Fiqih Yatim (7)
Mengurusi harta anak yatim merupakan perbuatan mulia. Ia
adalah bagian dari ibadah. Akan tetapi itu hanya ditujukan kepada yang memiliki
kemampuan dan jiwa amanah. Bila keduanya tidak ada pada diri kita, maka jangan
coba-coba melakukannya karena nabi shollallohu alaihi wasallam bersabda :
عن أَبي ذرٍّ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رسول الله صلى الله عليه وسلم : يَا أَبَا ذَرٍّ ، إنِّي أرَاكَ ضَعِيفاً وَإنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ
لِنَفْسِي لاَ تَأمَّرَنَّ عَلَى
اثْنَيْنِ ، وَلاَ تَوَلَّيَنَّ مَالَ يَتِيمٍ
Dari Abu Dzar rodliyallohu anhu, rosululloh shollallohu
alaihi wasallam bersabda : Wahai Abu Dzar, aku melihat pada dirimu kelemahan.
Aku menginginkan pada dirimu sebagaimana apa yang aku inginkan pada diriku.
Jangan sekali-kali engkau memimpin meski hanya untuk dua orang dan jangan
sekali-kali engkau mengurusi harta anak yatim
[HR
Muslim]
Abu Dzar adalah lelaki sholih, akan tetapi tidak memiliki
keistimewaan untuk memimpin dan mengemban amanat. Karena itu nabi shollallohu
alaihi wasallam melarangnya untuk menjadi pemimpin dan mengelola harta anak
yatim.
Imam Nawawi menerangkan bahwa ada dua hal yang menyebabkan
seseorang dilarang menjadi pemimpin atau mengurusi harta anak yatim, yaitu :
kelemahan (tidak memiliki kemampuan), atau memiliki keahlian akan tetapi tidak
adil (tidak amanat).
Betapa banyak orang memiliki kecakapan bisnis di sisi lain ia
memiliki karakter menipu dan serakah. Ada juga yang jujur akan tetapi buta
terhadap dunia usaha, tentu yang ada adalah kerugian semata yang akhirnya anak
yatim yang menjadi korban.
Maroji’ :
Syarh Shohih Muslim, Imam Nawawi 12/203