Memelihara Jenggot, Antara Bernilai Ibadah Dan Sia-Sia
Memanjangkan jenggot diperintah oleh syariat. Rosululloh shollallohu alaihi wasallam bersabda :
خَالِفُوْا الْمُشْرِكِيْنَ احْفُوْا الشَّوَارِبَ وَاعْفُوْا اللِّحَى
Berbedalah kalian dengan orang musyrik, oleh karena itu pendekkanlah kumis dan panjangkanlah jenggot [HR Bukhori Muslim]
Memelihara jenggot memiliki dua pahala, yaitu : melaksanakan perintah nabi shollallohu alaihi wasallam dan menampakkan sikap berbeda dengan orang musyrik. Ibnu Taimiyyah menyebut dengan istilah “ Mukholafatulkuffar Maqshuudatun Lisysyari’ “ (bersikap beda dengan orang musyrik adalah perintah Alloh Sang Pembuat Syariat)
Akan tetapi bisa saja akan sia-sia dan tak berpahala manakala memanjangkan jenggot tidak diniatkan untuk dua hal di atas. Betapa banyak artis, anak muda dan orang-orang kafir memiliki jenggot yang panjang melebihi yang dimiliki oleh para ustadz. Mereka melakukannya untuk sekedar gaya dan mengikuti trend.
Untuk hal ini rosululloh shollallohu alaihi wasallam mengingatkan :
يا رويفع، لعل الحياة تطول بك، فأخبر الناس أن من عقد لحيته، أو تقلد وترا، أو استنجى برجيع دابة أو عظم، فإن محمدا بريء منه
Hai Ruwaifi’, semoga engkau berumur panjang, oleh karena itu sampaikanlah kepada orang-orang bahwa barang siapa yang menguncir jenggotnya, atau memakai kalung dari tali busur panah, atau bersuci dari buang air dengan kotoran binatang atau tulang, maka sesungguhnya Muhammad berlepas diri dari orang tersebut [HR Ahmad]
Kenapa mengikat jenggot dilarang ? Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin menyebut dua alasan :
1. Karena ia adalah lambang kesombongan
Mereka mengikat jenggot dari ujung atau pertengahan agar dilihat bahwa dirinya adalah orang yang agung dan dirinya adalah pemuka satu kaum.
2. Menghindari pengaruh jahat mata
Adapun Syaikh Abdurrohman Hasan Alu Syaikh juga menyebut dua alasan :
a. Simbol kaum ‘ajami sebagai kesombongan dan kebanggaan
b. Dengan tujuan membentuk bulu menjadikan kriting dan itu termasuk sifat kaum wanita
Walhasil laksanakan sunnah karena niat ibadah bukan mengikuti mode.
Maroji’ :
Iqtidlo Shirotil Mustaqim, Ibnu Taimiyyah hal 57
Alqoul Mufid, Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin 1/188
Fathul Majid, Syaikh Abdurrohman Hasan Alu Syaikh hal 99