Fiqih Mudah (17)
Santri yang belajar di pondok pesantren tentu merasakan betapa beratnya hidup bertahun-tahun di dalamnya. Kegiatan yang begitu padat, peraturan yang begitu ketat dengan sejumlah hukuman bagi para pelanggar, tugas hafalan yang menumpuk dan rutinitas kegiatan yang berlangsung di dalam komplek yang jarang melihat dunia luar yang terkadang membosankan.
Apa yang ia rasakan setelah lulus ? Kebahagian yang luar biasa. Belenggu tugas yang sudah lepas dan ilmu din yang dikuasai menyebabkan ia memahami dengan baik quran dan sunnah yang merupakan sumber ilmu. Begitu mudahnya si alumnus mengembangkan ilmunya di luar. Kini hidupnya tidak diikat dengan aturan-aturan ketat sehingga bisa melakukan kegiatannya tanpa beban.
Orang miskin yang merantau di ibukota. Mengawali hidupnya dengan berbagai kesulitan. Pekerjaan kasar dengan upah rendah ia jalani. Dengan sabar ia tekuni karirnya dari awal. Hingga Alloh berikan kesuksesan pada dirinya. Dulu tinggal di kontrakan satu petak di perumahan padat penduduk, kini ia sudah memiliki rumah pribadi yang luas dengan fasilitas lengkap. Dulu biasa pergi naik kendaraan umum dengan berdesakan, kini mobil pribadi senantiasa setia mengantarkannya ke mana saja.
Orang beriman mengalami masa sulit di dunia. Tahajud dijalani, shoum sunnah tidak pernah ia lupakan, tilawatul quran adalah kebiasan harian di petang dan pagi hari, i’tikaf romadlon yang tidak pernah terlewatkan dan kesabaran atas musibah dan penderitaan adalah hal biasa ia alami. Pada hari kiamat iapun masuk aljannah dengan penuh kenikmatan. Tidak ada duka nestapa, tidak ada rasa lelah kecuali kebahagian yang tidak pernah berakhir. Pantas saja mereka mengucapkan :
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَذْهَبَ عَنَّا الْحَزَنَ إِنَّ رَبَّنَا لَغَفُورٌ شَكُورٌ
Segala puji bagi Alloh yang telah menghilangkan pada diri kami duka nestapa, sesungguhnya Rob kami sungguh Maha Pengampun lagi Maha Bersyukur [fathir : 34]
Penulis tafsir almuyassar menerangkan bahwa kalimat di atas diucapkan oleh ahlul jannah saat mereka memasukinya. Maka tak heran heran bila ahli nasehat berkata :
وَمَا اللّذَّةُ إلاَّ بَعْدَ التَّعَبِ
Tidak ada kenikmatan kecuali setelah berpayah-payah dahulu
Maroji’ :
Tafsir Almuyassar (maktabah syamilah) 7/456