malam baru tiba di rumah.
Dengan kekayaannya ia bisa menggaet wanita cantik untuk menjadi istri tapi itu tidak bertahan lama. Cerai adalah ujung dari pernikahannya. Bisa saja itu terjadi karena si wanita memang hanya menginginkan hartanya semata, sehingga cinta hanyalah semu, terlihat di mata akan tetapi tidaklah demikian. Atau boleh jadi si istri tidak mendapat kebahagiaan karena tidak pernah bersua dengan suami kecuali di saat kedatangannya hingga mengantarkannya kembali bekerja di pagi hari.
Mungkin saja perceraian tidak terjadi. Akan tetapi ia mati dan meninggalkan istri dalam keadaan janda yang kemudian dinikah oleh orang lain. Kekayaan yang ditinggal akhirnya dinikmati istrinya dan suaminya yang baru. Tragis !
Betapa banyak pelaku bunuh diri adalah berasal dari kalangan orang kaya, pasangan cerai padahal si suami adalah lelaki ganteng sementara istrinya memiliki daya pikat wajah yang lusr biasa.
Contoh-contoh di atas tidak akan terjadi pada diri orang beriman, karena tolak ukur kebahagiaannya tidak terletak pada materi. Hidupnya tenang karena ia mengisi hari-harinya dengan dzikir. Bukankah Alloh berfirman :
الَّذِينَ آَمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram [arro’d : 28]
Muqotil memaknai dzikrulloh pada ayat ini adalah dengan mengingat apa yang ada di dalam alquran berupa pahala dan siksa.
Syaikh Abu Bakar Aljazairi berkata : demikianlah orang beriman akan tenang hatinya dengan mengingat Alloh sementara orang kafir ketenangannya adalah mengingat urusan dunia.
Ada juga orang beriman yang kebahagiaannya diukur dari sholat tahajudnya sebagaimana ucapan Muhammad bin Munkadir : kenikmatan dunia itu hanya tersisa pada tiga hal, yaitu : sholat malam, bertemu teman dan sholat berjamaah.
Mu’adhid Al Ajali berkata : kalau sekiranya bukan karena tiga hal : dahaga di tengah hari, panjangnya waktu malam di musim dingin serta nikmatnya melakukan sholat malam dengan membaca kitabulloh niscaya aku tidak akan peduli jika harus menjadi seekor lebah jantan.
Dalam hal ini nabi shollallohu alaihi wasallam bersabda :
وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِى الصَّلاَةِ
Dijadikan penyejuk pandangan mataku di dalam sholat
Akhirnya rosululloh shollallohu alaihi wasallam merangkum sumber kebahagiaan pada tiga hal, yaitu : dijadikan sebagai muslim, dicukupkan rezeki dan diberi sifat qonaah (puas dengan pemberian) :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ
Dari Abdullah bin Amru bin Ash bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Sungguh amat beruntunglah seorang yang memeluk Islam dan diberi rizki yang cukup serta qana'ah terhadap apa yang diberikan Allah [HR Muslim]
Aisaruttafasir, Syaikh Abu Bakar Aljazairi (maktabah syamilah) 2/248