Adzan (4)
(a) Bersuara bagus
عَنْ أَبِي
مَحْذُورَةَ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَعْجَبَهُ
صَوْتُهُ فَعَلَّمَهُ اَلْآذَانَ
Dari Abu Mahdzurah Radliyallaahu 'anhu bahwa
Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam kagum dengan suaranya kemudian beliau
mengajarinya adzan. [HR Ibnu Khuzaimah]
Perintah mengumandangkan adzan dengan suara
indah selaras dengan perintah membaca alquran dengan suara yang merdu :
عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ
عَازِبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَيِّنُوا
الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ
Dari Al Bara` bin 'Azib ia berkata ;
Rasulullah shallAllahu wa'alaihi wa sallam bersabda : Perindahlah Al Qur'an
dengan suara kalian [HR Ahmad, Abu Daud, Nasa’i, Darimi dan Tirmidzi]
Betapa penting merdunya suara dalam
mengumandangkan adzan, hingga Imam Nawawi berkata :
قَالَ أَصْحَابنَا :
فَلَوْ وَجَدْنَا مُؤَذِّنًا حَسَن الصَّوْت يَطْلُب عَلَى أَذَانه رِزْقًا وَآخَر
يَتَبَرَّع بِالْأَذَانِ لَكِنَّهُ غَيْر حَسَن الصَّوْت ، فَأَيّهمَا يُؤْخَذ ؟
فِيهِ وَجْهَانِ : أَصَحّهمَا يُرْزَق حَسَن الصَّوْت ، وَهُوَ قَوْل اِبْن
شُرَيْح وَاَللَّه أَعْلَم .
Berkata sahabat-sahabat kami : Seandainya kami
mendapati seorang muadzin yang memiliki suara merdu akan tetapi meminta imbalan
atas adzan yang dia kumandangkan, sedangkan laki-laki lain secara suka rela mau
mengumandangkan adzan tanpa imbalan akan tetapi ia tidak memiliki suara indah,
lalu mana dari keduanya yang kita pilih ? Dalam hal ini ada dua pandangan :
Pendapat yang lebih shohih adalah memberi imbalan kepada orang yang bersuara
merdu. Inilah pendapat Ibnu Syuraih, wallohu a’lam
(b) Bersuara lantang
Ini selaras dengan sabda nabi shollallohu
alaihi wasallam kepada Abdulloh Bin Zaid :
إِنَّهَا لَرُؤْيَا
حَقٌّ إِنْ شَاءَ اللَّهُ فَقُمْ مَعَ بِلَالٍ فَأَلْقِ عَلَيْهِ مَا رَأَيْتَ
فَلْيُؤَذِّنْ بِهِ فَإِنَّهُ أَنْدَى صَوْتًا مِنْكَ
Itu adalah mimpi yang benar, in syaa Alloh.
Karena itu berdirilah bersama Bilal dan ajarkan kepadanya mimpimu itu, dan
hendaklah dia yang adzan, karena suaranya lebih lantang dari suaramu [HR Abu
Daud]
Memadukan suara merdu dan lantang adalah
sangat baik. Meski sekarang ada mick sebagai pengeras suara, tentu tetap saja
berbeda antara orang yang bersuara lantang dan bersuara lemah meski sama-sama
membawakan adzannya dengan mick.
Dulu, ketika belum ada pengeras suara, maka orang-orang yang bersuara lantang sangat
dibutuhkan untuk menyeru sholat. Semakin keras suara seorang muadzin semakin
luas pula jangkauan dari seruannya. Apalagi adzan adalah panggilan sholat
(c) Ikhlas
Maknanya tidak meminta imbalan atas
adzan yang dikumandangkannya.
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ
أَبِي الْعَاصِ رضي الله عنه أَنَّهُ قَالَ : يَا رَسُولَ اَللَّهِ اِجْعَلْنِي
إِمَامَ قَوْمِي قَالَ : أَنْتَ إِمَامُهُمْ وَاقْتَدِ بِأَضْعَفِهِمْ
وَاِتَّخِذْ مُؤَذِّنًا لَا يَأْخُذُ عَلَى أَذَانِهِ أَجْرًا
Utsman Ibnu Abul'Ash Radliyallaahu 'anhu
berkata : Wahai Rasulullah jadikanlah aku sebagai imam mereka. Beliau bersabda
: Engkau adalah imam sholat bagi mereka, perhatikanlah orang yang paling lemah
dan angkatlah seorang muadzin yang tidak menuntut upah dari adzannya [HR Ahmad,
Abu Daud dan Nasa’i]
Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam menilai
bahwa muadzin berhak mendapat gaji dari baitulmal atau khas negara bila kumandang
adzan adalah profesi sehingga ia terhalangi untuk mencari penghidupan
(d) Mengetahui waktu-waktu sholat
عَنْ مَالِكِ بْنِ
الْحُوَيْرِثِ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ لَنَا اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم
وَإِذَا حَضَرَتِ اَلصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ . . .
