(aljaza’ min jinsil ‘amal, bukan hukum karma)
Dalam kondisi tertentu, terkadang kita memerlukan bantuan pinjaman uang dari orang lain. Utang piutang dalam islam dibenarkan selama mentaati aturan yang sudah ditetapkan. Dua orang yang sama-sama meminjam kepada orang lain, bernasib beda. Orang pertama mampu menyelesaikan kewajiban sedangkan orang kedua mengalami kesulitan dalam pelunasan.
Itu bisa terjadi oleh dua sebab. Barangkali orang pertama senantiasa menjaga hubungannya dengan Alloh. Untuk urusan hutang, dirinya memohon kepada Alloh agar terhindar dari terlilit hutang
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ اَلدَّيْنِ وَغَلَبَةِ اَلْعَدُوِّ وَشَمَاتَةِ اَلْأَعْدَاءِ
Abdullah Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam membaca doa : Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari bahaya hutang bahaya musuh dan kemenangan para musuh [HR Nasa'i]
Disamping itu, dirinya juga bersungguh-sungguh untuk segera menyelesaikan kewajibannya. Prioritas pertama saat mendapat rizki adalah pelunasan hutang. Ia kesampingkan kebutuhan sekunder, bahkan yang bersifat primerpun ia tunda atau minimal sedikit dikurangi.
Rupanya dua hal inilah yang tidak dimiliki oleh orang kedua. Tidak ada doa, tidak pula niat untuk segera menyelesaikan kewajiban. Oleh karena itu rosululloh shollallohu alaihi wasallam mengingatkan :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنِ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ اَلنَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اَللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَهَا يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اَللَّهُ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwasanya Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Barangsiapa mengambil harta orang (pinjam) dengan maksud mengembalikannya, maka Allah akan menolongnya untuk dapat mengembalikannya dan barangsiapa mengambilnya dengan maksud menghabiskannya, maka Allah akan merusaknya [HR Bukhari]
Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam berkata : Hadits ini menunjukkan akan agungnya pengaruh dari niat dalam sebuah amal. Siapa yang memiliki niat baik maka akan baik pula amalnya, sebaliknya bila rusak niatnya maka rusak pula amalnya. Hadits ini juga menunjukkan bahwa balasan sesuai dengan perbuatan. Sebagaimana seorang hamba berbuat tentu akan ada balasan. Bila i’tikadnya baik pasti akan menghasilkan kebaikan dan bila i’tikadnya jelek, akan jelek pula hasilnya.
Maroji’ :
Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam 3/247