Status Darah Haidl Yang Menempel Di Baju




Pertanyaan Kaum Wanita (14) 

Banyak wanita yang kebingungan dengan status darah haidl yang menimpa baju. Terkadang masih meninggalkan bekas. Bagaimana kedudukannya ? Tiga hadist di bawah ini bisa dijadikan sebagai jawaban :

عنْ أُمِّ قَيْسِ بِنْتِ مِحْصَنٍ أَنَّهَا سَأَلَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ دَمِ الْحَيْضِ يُصِيبُ الثَّوْبَ ؟ فَقَالَ حُكِّيهِ بِصَلَعٍ وَاغْسِلِيهِ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ  
Dari Ummu Qois binti Mihshon, bahwasanya dirinya bertanya kepada rosululloh shollallohu alaihi wasallam tentang darah haidl yang menimpa baju ? Beliau menjawab : Gosoklah dengan batu dan cucilah dengan air dan bidara  [HR Ahmad, Abu Daud, Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah]

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَتْ خَوْلَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ يَذْهَبْ الدَّمُ ؟ قَالَ : يَكْفِيك الْمَاءُ وَلَا يَضُرُّك أَثَرُهُ أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ وَسَنَدُهُ ضَعِيفٌ
Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu berkata: Khaulah bertanya, wahai Rasulullah, meskipun darah itu tidak hilang ? Beliau menjawab : Engkau cukup membersihkannya dengan air dan bekasnya tidak mengapa bagimu  [HRTirmidzi dengan sanad yang lemah]

عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي دَمِ الْحَيْضِ يُصِيبُ الثَّوْبَ تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّي فِيهِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Asma binti Abu Bakar Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda tentang darah haid yang mengenai pakaian : Engkau kikis, engkau gosok dengan air lalu siramlah, baru kemudian engkau boleh sholat dengan pakaian itu   [Muttafaq Alaihi]

Hadits pertama memerintahkan mencuci baju yang terkena darah haidl dengan air dan bidara. Sedangkan hadits kedua (meski dloif) dan ketiga, rosululloh shollallohu alaihi wasallam menilai cukup mencucinya hanya dengan air.

Ini menunjukkan bahwa penggunaan bayclean, sitrun, sabun rinso dan penghilang noda lainnya tidaklah wajib. Imam Shon’ani termasuk yang berpendapat demikian dalam subulussalamnya.

Maroji’ :
Subulussalam (maktabah syamilah) hal 95