Juraij Dengan Ibunya




Birrul Walidain (24) 

Pada suatu hari Juraij tengah menunaikan sholat sunnah di tempat ibadahnya, tiba-tiba ibunya datang seraya memanggil “ Wahai Juraij ! “. Dalam hati, Juraij berkata :
يَا رَبِّ أُمِّي وَصَلاتِي
Ya Alloh, ibuku ataukah sholatku yang aku utamakan ?
Akhirnya Juraij lebih memilih sholatnya. Hal itu membuat sang ibu kecewa dan pulang. Peristiwa ini berulang tiga kali. Karena kesal, ibunya mendoakan kejelekan bagi anaknya :
اللَّهُمَّ لاَ تُمِتْهُ حَتَّى يَنْظُرَ إِلَى وُجُوهِ المُومِسَاتِ
Ya Alloh jangan engkau matikan Juraij hingga ia berurusan dengan pelacur !
Doa ibu mustajab. Pelacur merayunya untuk berbuat zina. Ketika gagal, ia beralih kepada penggembala kambing. Perzinahan itupun membuatnya hamil. Ia katakan kepada semua orang bahwa janin yang ada di perutnya adalah hasil perzinahan antara dirinya dengan Juraij.
Masyarakat murka. Juraij dipukuli, sementara tempat ibadahnya dirobohkan. Dalam kondisi babak belur, Juraij bertanya “ Apa yang membuat kalian memukuliku dan menghancurkan tempat ibadahku ? “ Masyarakat menjawab :
زَنَيْتَ بهذِهِ البَغِيِّ فَوَلَدَتْ مِنْكَ
Engkau telah berzina dengan pelacur ini lalu melahirkan bayi dari hasil perbuatanmu
Juraij berkata : Mana bayi itu ?. Ketika mereka mendatangkannya, Juraij segera menunaikan sholat lalu menusuk perut bayi lalu ditanyakan :
يَا غُلامُ مَنْ أبُوكَ
Wahai bayi, siapakah bapakmu ?
Si bayi menjawab :
فُلانٌ الرَّاعِي
Fulan, Si penggembala kambing
Demikianlah akhirnya kedudukan menjadi jelas. Masyarakatpun meminta maaf kepada Juraij selanjutnya mereka membangunkan kembali tempat ibadahnya.
Riwayat di atas menunjukkan betapa dahsyatnya kedudukan ibu hingga hablun minalloh (sholat sunnah) dikalahkan demi menunaikan birrul walidain.
Syaikh Mushthofa Albugho berkata : Hadits di atas mengajarkan kepada kita untuk mengutamakan ibu daripada sholat sunnah karena melanjutkan sholat sunnah hukumnya nafilah (sunnah, tidak wajib) sementara menjawab panggilan ibu dan berbakti kepadanya adalah wajib
Maroji’ :
Nuzhatul Muttaqin, Syaikh Mushthofa Albugho 1/223