(kontrofersi 36)
Sufyan Bin Husain berkata : Aku menyebut kejelekan seseorang di samping Iyas Bin Muawiyah. Ia melihat wajahku seraya bertanya : Apakah engkau pernah berperang melawan bangsa Romawi (sebagaimana yang sudah dilakukan oleh orang yang engkau jelek-jelekkan) ? Aku menjawab : Belum. Ia bertanya lagi : Pernahkah engkau berperang melawan Sind, Hind dan Turk ? Aku menjawab : Belum. Ia berkata lagi : Apakah mulutmu selamat tidak pernah mencela bangsa Romawi, Sind, Hind dan Turk sementara mulutmu tidak selamat dari caci maki terhadap saudaramu sesama muslim ? Sufyan Bin Husain berkata : Aku tidak mengulangi perbuatanku lagi.
Inilah riwayat sederhana yang dinukil oleh Syaikh Abdul Muhsin Bin Hamad Al ‘Abbadlbadr dari kitab albidayah wannijayah. Ternyata kelakuan ini terus berulang dalam sejarah. Sebuah tulisan syarat dengan kecaman dan cacian terhadap para mujahid Palestina yang melakukan bom bunuh diri. Gelar picik, bodoh, ruwaibidhoh dan lainnya ditujukan kepada mereka yang mempertaruhkan nyawa demi kejayaan islam membela tanah suci “ Baitul Muqoddas ”. Anehnya dari tulisan itu, sama sekali tidak ada satupun kata-kata kasar ditujukan kepada penjajah, yaitu penjajah Israel.
Yang lebih menakjubkan adalah, di saat muslim Palestina hidup di bawah penjajahan bertahun-tahun dengan perasaan was-was karena keamanan mereka terancam, sementara para pencaci, hidup dengan nyaman. Tidur bisa nyenyak, makanan selalu tersedia dan sejumlah kenyamanan lainnya.
Seandainya para pencaci menggunakan lesannya untuk mengeluarkan kata singkat berupa doa di waktu mustajab bagi saudara-saudara kita yang terjajah, tentu lebih bermanfaat.
Maroji’ :
Rifqon Ahlussunnah Bi Ahlis Sunnah, Syaikh Abdul Muhsin Bin Hammad Al’Abbad Albadr hal 34