Dalam islam hanya dikenal ada dua kelamin, laki dan perempuan. Tidak ada kelamin selain itu. Hal ini dinyatakan oleh firman Alloh :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan [alhujurot : 13]
وَأَنَّهُ خَلَقَ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالْأُنْثَى
Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita [annajm : 45]
Dalam fiqh, keduanya mencetus banyak kaedah hukum. Di antaranya :
Keduanya wajib dikhitan
Pendapat ini dikenal dalam madzhab Syafi’i. Meski tidak ada satu hadits shohihpun yang bersifat memerintah, akan tetapi ada satu hadits yang menyitirnya :
إذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ فَقَدْ وَحَبَ الْغُسْلُ
Bila bertemu dua kemaluan yang dikhitan (persetubuhan) maka keduanya wajib mandi [HR Ibnu majah]
Penulis Shohih Fiqh Sunnah berkata : pada dasarnya kesamaan hukum berlaku bagi kaum laki dan perempuan selama tidak ada hadits yang membedakannya.
Bertemunya keduanya menyebabkan wajibnya mandi meski tanpa keluar air mani
إذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ فَقَدْ وَحَبَ الْغُسْلُ
Bila bertemu dua kemaluan yang dikhitan (persetubuhan) maka keduanya wajib mandi [HR Ibnu majah]
Bertemunya keduanya menghasilkan pahala dan dosa
Hal ini tergantung dari niatnya masing-masing. Rosululloh shollallohu alaihi wasallam bersabda :
عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : أَنَّ نَاساً مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله عليه وسلم قَالُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُوْرِ بِاْلأُجُوْرِ يُصَلُّوْنَ كَمَا نُصَلِّي، وَيَصُوْمُوْنَ كَمَا نَصُوْمُ، وَتَصَدَّقُوْنَ بِفُضُوْلِ أَمْوَالِهِمْ قَالَ : أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ مَا يَتَصَدَّقُوْنَ : إِنَّ لَكُمْ بِكُلِّ تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةً وَأَمْرٍ بِالْمَعْرُوْفِ صَدَقَةً وَنَهْيٍ عَن مُنْكَرٍ صَدَقَةً وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةً قَالُوا : يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ ؟ قَالَ : أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ وِزْرٌ ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ
Dari Abu Dzar radhiallahuanhu : Sesungguhnya sejumlah orang dari shahabat Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam: Wahai Rasululullah, orang-orang kaya telah pergi dengan membawa pahala yang banyak, mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka puasa sebagaimana kami puasa dan mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka (sedang kami tidak dapat melakukannya). (Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam) bersabda : Bukankah Allah telah menjadikan bagi kalian jalan untuk bersedekah ? : Sesungguhnya setiap tashbih merupakan sedekah, setiap takbir merupakan sedekah, setiap tahmid merupakan sedekah, setiap tahlil merupakan sedekah, amar ma’ruf nahi munkar merupakan sedekah dan setiap kemaluan kalian merupakan sedekah. Mereka bertanya : Ya Rasulullah masakah dikatakan berpahala seseorang diantara kami yang menyalurkan syahwatnya ?, beliau bersabda : Bagaimana pendapat kalian seandainya hal tersebut disalurkan dijalan yang haram, bukankah baginya dosa ?, demikianlah halnya jika hal tersebut diletakkan pada jalan yang halal, maka baginya mendapatkan pahala [HR Muslim]
Imam Daqiqul Id berkata : persetubuhan bisa bernilai ibadah manakala manusia meniatkannya untuk menunaikan hak istri sebagai bentuk muasyaroh bilma’ruf, atau dengan maksud untuk mendapatkan keturunan atau menjaga kehormatan.
Bila dilakukan secara tidak halal tentu akan menghasilkan akibat. Bayi yang lahir tidak bisa dinasabkan kepada ayahnya. Kalau ini terjadi akan menghilangkan hak wali dan waris. Kepada pelaku tentu islam menimpakan hukuman. Dera seratus kali bagi bujang dan gadis, rajam bagi yang sudah berkeluarga. Ma’iz, wanita dari Juhainah dan sepasang kekasih dari bani isroil adalah contoh kasus rajam yang pernah diterapkan oleh rosululloh shollallohu alaihi wasallam.
Bertemunya dua kemaluan menyebabkan hak mahar dimiliki penuh oleh istri
عَنْ سَعِيدِ بْنِ اَلْمُسَيَّبِ ; أَنَّ عُمَرَ بْنَ اَلْخَطَّابِ رضي الله عنه قَالَ أَيُّمَا رَجُلٍ تَزَوَّجَ اِمْرَأَةً , فَدَخَلَ بِهَا فَوَجَدَهَا بَرْصَاءَ , أَوْ مَجْنُونَةً , أَوْ مَجْذُومَةً , فَلَهَا اَلصَّدَاقُ بِمَسِيسِهِ إِيَّاهَا , وَهُوَ لَهُ عَلَى مَنْ غَرَّهُ مِنْهَا ) أَخْرَجَهُ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ , وَمَالِكٌ , وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ , وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ. وَرَوَى سَعِيدٌ أَيْضًا : عَنْ عَلِيٍّ نَحْوَهُ , وَزَادَ وَبِهَا قَرَنٌ , فَزَوْجُهَا بِالْخِيَارِ , فَإِنْ مَسَّهَا فَلَهَا اَلْمَهْرُ بِمَا اِسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا
Dari Said Ibnu al-Musayyab bahwa Umar Ibnu al-Khaththab Radliyallaahu 'anhu berkata: Laki-laki manapun yang menikah dengan perempuan dan setelah menggaulinya ia mendapatkan perempuan itu berkudis, gila, atau berpenyakit kusta, maka ia harus membayar maskawin karena telah menyentuhnya dan ia berhak mendapat gantinya dari orang yang menipunya. Riwayat Said Ibnu Manshur, Malik, dan Ibnu Abu Syaibah dengan perawi yang dapat dipercaya. Said juga meriwayatkan hadits serupa dari Ali dengan tambahan: Dan kemaluannya bertanduk, maka suaminya boleh menentukan pilihan, jika ia telah menyentuhnya maka ia wajib membayar maskawin kepadanya untuk menghalalkan kehormatannya.
Berbeda bentuk dan berbeda isi
Dari kemaluan lelaki keluar air kencing, madzi, mani dan wadi. Sedang milik perempuan ada tambahannya, yaitu haidl dan nifas. Satu yang harus diingat adalah bahwa dari kemaluan laki kita berasal dan dari kemaluan wanita kita keluar. Sungguh keterlaluan bila ada manusia yang tidak memiliki rasa malu di hadapan Alloh dan manusia.
Maroji’ :
Shohih Fiqh sunnah, Abu Malik Kamal Sayyid Salim 1/100
Syarh Arbain Annawawiyyah, Ibnu Daqiqul Id hal 177