(kontrofersi 35)
Dakwah Islam di Indonesia semakin menggeliat. Sebagai akibatnya muncullah banyak organisasi dakwah sebagai sarana untuk mensukseskan program-programnya. Mereka hidupkan masjid-masjid dengan sholat berjamaah, dibuatlah kajian keislaman dan tak sedikit yang akhirnya sekolah islam dan pondok pesantren mereka dirikan.
Sinar dakwah semakin lengkap dengan terbitnya satu pemahaman ajakan kembali kepada manhaj assalaf asholih. Setelah ditelaah, memang inilah manhaj yang ideal untuk memahami islam dengan baik dan benar.
Di balik kegembiraan kita terhadap semaraknya manhaj disampaikan, muncul kerikil kecil yang membuat sedikit terusik kenyamanan kita dalam mengembangkan islam. Sebagian oknum aktifis yang merasa paling salaf. Dengan berani memetakan siapa saja yang bermanhaj salaf dan siapa yang berada di luar itu.
Tahdzir dan hajr seolah adalah sebuah amal sholih untuk menujukkan tingkat kesalafan seseorang. Di sisi lain mereka begitu lembut kepada penguasa sekuler. Mari kita bandingkan antara sisi kehidupan para aktifis dakwah dan para penguasa sekuler :
Para aktifis hari-harinya dihiasi dengan melazimi sholat berjamaah dan menghidupkan majlis ta’lim, satu kebiasaan yang jarang dilakukan oleh para penguasa
Di otak para aktifis, dipenuhi oleh cita-cita dan kerinduan akan kejayaan islam. Sementara Para penguasa sibuk untuk menjaga jabatan dan kesuksesan di pemilu yang akan datang
Para aktifis sering mendapat tuduhan hizbiyyah karena mereka memiliki organisasi yang memayungi dakwah mereka. Anehnya, kenapa para penguasa yang notabenenya berasal dari beragam partai tidak disebut sebagai hizbiyyun
Inilah sedikit renungan ringan, semoga bermanfaat.