Dari Malik Ibnu Huwairits Radliyallaahu 'anhu
bahwa dia berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah bersabda pada
kami : Bila waktu shalat telah tiba maka hendaklah seseorang di antara kamu
menyeru adzan untukmu sekalian [HR Imam Tujuh]
Hadits di atas menunjukkan bahwa adzan hanya
bisa dikumandangkan bila waktu sholat telah tiba. Berarti, setiap muadzin harus
mengerti jadwal waktu sholat. Bukti lain dari masalah ini adalah Abdulloh Bin
Umi Maktum yang buta tidak akan mengumandangkan adzan hingga ada yang
memberitahu kepadanya bahwa waktu sholat sudah masuk :
عَنْ سَالِمِ بْنِ
عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى
يُنَادِيَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ ثُمَّ قَالَ وَكَانَ رَجُلًا أَعْمَى لَا
يُنَادِي حَتَّى يُقَالَ لَهُ أَصْبَحْتَ أَصْبَحْتَ
Dari Salim bin 'Abdullah dari Bapaknya, bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Sesungguhnya Bilal
mengumandangkan adzan saat masih malam, maka makan dan minumlah sampai kalian
mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum. Perawi berkata : Ibnu Ummu Maktum adalah
seorang sahabat yang buta, ia tidak akan mengumandangkan adzan (shubuh) hingga
ada orang yang mengatakan kepadanya : Sudah shubuh, sudah shubuh [HR Bukhori,
Muslim, Ahmad, Malik, Abu Daud, Nasa’i, Darimi dan Tirmidzi]
(e) Berwudlu
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ لَا
يُؤَذِّنُ إِلَّا مُتَوَضِّئٌ
Dalam riwayatnya pula dari Abu Hurairah
Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Tidak diperkenankan adzan kecuali orang yang telah berwudlu." Hadits
tersebut juga dinilai lemah.
Penulis tuhfatul ahwadzi berkata :
الْحَدِيثُ
دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ يُكْرَهُ الْأَذَانُ بِغَيْرِ وُضُوءٍ
Hadits di atas menunjukkan makruhnya
mengumandangkan adzan tanpa berwudlu
Meski hadits ini dloif, secara makna tidak
bertentangan dengan hadits lainnya diantaranya :
عَنِ الْحَسَنِ عَنِ
الْحُضَيْنِ أَبِي سَاسَانَ عَنِ الْمُهَاجِرِ بْنِ قُنْفُذٍ أَنَّهُ سَلَّمَ
عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَتَوَضَّأُ
فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ حَتَّى تَوَضَّأَ فَرَدَّ عَلَيْهِ وَقَالَ إِنَّهُ لَمْ
يَمْنَعْنِي أَنْ أَرُدَّ عَلَيْكَ إِلَّا أَنِّي كَرِهْتُ أَنْ أَذْكُرَ اللَّهَ
إِلَّا عَلَى طَهَارَةٍ قَالَ فَكَانَ الْحَسَنُ مِنْ أَجْلِ هَذَا الْحَدِيثِ
يَكْرَهُ أَنْ يَقْرَأَ أَوْ يَذْكُرَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَتَّى يَتَطَهَّرَ
Dari Al Hasan dari Al Hudlain Abu Sasan dari
Al Muhajir bin Qunfudz bahwa ia pernah mengucapkan salam atas Nabi shallallahu
'alaihi wasallam dan saat itu, beliau sedang berwudlu. Namun, beliau tidak
membalas salamnya hingga beliau selesai wudlu, baru kemudian beliau membalasnya
dan bersabda : Sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku untuk membalas
salammu, kecuali karena saya tidak suka menyebut nama Allah selain dalam
keadaan suci. Maka berdasarkan hadits inilah, Al Hasan tidak suka membaca atau
menyebut nama Allah sehingga ia bersuci [HR Ahmad]
Maroji’ :
Tuhfatul Ahwadzi 2/232
(f) Berdiri saat mengumandangkan adzan
Hal ini berdasarkan sabda nabi shollallohu
alaihi wasallam kepada Bilal :
يَا بِلاَلُ قُمْ فَنَادِ
بِالصَّلاَةِ
Wahai Bilal berdirilah, kumandangkan panggilan
sholat [HR Muslim]
Qodli Iyadl berkata :
فِيهِ حُجَّة
لِشَرْعِ الْأَذَان مِنْ قِيَام ، وَأَنَّهُ لَا يَجُوز الْأَذَان قَاعِدً مَذْهَب
الْعُلَمَاء كَافَّة أَنَّ الْقِيَام وَاجِب
Dalam hadits ini terkandung hujjah
disyariatkan mengumandangkan adzan dengan berdiri dan tidak boleh
mengumandangkan adzan dengan duduk sesuai dengan madzhab para ulama seluruhnya
dimana berdiri adalah wajib.
Imam Nawawi memiliki pandangan berbeda dimana
dia berkata :
بَلْ مَذْهَبنَا
الْمَشْهُور أَنَّهُ سُنَّة ، فَلَوْ أَذَّنَ قَاعِدًا بِغَيْرِ عُذْر صَحَّ
أَذَانه لَكِنْ فَاتَتْهُ الْفَضِيلَة ، وَكَذَا لَوْ أَذَّنَ مُضْطَجِعًا مَعَ
قُدْرَته عَلَى الْقِيَام صَحَّ أَذَانه عَلَى الْأَصَحّ لِأَنَّ الْمُرَاد
الْإِعْلَام وَقَدْ حَصَلَ ، وَلَمْ يَثْبُت فِي اِشْتِرَاط الْقِيَام شَيْء .
وَاَللَّه أَعْلَم
Madzhab kami yang masyhur adalah sunnah
seandainya ia melakukannya dengan duduk tanpa ada udzur maka adzannya
dinyatakan syah akan tetapi ia kehilangan fadhilah demikian juga bila ia
mengumandangkan adzan dengan merebahkan badan padahal ia mampu berdiri juga
tetap syah adzannya sesuai pendapat yang paling benar karena tujuan adzan
adalah panggilan dan itu sudah tersampaikan dan tidak ada dalil satupun yang
tetap tentang syarat berdiri dalam mengumandangan adzan