Persulit Jangan Permudah

Fiqih Mudah (10)
Dalam banyak kasus, Terkadang urusan tertentu perlu dipersulit. Semisal seorang yang laki-laki yang hendak menceraikan istrinya. Dalam masalah ini persulit jangan dipermudah.
Harus disampaikan padanya bahwa cerai bagian dari kufur ni’mat karena Alloh menyebut pernikahan sebagai miitzaqon gholiidzo (janji yang kukuh). Kedua harus dimengerti bahwa cerai berarti akan memutus tali silaturrohim. Hal itu terjadi antara menantu dengan mertua, antar besan dan tentu anak-anak akan menjadi korban utama.
Selanjutnya bila keinginan cerai berdasar akhlaq istri, bukankah suami adalah pemimpin bagi keluarga ? Justru di sinilah seorang laki-laki bisa tampil untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah pendidik dan pemimpin keluarga. Alloh memberi beban kepadanya untuk bisa berbicara lembut kepada istri karena Alloh menciptakan wanita sebagai makhluq yang berkepribadian lemah dan mudah rusak. Bila sudah dilakukan perbaikan dengan kelemahlembutannya tidak mendatangkan hasil maka upaya selanjutnya adalah pisah tempat tidur, pukulan yang bersifat mendidik dan selanjutnya mencari hakam dari keluarga kedua belah pihak untuk memberi solusi. Bila cara ini juga tidak mendatangkan hasil, maka cerai adalah pintu terakhir. Cara seperti ini selaras dengan firman Alloh :
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا  وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
Dan wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam n[dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal  [annisa’ : 34-35]
Hal ini juga berlaku bagi orang yang melakukan takfir (menvonis kafir). Bagi yang akan menjatuhkan vonis, dia harus berpikir :
1.       Apakah orang yang bersangkutan betul-betul telah melakukan perbuatan kekufuran ?
2.       Apakah sudah ditegakkan hujjah padanya ?
3.       Mungkinkah kekufuran yang dia lakukan atas dasar tidak mengerti atau di bawah tekanan ?
4.       Adakah maslahat dalam mengumumkan kekafiran seseorang ? Karena kita ketahui bahwa daftar 10 orang munafiq di kota Madinah, hanya diberitahukan oleh rosululloh shollallohu alaihi wasallam kepada Khudzaifah Alyaman padahal masih banyak sahabat lain yang lebih afdhol dari dirinya semisal Abu Bakar dan Umar.
Demikian juga pada orang yang akan yang akan berhutang. Ia harus bertanya pada dirinya :
·         Apakah hutang itu untuk memenuhi kebutuhan sekunder atau primer ? Bukankah rosululloh shollallohu alaihi wasallam belum pernah berhutang kecuali untuk kebutuhan primer, sebagaimana yang dituturkan oleh Aisyah bahwa beliau berhutang untuk mendapatkan 30 sho’ gandum sebagai bahan makanan pokok ?
·         Apakah dirinya masih punya simpanan uang semisal tabungan sehingga bisa dimanfaatkan untuk keperluan dirinya tanpa membuat repot orang lain ?
·         Apakah ada kemampuan pada dirinya untuk melunasi hutangnya di kemudian hari ?
·         Jika ada, periksa kembali adakah pada hati sanubari kita niat yang kuat untuk menyelesaikan pinjaman ? Bukankah rosululloh shollallohu alaihi wasallam bersabda :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنِ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ اَلنَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا, أَدَّى اَللَّهُ عَنْهُ, وَمَنْ أَخَذَهَا يُرِيدُ إِتْلَافَهَا, أَتْلَفَهُ اَللَّهُ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Barangsiapa mengambil harta orang dengan maksud mengembalikannya, maka Allah akan menolongnya untuk dapat mengembalikannya; dan barangsiapa mengambilnya dengan maksud menghabiskannya, maka Allah akan merusaknya  [HR Bukhari]
Demikianlah, banyak kasus perlu dipersulit tidak boleh dipermudah.