Kasus Li’an

(Maksiat Para Sahabat Dan Kesudahannya 25)
Pasangan suami istri yang masing-masing berasal dari jabar dan jatim dilanda prahara. Ketika istri melahirkan, didapati bayi yang lahir berwajah Arab. Hari yang seharusnya menjadi kebahagiaan berubah menjadi pertengkaran hebat. Suami menuduh istrinya selingkuh, sementara si tertuduh bersikukuh bahwa dirinya tidak melakukan perbuatan keji yang dituduhkan.
Dalam istilah islam, penyelesaian bagi keduanya dengan mula’anah atau li’an. Pasangan ini datang ke pengadilan. Sang hakim yang menengahi perkara akan melakukan beberapa langkah, :
1.       Memberi nasehat kepada keduanya
Kepada suami diminta untuk memikir ulang atas tuduhannya, karena menuduh perzinahan tanpa bukti yang jelas adalah satu bentuk kefasikan. Sementara terhadap istri, pak hakim memintanya untuk bersikap jujur. Kalau memang zina betul-betul dilakukan, alangkah baiknya hukuman rajam dihadapinya agar menjadi pembersih bagi dosa yang dilakukannya.
2.       Memulai mula’anah dari pihak suami
Ini dilakukan bila mediasi tahap pertama gagal. Sang suami mengucapkan sumpah demi Alloh sebanyak lima kali. Untuk empat sumpah pertama, ia berkata “ Saya bersumpah, demi Alloh ! Bahwa istri saya betul-betul berzina “ Selanjutnya dirinya bersumpah sekali lagi dengan mengucapkan demi Alloh bahwa dirinya siap dilaknat dunia dan di akhirat bila tuduhannya salah. Giliran istri mengucapkannya sebanyak lima kali mirip dengan apa yang diucapkan suami.
3.       Memisahkan pasangan suami istri
Ini bersifat abadi, artinya tidak mengenal ruju’ sebagai akibat dari mula’anah yang sudah disepakati dan dilakukan keduanya.
4.       Menasabkan bayi yang lahir kepada ibunya
Itu terjadi karena sang ayah tidak mengakui dirinya. Peristiwa seperti ini pernah terjadi pada diri seorang sahabat, yaitu Hilal bin Umayyah yang menuduh istrinya berzina dengan Syarik bin Samha. Adapun ayat dan hadits berkenan dengan peristiwa ini adalah :
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ  وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ

6. dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar.
7. dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika Dia Termasuk orang-orang yang berdusta
8. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar Termasuk orang-orang yang dusta.
9. dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu Termasuk orang-orang yang benar  [annur : 6-9]
َعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ سَأَلَ فُلَانٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اَللَّهِ أَرَأَيْتَ أَنْ لَوْ وَجَدَ أَحَدُنَا اِمْرَأَتَهُ عَلَى فَاحِشَةٍ كَيْفَ يَصْنَعُ إِنْ تَكَلَّمَ تَكَلَّمَ بِأَمْرٍ عَظِيمٍ وَإِنْ سَكَتَ سَكَتَ عَلَى مِثْلِ ذَلِك فَلَمْ يُجِبْهُ فَلَمَّا كَانَ بَعْدَ ذَلِكَ أَتَاهُ فَقَالَ إِنَّ اَلَّذِي سَأَلْتُكَ عَنْهُ قَدِ ابْتُلِيتُ بِهِ فَأَنْزَلَ اَللَّهُ اَلْآيَاتِ فِي سُورَةِ اَلنُّورِ فَتَلَاهُنَّ عَلَيْهِ وَوَعَظَهُ وَذَكَّرَهُ وَأَخْبَرَهُ أَنَّ عَذَابَ اَلدُّنْيَا أَهْوَنُ مِنْ عَذَابِ اَلْآخِرَةِ قَالَ لَا وَاَلَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا كَذَبْتُ عَلَيْهَا ثُمَّ دَعَاهَا اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فَوَعَظَهَا كَذَلِكَ قَالَتْ لَا وَاَلَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ إِنَّهُ لَكَاذِبٌ فَبَدَأَ بِالرَّجُلِ فَشَهِدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ ثُمَّ ثَنَّى بِالْمَرْأَةِ ثُمَّ فَرَّقَ بَيْنَهُمَا
Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Si fulan bertanya : Dia berkata, wahai Rasulullah, bagaimana menurut pendapat baginda jika ada salah seorang di antara kami mendapati istri dalam suatu kejahatan, apa yang harus diperbuat ? Jika ia menceritakan berarti ia telah menceritakan sesuatu yang besar dan jika ia diam berarti ia telah mendiamkan sesuatu yang besar. Namun beliau tidak menjawab. Setelah itu orang tersebut menghadap kembali dan berkata: Sesungguhnya yang telah aku tanyakan pada baginda dahulu telah menimpaku. Lalu Allah menurunkan ayat-ayat dalam surat an-nuur (ayat 6-9). beliau membacakan ayat-ayat tersebut kepadanya, memberinya nasehat, mengingatkannya dan memberitahukan kepadanya bahwa adzab dunia itu lebih ringan daripada adzab akhirat. Orang itu berkata : Tidak, Demi Allah yang telah mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak berbohong. Kemudian beliau memanggil istrinya dan menasehatinya juga. Istri itu berkata : Tidak, Demi Allah yang telah mengutusmu dengan kebenaran, dia (suaminya) itu betul-betul pembohong. Maka beliau mulai memerintahkan laki-laki itu bersumpah empat kali dengan nama Allah, lalu menyuruh istrinya (bersumpah seperti suaminya). Kemudian beliau menceraikan keduanya [HR Muslim]
Maroji’ :
Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam 3 kitab nikah bab Lia’n